Pada ngaji sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam pandangan Asy’ariyah orang yang fasik boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan kata lain, tidak ada syarat eksplisit yang mengatakan bahwa seseorang jika ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar maka harus saleh dan tidak pernah berbuat dosa.
Tentu saja, kata Gus Ulil, jika demikian lalu siapa yang akan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar? Apakah ada orang yang tidak pernah melakukan dosa? Jawabannya tidak ada. Akan tetapi, jika Anda menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai profesi (misalnya jadi kiai dan pendakwah), sangat tidak elok dilihat dari segi sosial. Namun, secara kaca mata fiqh, sangat tidak ada larangan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Inilah pandangan Asy’ariyah.
Syahdan. Perihal argumentasi Al-Ghazali yang demikian, maka lawan debatnya semakin memanas. Ia justru berkata kepada Al-Ghazali, “Jika posisi kamu (Al-Ghazali) seperti itu maka konsekuensinya akan semakin ruwet. Kamu akan menganggapnya sangat tidak masuk akal.”
Misalnya, ada seorang laki-laki yang memperkosa perempuan. Nah, di tengah kejadian perkosaan, semula wajahnya perempuan di tutup sekarang akhirnya di buka dan laki-laki itu berkata, “Kamu jangan membuka wajahnya karena itu bagian aurat dan pasti dosa.” Ia tak sadar bahwa dirinya sedang melakukan bermaksiat.
Kata sang lawan debat, “Menurut pendapat posisi kamu yang tadi wahai Al-Ghazali bahwa orang fasik boleh hisbah, maka secara tidak langsung berarti boleh memperkosa si perempuan dan melarang membuka wajahnya.”
Tak hanya itu, lanjut lawan debat, “Bukankah lebih besar dosanya berzina daripada membuka wajah? Inilah konsekuensi pendapatnya kamu. Ini hisbah apaan emang? Masa membuka atau melihatkan wajah tidak boleh sementara berzina boleh?”
Selain itu, kata lawan debat, jawaban dan posisi kamu sama dengan orang yang mengatakan, “Aku punya dua kewajiban yaitu wudhu’ dan shalat. Dan sekarang aku shalat akan tetapi tidak berwudhu’, apakah boleh seperti itu? Tentu, kalau menurut wajibnya kamu boleh oleh karena melakukan salah satu dari dua kewajiban.”
Misalnya lagi, “Besok aku mau puasa, malamnya diperintahkan untuk sahur (walaupun perintah). Jika demikian wahai Al-Ghazali, bolehkah aku sahur saja tetapi tidak berpuasa besok siangnya?”
Hal seperti ini, kata lawan debat, sangat tidak masuk akal. Mestinya, orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum membersihkan orang lain. Persis seperti wudhu’ dan shalat. Artinya, shalat tidak akan sah tanpa melakukan wudhu’ terlebih dahulu. Syarat (wudhu’) lebih dahulu dari pada masyruth (shalat).
Al-Ghazali kemudian menjawab, “Sesungguhnya yang demikian itu bukan soal enak dan tidaknya, pantas dan tidak pantas. Ya begitulah memang hukumnya. Dengan kata lain, kalau soal enak dan tidaknya, ada banyak sesuatu yang benar tetapi tidak enak. Begitu juga sebaliknya, banyak sejatinya sesuatu yang salah akan tetapi enak. Sekali lagi, ini perihal hukum.”
Bahwa, mencegahnya laki-laki tersebut kepada perempuan yang diperkosa adalah sebuah ucapan dan tindakan (qaul dan fi’lun). Jika diteliti, memang zinanya terpaksa, akan tetapi ketika perempuan membuka wajahnya, ia sedang tidak diperkosa.
Artinya, kata Gus Ulil, dia terkena status sebagai orang yang mempunyai kebebasan bertindak dalam hal membuka wajah dan tidaknya. Di situ ada ucapan (jangan buka wajah kamu) dan tindakan (melarang).
Lalu bagaimana status seorang laki-laki yang berkata dan bertindak seperti itu? Ada kemungkinan haram, wajib, dan mubah. Jika Anda mengatakan bahwa qaul dan fi’lun itu wajib (melarang perempuan membuka wajahnya dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya), maka jawaban Anda sama dengan kami kata Al-Ghazali.
Akan tetapi, jika Anda mengatakan qaul dan fi’lun itu mubah, maka boleh-boleh saja. Namun jika Anda mengatakan qaul dan fi’lun itu adalah haram, maka apa dalil yang mengharamkannya kata Al-Ghazali? Dari mana status sesuatu yang wajib berubah menjadi haram hanya karena melakukan sesuatu yang haram?
Tak berhenti di sini, Al-Ghazali juga mengatakan si laki-laki itu menghabarkan bahwa membuka wajah adalah haram. Apakah mendakwahkan hukum seperti ini haram? Apakah mencegah seseorang yang melakukan sesuatu yang haram adalah haram? Dari mana konsepnya?
Yang kami maksud dengan argumen dan statemen itu, kata Al-Ghazali, bahwa ucapannya fasik adalah hak (kebenaran), dan tindakannya fasik melakukan hisbah atau amar ma’ruf nahi mungkar adalah tidak haram.
Jangan disamakan hisbah-nya orang fasik dengan orang yang wudhu’ dan shalat. Jelas berbeda. Kenapa? Karena shalat adalah yang diperintahkan agama, sementara wudhu’ termasuk syaratnya shalat. Demikian juga antara sahur dan puasa (supaya kuat berpuasa maka harus sahur).
Sama, jika Anda mengatakan harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum membersihkan orang lain, maka inilah tempatnya perdebatan. Jangan sampai jadikan dalil. Dari mana konsepnya Anda bertemu kaidah yang seperti ini?
Kalau ada orang yang mengatakan, “Orang itu tidak boleh berperang sebelum dirinya bersih dulu. Dirinya memerangi orang kafir akan tetapi dirinya belum bersih, maka tidak boleh ikut berjihad.” Pandangan seperti ini sama dengan argumen Anda (lawan debat) bahwa orang harus bersih dirinya sebelum membersihkan orang lain.
Sebagai penutup, Al-Ghazali mengatakan, bahwa masalah-masalah di atas dibahas bukan bertujuan agar kalian paham. Tidak. Sebab masalah seperti ini bukan pokok dari akidah. Melainkan, karena masalah-masalah seperti ini tidak layak dibahas di dalam ilmu kalam. Wallahu a’lam bisshawab.