Kita tahu bahwa eksis atau pusat dari pembahasan akidah adalah Tuhan. Dalam hal ini, pembahasan mengenai Tuhan dibagi ke dalam tiga aspek. Pertama aspek dzat-Nya sendiri; kedua aspek asma’ dan sifat-Nya; ketiga af’al (tindakan-tindakan).
Kata Gus Ulil, pembahasan tentang sifat Tuhan paling banyak mendapat perhatian di dalam persoalan akidah. Kenapa demikian? Karena sebenarnya manusia “mirip” Tuhan. Artinya, manusia diciptakan dalam citra Tuhan (Imago Dei). Adalah sebuah asasi dari pemahaman Yahudi dan Kristen tentang hakikat manusia.
Demikian juga dalam Islam ada ajaran yang hampir mirip dengan Kristen. Misalnya manusia diciptakan melalui proses Tuhan meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia. Karena itu tak heran jika manusia mengandung unsur ilahiyah (Ketuhanan). Atas dasar ini, maka tak salah jika dikatakan bahwa manusia ada miripnya dengan Tuhan, sekalipun Tuhan tidak mempunyai padanan.
Salah satu kemiripan manusia dengan Tuhan adalah, jika Anda mau mengenal manusia (seseorang) maka sudah pasti terlebih dahulu Anda harus mengenal dirinya seseorang itu (siapa dia?), lalu kemudian mengenali sifat-sifatnya (dari mana dia? Budayanya apa? Dan seterusnya), dan terakhir dikenali tindakan-tindakannya. Jika Anda mengetahui tindakan-tindakan seseorang, maka Anda akan mengenalnya. Demikian Tuhan cara mengenal Tuhan.
Kenapa tindakan-tindakan Tuhan penting dikenali?
Gus Ulil mengatakan bahwa kita berada di alam ciptaan (kodrati) yang merupakan wujud dari refleksi dan tindakan Tuhan. Semua yang ada di dunia ini adalah perwujudan dari tindakan-tindakan Tuhan. Kenapa? Karena tidak ada satupun ciptaan di alam raya ini, baik dari yang besar seperti galaksi hingga yang kecil seperti atom, melainkan refleksi dan perwujudan dari tindakan Tuhan.
Tentu saja, hal pertama yang harus Anda ketahui mengenai tindakan-tindakan Tuhan bahwa semua sifatnya adalah jaiz (boleh). Dengan kata lain, Tuhan melakukan sesuatu ini dan itu bukan karena suatu kewajiban. Tidak ada yang bisa mewajibkan Tuhan untuk melakukan sesuatu apapun, karena tindakan Tuhan melalui kebebasan mutlak (iradah). Kehendak mutlak.
Berbeda dengan manusia yang tindakannya ada yang lahir dari kebebasan dan tindakan yang bersifat paksaan. Akan tetapi, sekali lagi, tindakan-tindakannya Tuhan sifatnya full bebas (al-iradah).
Karena itu, Tuhan tidak wajib memasukkan seorang hamba yang saleh (taat) ke dalam surga karena amal ibadahnya. Demikian juga Tuhan tak wajib memasukkan hamba yang durhaka ke dalam neraka karena banyaknya dosa.
Jika Anda berkata “Saya ini pasti dan wajib masuk surganya Tuhan karena saya selalu rajin dan taat kepada Tuhan,” maka Anda sama saja dengan mengatur-ngatur Tuhan. Jelasnya, tak ada yang bisa mewajibkan Tuhan untuk melakukan apapun.
Menariknya, kata Gus Ulil, manfaat dan faidah akidah seperti ini bisa membuat manusia tidak menjadi arogan. Ia tidak sombong dengan apa yang sudah dikerjakannya selama bertahun-tahun bahkan seumur hidup.
Anda tahu! Tuhan di satu pihak mempunyai sifat adil, maha kasih, penyayang dan seterusnya. Akan tetapi, Tuhan bertindak bukan karena suatu kewajiban, melainkan karena iradah (kehendak). Inilah prinsip akidah Asy’ariyah.
