Keislaman

Analisis Praktik Kesederhanaan Mahar Oleh Masyarakat Muslim Tinjauan Hadis Nabi

17 Mins read

Abstrak

Meningkatnya permintaan mahar dalam praktik pernikahan Muslim di masa sekarang ini memunculkan kekhawatiran terhadap pergeseran makna substantif mahar dalam Islam. Mahar yang semestinya menjadi syarat sah pernikahan dan simbol tanggung jawab suami, kini sering dipersepsikan sebagai penanda status sosial yang memberatkan pihak laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji praktik kesederhanaan mahar dalam masyarakat Muslim serta memahami faktor-faktor yang memengaruhinya, dengan menekankan pada relevansi pemahaman hadis tentang mahar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analitis. Data dikumpulkan melalui studi literatur, termasuk kajian terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan kesederhanaan mahar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik mahar sederhana dipengaruhi oleh pemahaman keagamaan yang bersumber dari ajaran Rasulullah, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, serta budaya lokal yang menekankan keberkahan dan niat tulus dalam membangun rumah tangga. Dalam konteks ini, kesederhanaan mahar tidak hanya diukur dari nominal, melainkan dari substansi tanggung jawab dan ketulusan pihak laki-laki dalam memulai kehidupan berumah tangga. Temuan ini menggarisbawahi bahwa praktik mahar sederhana selain meringankan beban ekonomi, juga memperkuat nilai spiritual dan kesalehan sosial dalam institusi pernikahan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Muslim untuk memahami makna mahar secara holistik, sebagaimana diajarkan dalam hadis, agar tidak menjadi hambatan pernikahan, melainkan sarana mendekatkan diri kepada ajaran Islam yang esensial.

Pendahuluan

Mahar adalah pemberian wajib dari seorang pria kepada wanita yang akan menjadi istrinya. Lebih dari sekadar formalitas, mahar memiliki makna mendalam sebagai simbol penghargaan, kesungguhan, dan komitmen seorang suami dalam membangun rumah tangga. Dalam Islam, mahar bukanlah harga bagi seorang wanita, melainkan tanda cinta dan tanggung jawab yang tulus (2022). Mahar menurut para ulama memiliki beragam definisi meski maknanya tetap sejalan. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri akibat dari akad nikah atau terjadinya hubungan suami istri yang sah. Sementara itu, ulama Malikiyyah melihat mahar sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli oleh suaminya. Berbeda lagi dengan ulama Syafiiyyah yang menyatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan karena adanya akad nikah atau hubungan suami istri. Sedangkan menurut ulama Hanabillah, mahar merupakan imbalan dari pernikahan, baik disebutkan secara eksplisit saat akad maupun tidak (2017).

Dalam beberapa kasus, nilai mahar dapat mencerminkan status sosial keluarga atau berfungsi sebagai bentuk investasi yang diharapkan dapat memberikan keamanan finansial bagi perempuan. mahar  seharusnya  dipahami sebagai  bentuk  penghargaan  yang  sederhana  dan  tidak  membebani,  sesuai  dengan  tujuan syariat  Islam.  Esensi  utama  dari  mahar  adalah  keikhlasan  dan  komitmen, bukan  untuk dijadikan  alat  ukur  materi  atau  gengsi.  Dengan  memahami  makna  dan  tujuan  mahar  yang sebenarnya,  diharapkan  pernikahan  dalam  Islam  dapat  berjalan  sesuai  dengan  nilai-nilai yang diajarkan dalam agama. Adanya mahar dalam perkawinan bertujuan untuk melindungi dan memuliakan kaum wanita, bukan sebagai alat transaksi jual beli atau menempatkan wanita seolah-olah seperti barang yang diperjualbelikan. Konsep mahar dalam Islam sejatinya merupakan penghargaan bagi istri atas kesediaannya membangun rumah tangga bersama suami. Namun, dalam praktiknya, masih banyak masyarakat Muslim yang kurang memahami esensi dari mahar ini. Sebagian besar justru terjebak dalam tradisi yang mengedepankan gengsi dan status sosial, sehingga mahar ditetapkan dalam jumlah yang memberatkan pihak laki-laki(Ash Shabah, 2019).

Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji aspek-aspek mahar dalam Islam. Penelitian oleh Putra Halomoan meninjau keputusan mahkamah terhadap kelangsungan pernikahan berdasarkan tinjauan hukum Islam(Halomoan, 2015).Penelitian oleh Ramli (2017) menyoroti meningkatnya angka perkawinan di bawah tangan akibat ketimpangan sosial dan ekonomi, serta lemahnya kontrol institusi agama dan negara (Maksum, 2017). penelitian ini tidak hanya memperkaya literatur tentang mahar dalam Islam, tetapi juga menawarkan perspektif yang lebih aplikatif. Hal ini menjadikannya relevan bagi masyarakat Muslim yang ingin menjalankan pernikahan sesuai dengan tuntunan syariat tanpa terbebani oleh tuntutan mahar yang berlebihan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna hadis yang berkaitan dengan persoalan mahar dalam pernikahan, baik dari segi kebolehannya maupun larangannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan sudut pandang yang lebih luas mengenai bagaimana hadis-hadis tersebut dipraktikkan dalam tradisi masyarakat Muslim, serta bagaimana pemahaman dan penerapannya dapat berkontribusi dalam membentuk norma yang sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan dalam pernikahan.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi pustaka (library research). Metode kualitatif deskriptif adalah suatu pendekatan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena atau keadaan yang ada secara mendalam dan sistematis tanpa mengubah atau memanipulasi objek yang diteliti. Sumber data utama berasal dari hadis-hadis Nabi yang membahas tentang mahar, baik yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sahih maupun literatur pendukung seperti tafsir dan syarah hadis. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen, sementara analisis data menggunakan metode analisis isi (content analysis) untuk memahami makna dan esensi kesederhanaan mahar menurut syariat Islam. Hasil analisis ini kemudian dikaitkan dengan praktik yang berkembang di masyarakat Muslim untuk memberikan gambaran yang lebih aplikatif dan kontekstual.

Pembahasan

Definisi Mahar

Aṣ-ṣadāq atau yang lebih dikenal sebagai mahar, didefinisikan sebagai imbalan yang wajib diberikan oleh suami kepada istri sebagai konsekuensi dari akad nikah. Mahar merupakan hak penuh bagi istri, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas terjalinnya hubungan suci pernikahan. Dalam syariat Islam, mahar memiliki beberapa istilah yang menunjukkan keberagaman penamaan dalam sumber-sumber hukum Islam. Syariat Islam memberikan beberapa nama yang merujuk pada konsep mahar, yang menunjukkan bahwa istilah ini memiliki makna yang kaya dan kedudukan yang penting dalam hukum Islam. Dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah utama yang merujuk kepada mahar, yaitu aṣ-ṣadāq, al-ajru, dan al-Farīḍah. Kata aṣ-ṣadāq menegaskan bahwa pemberian ini adalah bentuk ketulusan dan penghormatan. Sementara al-ajru, yang secara harfiah berarti imbalan atau upah, menunjukkan bahwa mahar adalah bentuk kompensasi yang memiliki nilai dalam hubungan sosial dan spiritual. Adapun al-Farīḍah menggambarkan bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dalam akad nikah, bukan sesuatu yang bersifat opsional atau sekadar tradisi (bin Ḥabīb al-Baṣrī al-Baghdādī, 1999M).

