Kali ini saya akan berbicara mengenai sejarah Dana Mbojo pada masa penjajahan Jepang, kekejaman penjajahan Jepang juga sama seperti halnya seperti yang dilakukan di Jawa dan wilayah lainnya di Indonesia. Masa pemberontak Jepang di Bima yang terjadi pada tahun 1942-1945, merupakan peristiwa yang sulit dilupakan oleh pemerintah dan rakyat Bima.
Yang mana pada masa itu penjajah Jepang yang ingin mencari wanita/gadis buat menghibur untuk memuaskan nafsu nya, juga sempat merembes ke Dana Mbojo (Bima). Jugun Ianfu, merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur, yang terlibat dalam perbudakan seks selama perang dunia 2 Jepang di wilayah perang.
Keinginan dou Jepang ini disampaikan oleh perwakilan militer Jepang wilayah Sumbawa di istana Bima kepada sultan Muhammad Salahuddin. Ruku ra rawi dou Jepang ake wati mencerminkan harkat dan martabat dou Mbojo pada saat ede. Sehingga, mendengar informasi itu sultan yang berjulukkan ‘ma ka kidi agama’ itu pun langsung memanggil para pejabat kerajaan, yakni dengan bersama-sama menolak keinginan Jepang tersebut.
Sehingga pada saat ede sempat mpanggawawi sampai- sampai mengeluarkan keris, yakni dengan menandakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Jepang tersebut oleh kesultanan Bima.
Dalam kondisi genting tersebut, timbul ide brilian dari Sultan Salahuddin. Yakni para gadis Bima yang belum menikah, secepatnya di kawinkan dalam waktu singkat. Sehingga pada peristiwa inilah yang disebut dengan “nika baronta”.
Kebijakan ini merupakan pilihan pahit yang dilakukan para orang tua, karena merupakan salah satu aib tersendiri bagi para orang tua si gadis dalam mencari laki-laki dan perjaka yang akan menikahi putrinya.
Namun tindakan ini harus dilakukan, daripada anak putrinya jatuh di tangan penjajah Jepang yang akan dijadikan sebagai pemuas nafsu orang Jepang. Nika baronta ini merupakan suatu pilihan yang tepat namun sangat berat.
Menurut salah seorang sejarawan Bima menyatakan, puncak peristiwa nika baronta ini terjadi pada tahun 1944. Yang dimana saat itu suasana huru-hara terjadi di Bima -dompu.
Setiap hari ratusan pasangan mengucapkan ijab kabul dengan acara yang sederhana. Yang tidak lazim dalam kacamata adat Bima dengan tuntutan agama dan fiqih Islam. Para tamu hanya di suguhkan kopi dan kue se alakadarnya karena merupakan suatu tindakan yang urgent pada saat itu.
Dari hasil pernikahan tersebut menghasilkan pandangan yang aneh antara pasangan suami-istri yang baru menikah tersebut, pasalnya mereka sebelumnya kan belum pernah ketemu dan saling kenal mengenal tiba-tiba udah jadi pasangan suami-istri.
Dari hasil pernikahan tersebut ada juga yang merasa pasangan nya cocok ganteng dengan cantik, dan begitupun sebaliknya ada yang tidak cocok. Meskipun begitu Kenyataan ini harus diterima dengan hati yang terbuka sebagai karunia Tuhan dalam melayani bahtera rumah tangga dan walau dibilang masih dini.
Tindakan sultan Bima ygang diluar perkiraan ini, membuat penjajah Jepang patah semangat, tetapi jepang tidak kehabisan akal. Jepang mendatangkan wanita dari daerah dan pulau lain ke Bima misalnya Sumatra, Jawa, bali dll… Wanita-wanita ini ditampung di dalam gudang gudang militer Jepang yang berada di Bima.
Pada akhirnya Jepang mengaku kalah perang seiring dengan pengeboman yang dilakukan Amerika Serikat atas dua kota Jepang, Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945.
Sehingga nasib wanita-wanita Jawa tersebut jadi terlantar. Dan pada akhirnya wanita-wanita tersebut menikah dengan orang-orang Bima dan beranak pinak di Bima. Mereka tidak pernah kembali dan mengetahui kampung halamannya hingga kini… sungguh menyedihkan. Di kalangan orang Bima nika baronta ini dikenal dengan nika Nippon (menikah karena takut diambil Jepang)