Apakah mungkin manusia mengalami sesat pikir mengenai tindakan Tuhan?
Salah satu cara kerja otak manusia adalah, jika ada dua kejadian yang terjadi secara berbarengan, maka sudah pasti disimpulkan bahwa keduanya saling berkaitan. Padahal belum tentu demikian.
Ya begitulah manusia. Ia kadang-kadang mempunyai kejadian yang aneh. Ia selalu berfikir dengan mengasosiasikan pada hal-hal tertentu. Artinya, ada istilah-istilah tertentu yang memiliki konotasi dan ososiasi yang negatif. Kepada ciptaan Tuhan saja pikiran manusia sudah berprasangka buruk, lalu bagaimana dengan penciptanya?
Misalnya, ada nama-nama (diri) tertentu yang biasa dipakai oleh orang Negro (kulit hitam keturunan Afrika), India dan lainnya kemudian dipakai oleh orang-orang Turki dan Romawi (yang punya wibawah pada masanya), semula mereka tertarik dan hormat kepada orang Turki dan Romawi, sekarang mereka sudah tidak menghormatinya karena memakai nama orang-orang kulit hitam.
Kata Gus Ulil, apakah kita akan menerapkan asosiasi pemikiran seperti ini dalam semua kasus? Apakah kita akan selalu menghubungkan sesuatu yang tidak memiliki hubungan? Tentu tidak. Sebab, tidak semua kasus dan masalah memiliki sifat-sifat yang dia asumsikan.
Contohnya lagi, ada orang ganteng tetapi memiliki nama Supeno. Mungkin ada sebagian orang berkata, “Ganteng-ganteng kok namanya Supeno, emang gak ada nama lain apa?.” Bahkan, tak menutup kemungkinan seseorang yang mendengar nama Supeno akan membuat asumsi-asumsi yang kurang sedap di telinga.
Begitulah manusia. Kadang-kadang pikirannya manusia aneh dan selalu menghubungkan dua sesuatu yang tidak ada hubungannya. Inilah yang bisa menimbulkan kesesatan dalam berpikir, dan kita harus menjauhinya.
Kenapa harus menjauhinya? Karena ketika berpikiran dan menyusun mengenai akidahnya, pandangan keagamaannya, tindakan sehari-harinya dan ucapan-ucapannya sudah pasti mengikuti pola-pola yang demikian di atas (seperti menganggap nama Supeno jelek).
Kata Gus Ulil, ketika Anda merumuskan akidah tentang Tuhan yang mencakup tindakan-tindakan Tuhan, berhati-hatilah. Jangan sampai menganggap Tuhan jahat apalagi tidak adil. Jika Anda mengatakan Tuhan tidak adil, lah tidak adilnya bagaimana? Menurut siapa?
Kata Al-Ghazali, seorang manusia biasa tidak akan mungkin bisa mengikuti nalar murni tanpa dipengaruhi oleh hawa nafsu dan sesat pikir, kecuali wali-wali dan kekasihnya Tuhan yang mampu mengikutinya, karena kebenaran akan diperlihatkan kepada mereka. Tuhan akan membuat para wali-walinya kuat untuk mengikuti akalnya.
Namun, jika Anda tak percaya, coba datangkan orang awam dari kalangan Muktazilah, lalu kemukakan kepadanya mengenai rumusan sesuatu yang rasional, karena ia Muktazilah dan menerima yang rasional, maka ia akan cepat-cepat untuk menerima masalah. Akan tetapi, jika dikemukakan kepadanya “Oh ini mazhab Asy’ariyah lho,” maka ia akan langsung lari dari masalah itu selama ia benci kepada Asy’ariyah.
Dengan demikian, jangan menilai sesuatu dari sampulnya saja, melainkan nilailah sesuatu berdasarkan dari isinya. Karena hal yang demikian akan membuat Anda berada dalam sesat-kesesatan yang abadi. Wallahu a’lam bisshawwab.