Dalam pandangan al-Māwardī dalam kitab Al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Madhhab al-Imām asy-Syāfi‘ī, kewajiban memberikan mahar dalam akad pernikahan memiliki landasan yang kokoh dalam tiga sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘ (kesepakatan para ulama). Di antara dasar dari al-Qur’an yang menegaskan kewajiban tersebut adalah firman Allah Ta‘ālā dalam Surah an-Nisā’ ayat 4:”Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib (niḥlah) Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang menjadi objek seruan dalam ayat tersebut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ayat ini ditujukan kepada para suami, karena merekalah yang berkewajiban memberikan mahar. Sementara itu, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa perintah ini ditujukan kepada para wali, mengingat dalam tradisi jahiliah, para wali seringkali menguasai mahar perempuan. Oleh karena itu, ayat ini hadir sebagai penegasan dari Allah bahwa mahar adalah hak milik perempuan sepenuhnya, dan harus diberikan langsung kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan perlindungan terhadap hak-haknya dalam pernikahan (bin Ḥabīb al-Baṣrī al-Baghdādī, 1999M).

Dalam praktik pernikahan, para ulama membagi mahar ke dalam beberapa jenis berdasarkan kondisi dan kesepakatan yang terjadi saat akad. Pembagian ini membantu dalam memahami berbagai situasi yang mungkin terjadi, seperti ketika mahar sudah disebutkan secara jelas, atau ketika tidak disebutkan sama sekali. Salah satu bentuk pembagian yang dikenal adalah mahar musammah dan mahar misil, masing-masing memiliki definisi yang berbeda.  Mahar Musammah adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya telah disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak calon pengantin pria dan wanita serta disebutkan secara langsung dalam sighat akad. Para ulama sepakat bahwa dalam hal ini tidak ada batas maksimal untuk jumlah mahar yang diberikan. Sedangkan mahar mitsil mahar yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kebiasaan atau standar mahar yang biasanya diterima oleh keluarga mempelai wanita. Jenis mahar ini digunakan ketika dalam akad nikah tidak disebutkan secara jelas bentuk atau jumlah mahar yang diberikan (Kafi, 2020).

Baca...  Menyingkap Mukjizat Kebahasaan Alqur’an: Antara Keaslian Bahasa Arab dan Tantangan Terjemahan

Dalam menetapkan mahar, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar mahar tersebut dianggap sah menurut syariat. Pertama, mahar harus memiliki nilai atau harga. Meskipun tidak ada batasan jumlah, baik sedikit maupun banyak, yang penting mahar tersebut memiliki nilai yang bisa dihitung, sehingga tetap sah walau sederhana. Kedua, mahar harus berupa sesuatu yang suci dan bisa diambil manfaatnya. Barang-barang yang haram atau najis seperti khamar (minumankeras), babi, atau darah, meskipun memiliki nilai jual, tidak sah dijadikan mahar karena tidak memenuhi unsur kebermanfaatan yang benar. Ketiga, barang yang dijadikan mahar bukanlah barang hasil ghasab, yaitu barang milik orang lain yang diambil tanpa izin, meskipun pelakunya berniat mengembalikannya. Mahar dengan barang seperti ini tidak sah, walaupun akad nikahnya tetap dianggap sah. Keempat, mahar tidak boleh berupa barang yang tidak jelas bentuk atau jenisnya. Jika barang tersebut tidak dijelaskan secara spesifik atau keberadaannya masih samar, maka mahar seperti ini dianggap tidak sah karena bisa menimbulkan keraguan dan perselisihan di kemudian hari (Ridwan, 2020).

Pemahaman Hadis & Implementasi Hadis Kesederhanaan mahar dalam Masyarakat Muslim

Islam hadir sebagai cahaya rahmat bagi seluruh umat manusia, termasuk bagi kaum perempuan yang pada masa Jahiliah mengalami ketidakadilan, penindasan, dan penghilangan hak-hak dasar mereka. Di tengah budaya yang menempatkan perempuan sebagai seorang tanpa kehormatan, Islam datang memuliakan mereka, memberi kedudukan yang terhormat, serta menetapkan hak-hak yang seharusnya mereka miliki termasuk hak atas harta, pilihan, dan martabat dalam pernikahan.  Namun, saat ini, pemahaman terhadap mahar mulai bergeser. Banyak masyarakat Muslim yang terpengaruh oleh nilai-nilai materialisme. Mahar tidak lagi dipahami sebagai bentuk penghormatan yang sederhana dan bermakna, melainkan berubah menjadi ajang gengsi dan penilaian status sosial. Semakin tinggi nilainya, dianggap semakin bermartabat. Akibatnya, proses menuju pernikahan yang sakral menjadi rumit dan penuh beban, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi (Ridwan, 2020)

