“Agama dan kekuasaan politik adalah saudara kembar.” Imam Al-Ghazali
Begitulah kata Al-Ghazali. Keduanya saling membutuhkan. Akan tetapi tugas agama tidaklah menjadi penguasa politik. Berbeda halnya dengan di Barat antara agama dengan kekuasaan politik selalu bertabrakan.
Tentu saja karena sejarah Barat sendiri. Dalam hal ini, keberadaan agama dahulu kala di Barat acap kali diselewengkan sehingga menimbulkan bencana yang sangat dahsyat dalam kehidupan masyarakat, yaitu pada abad pertengahan. Salah satunya adalah munculnya teokrasi.
Syahdan. Bagaimanapun seorang penguasa itu harus ada. Sebab, jika tidak ada penguasa, maka semua orang akan kacau balau oleh karena pendapat yang berbeda. Hal ini pada akhirnya akan menjadi penyakit (patologi sosial politik). Pendek kata, ketertiban kehidupan agama tidak akan tertib jika tidak ada ketertiban dunia. Di sinilah pentingnya penguasa.
Anda tahu! Hari ini opini yang berkembang di masyarakat adalah cenderung melihat bahwa kemashlatan yang baik itu kebebasan. Iya, kita mengingkarinya. Ini memang penting. Akan tetapi, tidak kalah pentingnya adalah adanya ketertiban. Jika kehidupan sosial tidak tertib, maka yang terjadi adalah kerusakan yang sulit diselesaikan.
Apakah memilih pemimpin wajib?
Menurut ulama sunni jawabannya wajib. Berbeda dengan Al-A’sam yang mengatakan tidak wajib. Ia mengatakan jika masyarakat bisa tertib tanpa adanya seorang pemimpin, maka tidak wajib memilih pemimpin. Bukankah dengan adanya pemimpin terkadang masalah tambah besar dan banyak?
Gus Ulil mengatakan bahwa pendapat Al-A’sam ini masuk akal dalam komune yang kecil seperti pedesaan, namun tidak pada lingkup yang besar seperti provinsi dan seterusnya. Karena itu, pendapat ulama sunni lebih tepat. Dengan kata lain, ulama sunni tidak pernah berhenti untuk menelaah masalah-masalah sosial.
Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, yang dibutuhkan dalam kekuasaan politik bukan dilihat dari segi apakah kita berhasil mengangkat imam yang sholeh atau tidak, melainkan bisa memimpin secara efektif (ditaati). Percuma pinter tetapi tidak efektif ketika memimpin. Pendek kata, seorang imam harus berani menggunakan kekuasaannya secara tepat.
Catatan akhir
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa soal imamah (politik) hanya masalah fikih, bukan soal akidah. Misalnya, siapa yang berhak jadi penguasa setelah nabi wafat? Sekali lagi bukan soal akidah (ushul al-Dhin) melainkan hanya cabang akidah (furu’ al-dhin). Dalam kacamata Islam, yang lebih penting dari imamah adalah mengenal Allah Swt. Jadi kita orang beriman maka pusat kehidupannya adalah Allah Swt.
Tak hanya itu, kata Al-Ghazali, jika Anda terlalu serius membahas soal imamah, maka yang terjadi adalah “taasshub” (fanatisme buta). Itu sebabnya, ada sekian banyak ulama yang tidak tertarik perihal imamah. Jangan jadikan imamah sebagai pokok pembahasan yang menyiksa pikiran. Pada akhirnya ia akan absurd dengan sendirinya. Wallahu a’lam bisshawab.