KeislamanTokoh

Al-Mutanabbi Penyair Yang Dianggap Nabi

5 Mins read

Al-Mutanabbi ( lahir di Kindah, Kufah, Irak, 303 H/915 M dan wafat di Kindah, Kufah, 354 H/965 M). Al-Mutanabbi merupakan seorang penyair yang sangat terkenal pada masanya. Nama lengkapnya adalah Abu Tayyib Ahmad bin Husain bin Murrah bin Abdul Jabbar al-Ju’fi al-Kindi al-Kufi. Nama al-Ju’fi yang disandangnya diambil dari nama kakeknya yaitu Ju’fi bin Sa’ad. Sebutan al-Kindi dan al-Kufi berasal dari nama kampung kelahirannya yaitu Kindah yang terletak di Kufah, Irak. Dia sering pula dikenal dengan Abu Thayyib al-Mutanabbi.

Ayahnya bernama Husain bin Murrah adalah seorang petugas pengairan yang menyalurkan air untuk penduduk Kindah. Neneknya dari pihak ibu berasal dari kabilah Hamdan, merupakan seorang wanita Kufah yang shaleh. Al-Mutanabbi tidak pernah menggunakan nama keluarga maupun kabilahnya.

Nama al-Mutanabbi sebenarnya bukan nama yang dipilihnya sendiri tetapi diberikan orang padanya sejak dia muda.Banyak cerita yang mengungkapkan asal-usul nama ini. Secara etimologi, al-Mutanabbi artinya adalah “orang yang mengakui dirinya nabi”

Tetapi menurut Al Khatib Al Baghdadi (1002-1071, ahli sejarah Islam) menyebutkan bahwa Abu Tayyib diberi gelar al-Mutanabbi karena mengaku berasal dari keluarga Alawi Hasani ( keturunan Imam Ali Bin Abi Thalib dan Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Pengakuan ini dibuatnya ketika dia tinggal di Kalb, suatu tempat di Syam (Suriah). Tetapi setelah diteliti, pengakuan ini ternyata tidak benar.

Cerita lain menyebutkan bahwa pada suatu hari Abu Tayyib Ahmad diminta untuk mengendarai unta betina liar oleh Bani Adi, salah satu kabilah di Suriah. Ternyata dia berhasil mengendarai dan membuat unta itu tenang seperti hewan jinak. Kejadian itu membuat Bani Adi yakin bahwa Abu Tayyib mempunyai kekuatan tertentu yang sama dengan nabi.

Diceritakan pula bahwa suatu ketika ada seorang luka parah terkena pisau. Abu Tayyib Ahmad meludahi lukanya dan menekannya dengan kuat sehingga luka itu sembuh. Peristiwa itu membuat kabilah itu makin yakin bahwa dia adalah nabi. Cerita lain lagi menyebutkan bahwa penyair ini pada suatu hari ketika pernah mengaku sebagai nabi. Pada waktu itu dia membaca 114 kalimat dari Al-Qur’an dan memperlihatkan kemukjizatannya dengan menahan hujan yang turun agar tidak membasahi tempatnya berdiri. Hujan hanya turun di sekelilingnya. Peristiwa ini memperkuat pengakuannya bahwa dia adalah nabi.

Menurut Ibrahim al-Yajizi ( ahli bahasa dan sastra Arab), cerita-cerita di atas tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Ibrahim al-Yajizi mengumpulkan syair al-Mutanabbi dalam sebuah buku yang berjudul Diwan al-Mutanabbi (Kumpulan Syair-Syair al-Mutannabi).

Dia menyatakan bahwa Abu Tayyib Ahmad digelari al-Mutanabbi karena syair yang dilantunkannya sangat membuat kagum para pendengarnya. Bait-bait yang dituangkan dalam syairnya menyerupai kalimat yang diberi mukjizat. Pernyataan ini dipopuler oleh keterangan as-Sa’alibi ( ahli bahasa Arab, wafat tahun 1038) yang menyatakan bahwa sejak kecil Abu Tayyib telah menampakkan kemampuan yang besar. Dia mampu mengungkapkan kata, ungkapan dan syair yang sangat mengagumkan para pendengarnya.

Al-Mutannabi lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Walaupun begitu, ia dan ayahnya sering berkunjung ke berbagai wilayah. Ibunya meninggal ketika dia masih muda. Dia menikah sesudah tahun 938 dengan seorang wanita asal Suriah.

