Dari kecil kita sudah terbiasa mendengar kalimat “hafalkan ini untuk ujian” jarang sekali kita mendengar “jelaskan dengan caramu sendiri” dan kita sering diajarkan bahwa nilai tinggi adalah segalanya, dengan nilai tinggi kita bisa mendapatkan segalanya.
Mereka hanya menjadikan, seakan akan sekolah hanya mencari nilai bukan menjadikan diri kita menjadi lebih bernilai dan bermakna. Nilai tinggi pada ujian menjadi patokan keberhasilan mereka, akibatnya para siswa akan berfokus pada metode menghafal materi dan rumus, bukan mengembangkannya menjadi lebih luas.
Budaya ini sebenarnya lahir dari sistem lebih mementingkan hasil dibandingkan proses. Akibatnya siswa belajar bukan karena ingin tahu tetapi karena takut gagal. Budaya ini dapat menghilangkan kekreatifitasan anak bangsa karena hanya berfokus pada sistem menghafal bukan memberi ruang untuk mereka agar dapat memiliki critical thinking.
Critical thinking menurut (Mulyani, 2022) thinking (pemikiran) adalah menggunakan critical (pikiran) untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, sedangkan kritis dimaknai dengan sifat tidak mudah percaya, selalu berusaha menemukan masalah, dan ketajaman dalam menganalisis.
Banyak pendapat ahli yang menjelaskan pengertian critical thinking. Namun, pengertian berpikir kritis dapat disimpulkan sebagai kemampuan berpikir manusia dengan menggunakan pemahaman yang fokus dan mendalam hingga menemukan titik terang yang pasti.
Masih banyak terdengar disetiap ruang kelas bahwa suara guru lebih mendominasi dari pada suara siswa seakan akan mereka hanya patuh pada pada perintah dan penjelasannya, bukan menjadi seorang pemikir yang berani untuk bertanya.
Dunia Sudah Berfikir Sementara Kita Masih Menyalin
Ditengah arus globalisasi segalanya sudah mulai berkembang secara pesat, mulai dari pendidikan, teknologi serta berkembangnya dunia menuju pola pikir yang kritis, kreatif dan kolaboratif, namun beberapa sekolah di Indonesia masih lebih mendominasi pada metode lama yaitu “menghafal untuk lulus bukan berfikir untuk maju.” Jika hal ini terus diabaikan maka akan menumpulkan pola pikir yang kritis dan kreatif.
Lihatlah bagaimana Pendidikan di negara maju. Sistem pendidikan di Cina guru diklasifikasi berdasarkan kualitas. Siswa bebas mengevaluasi kualitas guru secara objektif. Guru dapat tambahan tunjangan kesejahteraan 10 persen dari gaji pokok. (Fariha & Komarudin Sassi, 2023).
Di Cina sejak dini murid-muridnya sudah diajarkan tentang menentukan Nasib dan Pendidikan disana tidak hanya berfokus pada akademis tetapi jug berfokus pada life skill yang dimana ketika sudah besar nanti mereka akan terbiasa dengan kerja sama, mandiri dan adaptif.
Di Finlandia, siswa tidak di bebani dengan ujian Nasional tetapi mereka di ajak untuk berfikir kritis dan memecahkan masalah nyata. Negara Finlandia menunjukan bahwa Pendidikan yang berlandaskan kesetaraan, tanggung jawab, berbudaya serta kerjasama mampu memberikan hasil yang sangat memuaskan. (Doi, 2019).
Sedangkan di Indonesia anak- anak masih ditugaskan untuk menyalin kembali isi buku, dan akan menjadi tambahan penilaian ketika ujian. Indonesia tertinggal bukan karena generasi mudanya yang bodoh tetapi karena sistemnya yang tidak memberikan ruang untuk berfikir kritis.
Kurikulum Selalu Di Perbarui, Tetapi Masalahnya Tetap Sama
Selah satu paradoks terbesar dalam system Pendidikan Indonesia adalah seringnya pergantian kurikulum, tetapi perubahan itu tidak selalu membawa perbaikan nyata.
Hampir setiap pergantian pemerintahan kurikulum baru selalu diperkenalkan dengan tujuan untuk meningkatkan Pendidikan di Indonesia. Namun, setelah bertahun-tahun masalah yang dihadapi tetap sama, mulai dari kualitas guru sampai rendahnya minat belajar siswa.
Harapan dan Arah Perubahan
Paradoks Pendidikan Indonesia adalah cermin dari bangsa yang sedang memahami dirinya sendiri. Di satu sisi, kita bangga dengan kemajuan yang ada, namun disisi lain kita harus sadar bahwa Pendidikan Indonesia masih tertinggal. Sudah saatnya kita berhenti berpuas diri dan mulai membangun Pendidikan yang benar-benar memerdekakan pemikiran, bukan hanya mengandalkan hafalan, karena masa depan bangs aini tidak akan berubah, jika cara mendidiknya masih sama dengan sebelumnya.
Untuk memutus rantai paradoks ini, perlu adanya perubahan menyeluruh — bukan hanya pada kebijakan, tetapi juga pada kesadaran semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Guru harus diberdayakan, siswa harus diberi ruang berpikir, dan sistem harus berpihak pada proses, bukan sekadar hasil. Pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia, bukan sekadar mencetak lulusan.
Daftar Pustaka
Doi, J. (2019). Analisis Komparasi Sistem Pendidikan Indonesia dan Finlandia Maulana Amirul Adha Universitas Negeri Malang Saverinus Gordisona Universitas Negeri Malang Nurul Ulfatin Universitas Negeri Malang Achmad Supriyanto Universitas Negeri Malang Pendahuluan Indone. Jurnal Studi Manajemen Pendidikan, 3(2), 145–160.
Fariha, & Komarudin Sassi. (2023). Sistem Pendidikan Di Negara China. Jurnal Nakula : Pusat Ilmu Pendidikan, Bahasa Dan Ilmu Sosial, 2(1), 332–347. https://doi.org/10.61132/nakula.v2i1.500
Mulyani. (2022). Pengembangan Critical Thinking Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(1), 100–105. https://doi.org/10.54259/diajar.v1i1.226