Sejak kecil, al-Mutanabbi telah menunjukkan kepintaran dan kekuatan hafalannya serta terkenal dalam mencintai ilmu dan sastra. Dia banyak bergaul dengan para sastrawan, ulama dan penulis pada masanya. Diceritakan bahwa pada suatu hari dia berada di rumah salah seorang penulis.

Lalu datanglah seseorang ingin menjual sebuah buku Nahu yang terdiri dari 30 halaman. Al-Mutanabbi mengambil buku itu dan membuka halaman demi halaman sampai halaman akhir. Karena bosan menunggu pemilik buku itu berkata ; “Wahau pemuda, engkau telah menghalangiku untuk menjual buku ini dan sekiranya engkau ingin menghafalnya maka engkau tidak mungkin melakukannya sekarang”.

Mendengar ucapan itu dia menyatakan ; “Sekiranya, aku dapat menghafalnya saat ini apakah engkau akan menghadiahkannya kepada saya ?”. Laki-laki itu menjawab : “Iya”. Penulis yang menjadi tuan rumah lalu memegang buku itu dan membuka halamannya sementara al-Mutannabi membaca apa yang tertulis dalam buku itu sampai selesai seluruhnya.

Al-Mutanabbi banyak berguru kepada para ulama seperti Imam as-Sukkari Naftawih dan Ibnu Dastawaih dan kepada para ahli bahasa dan sastra seperti Muhammad bin Duraid, Abu al-Qasim Umar bin Saif al-Baghdadi dan Abu Imran Musa. Al-Mutanabbi adalah penyair yang sering berpergian ke tempat-tempat sekitar Kufah.

Pada tahun 924, ketika Kufah diserang oleh golongan Qaramitah, dia meninggalkan kota itu dan tinggal di daerah pedalaman selama 2 tahun. Di sana ia bergaul dengan orang Arab Badui. Pada tahun 927 ketika kaum Qaramitah mengalahkan Daulah Abbasiyah, dia meninggalkan Kufah untuk kedua kalinya.

Peristiwa ini sangat berkesan di dalam dirinya sehingga dia nyatakan dalam bait-bait syairnya. Pada tahun 319 H/931 M, Dia terpaksa pindah ke Baghdad bersama sebagian penduduk Kufah lainnya karena Qaramitah masih menguasai Kufah.

Pada tahun 933, dia pergi ke Suriah. Saat itu Suriah terbagi atas dua bagian yaitu yang dikuasai Muhammad bin Tugj al-Ikhsyid ( memerintah tahun 935-946) dari Dinasti Ikhsyid dan yang dikuasai Ibnu Ra’iq, gubernur Damaskus dari Dinasti Hamdani.

Selama di Suriah dia banyak melantunkan syair-syai pujiannya kepada para pembesar kerajaan ketika itu, seperti Muaswir bin Muhammad ar-Rumi, Husain bin Abdullah bin Tugj (kemenakan al-Ikhsyid) dan Tahir al-Alawi.

Al-Mutanabbi tinggal di Suriah selama 15 tahun. Pada tahun 935 jadi penjara karena dituduh mengaku sebagai nabi. Di negara ini dia sangat populer dan terkenal dengan berbagai macam syairnya. Di sini dia menyusun 44 kasidah yang ditujukan kepada para pembesar istana yang jumlahnya mencapai 32 orang. Di antara pembesar istana yang dipujinya ialah Badr bin Amr al-Asadi, Na’ib bin Ra’iq, dan Musawir bin Muhammad ar-Rumi. Di samping popularitas dia juga mendapat banyak uang dari para pengunjungnya. Karena itulah sebagian qasidahnya dinamakan al-qasa’id ad-dinariyyah (Kasidah yang dibayar dengan dinar).

Meskipun sangat dekat dengan kepala raja dan sultan, dia hidup miskin sampai tahun 947. Akan tetapi ada suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia orang terpandang, dan meyakini hak yang harus diperolehnya dari orang-orang pada zamannya. Ia sering kali bangga dengan syairnya yang dikagumi dan disenangi para pembesar.

Melihat keberangkatannya ini Hasan bin Ubaidillah bin Tugj mengajaknya pergi ke kota Ramlah di Palestina. Kesempatan ini memberinya peluang untuk mengadakan hubungan dengan Abu al-Asya’ir bin Hamdan, walikota Antakya (bagian utara Suriah) yang merintis jalan baginya untuk sampai kepada Saifuddawlah Ali bin Abdullah bin Hamdan (Amir Suriah, yang memerintah tahun 945-967). Amir ini melimpahkan kemewahan kepadanya.

Hasan bin Ubaidillah bin Tugj juga membawanya menghadap Sultan Ali bin Tugj. Kasidah yang dilantunkannya menggugah hati Sutan untuk menghadiahkannya uang seribu dinar. Dia cukup lama tinggal bersama Ibnu Tugj. Ketika berada di Ramlah, dia juga memuji Abu al-Qasim Tahir bin Husain bin Tahir al-Alawi ( pembesar kerajaan di kota itu) atas perintah Ibnu Tugj. Abu al-Qasim juga mengaguminya.

Ia meninggalkan Ramlah pada tahun 947 melalui Baalbek, kota di sebelah timur laut Beirut, menuju Antakya. Di Baalbek, ia bertemu dengan Ali bin Askar (ahli bahasa) yang memintanya untuk tinggal bersamanya. Ali bin Askar pun tidak luput dari syair pujiannya.

Al-Mutanabbi berangkat menuju Mesir pada tahun 957 dan menetap di sana selama 4, 5 tahun. Di Mesir, dia bertemu dengan al-Misk Kafur al-Ikhsyid ( memerintah tahun 966-968) dan memujinya selama 3 tahun. Untuk ini dia menyusun 9 kasidah dengan 370 bait syair atau seperempat dari syair yang diucapkannya untuk Saifuddawlah. Dia meninggalkan Mesir menuju Kufah pada tahun 961.

Perjalanan keliling al-Mutanabbi menghabiskan waktu 30 tahun. Pada waktu dia kembali ke Kufah, negeri Irak ketika itu sudah 16 tahun berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi. Di sini dia tinggal selama hampir 3 tahun. Selama di Kufah, dia tidak hanya menjadi penyair tetapi juga pernah ikut berperang melawan Banu Kilab dari Arabia Selatan yang menyerang Kufah.

Pada tahun 963 dia meninggalkan Kufah menuju Baghdad. Di kota ini dia bertemu dengan al-Mahlabi ( salah seorang menteri dalam pemerintahan Mu’izz ad-Daulah dari Dinasti Buwaihi) dan tinggal bersamanya selama 3 tahun. Setelah itu dia pergi ke Faris, salah satu kota di Iran dekat Teluk Persia. Di kota Ini, ia diterima oleh Abu al-Fadl bin Amid ( seorang sastrawan terkemuka) yang sebelumnya tidak senang kepadanya.

Ia berada di sini selama 2 tahun. Dari Faris, Dia menuju Syiraz dekat Faris dan tinggal di sana selama 3 bulan. Kemudian dia ke Baghdad dan terus ke Kufah. Tidak lama kemudian dia meninggal dunia dalam usia 50 tahun. Al-Mutanabbi tidak meninggalkan karya tulis mengenai syair-syair yang diucapkannya. Syairnya ditulis oleh juru tulis para pembesar kerajaan yang disanjungnya dan kemudian dihimpun dalam kitab Diwan al-Mutanabbi.

186 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
Tokoh

Sarwo Edhie Wibowo: Panglima Penumpas G30S/PKI dan Perjalanan Hidupnya

4 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Sarwo Edhie Wibowo adalah salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Namanya erat dikaitkan dengan peristiwa G30S/PKI…
KeislamanTokoh

Rohana Kudus Tokoh Pergerakan Wanita Indonesia

3 Mins read
Kuliahalislam.com. Rohana Kudus (lahir di Kotagadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, 20 Desember 1884 dan wafat di Jakarta, 17 Agustus 1972). Ia merupakan perintis…
Keislaman

Ziarah Makam Sunan Pandanaran : Biografi dan Jejak Spiritual di Tanah Jawa

4 Mins read
Ziarah makam sunan Pandanaran: biografi dan jejak spiritual di tanah Jawa. Pada hari itu saat menuju makam sunan Pandanaran penulis berangkat tidak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Paijo Parikesit Desak Polres Trenggalek Tegas: “Menegakkan Keadilan Adalah Amanah Iman!"

Verified by MonsterInsights