Salah satu hadis Rasulullah  yang patut menjadi renungan bagi umat Islam dalam menyikapi pernikahan adalah hadis tentang kemudahan dalam melangsungkan pernikahan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحِيمِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah, dari Abu Abdurrahim, dari Zaid bin Abi Unaisah, dari Yazid bin Abi Habib, dari Martsad bin Abdullah, dari Uqbah bin Amir, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (pelaksanaannya) (ibn Sa‘īd ibn Muslim al-Anṣārī ad-Daulabī ar-Rāzī, 2000)

Kesederhanaan dalam pernikahan merupakan salah satu nilai luhur yang diajarkan oleh Islam. Dalam sebuah sabda Nabi disebutkan, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (pelaksanaannya).” Hadis ini mengisyaratkan bahwa kemudahan dan kesederhanaan bukan hanya soal teknis, melainkan juga pertanda adanya keberkahan dan restu dalam sebuah ikatan pernikahan. Makna “mudah” di sini mencakup biaya yang ringan, proses yang tidak berbelit, serta keterbukaan dari pihak perempuan dan walinya dalam menerima lamaran. Kesederhanaan seperti ini menjadi simbol bahwa pernikahan dijalankan dengan niat yang tulus dan ikhlas, bukan semata-mata karena pertimbangan materi. Lebih dari itu, kemudahan dalam menikah juga mencerminkan sifat perempuan yang membawa keberuntungan, bukan kesulitan. Sebab, pada dasarnya pernikahan adalah anjuran agama yang bertujuan untuk menghadirkan ketenangan dan kedekatan antara dua insan(ibn Tāj al-‘Ārifīn ibn ‘Alī ibn Zayn al-‘Ābidīn al-Ḥaddādī ṡumma al-Manāwī al-Qāhirī, 1356)

Menurut Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi, mahar dalam Islam sejatinya bukan dinilai dari besar kecilnya jumlah, melainkan dari nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya. Ia menekankan bahwa mahar bukan sekadar pemberian materi, melainkan bentuk nyata dari penghormatan dan penghargaan seorang laki-laki kepada calon istrinya. Dalam pandangan syariat, mahar adalah simbol keseriusan, tanggung jawab, dan niat tulus untuk membangun rumah tangga (Asy-Sya’rawi, 2016, hlm. 30) Al-Sya’rawi juga mengingatkan bahwa jika mahar dinilai secara berlebihan dari sisi materi, maka hal itu bisa mengaburkan makna dasarnya. Yang seharusnya menjadi simbol cinta dan keikhlasan, malah berisiko berubah menjadi transaksi yang hanya berorientasi pada nilai uang. Padahal, esensi mahar adalah memberi rasa aman dan penghormatan kepada perempuan sebagai bentuk komitmen moral dari suami untuk memuliakan istrinya sejak awal pernikahan (Asy-Sya’rawi, 2016).

Penerapan mahar pernikahan pada  praktik masyarakat muslim tidak bisa terlepas dari beberapa adat atau tradisi yang berlaku pada suatu daerah tertentu. Secara historis, mahar memiliki peran penting sebagai salah satu elemen legal utama dalam konsep dan praktik pernikahan dalam Islam. Sejak masa awal perkembangan Islam, keberadaan mahar telah menjadi perhatian luas, baik dari segi perlindungannya terhadap hak-hak perempuan, maupun dari sisi nilai ideologis, fungsi ekonomis, dan makna moral yang dikandungnya.  Praktik mahar dalam masyarakat Muslim sangat dipengaruhi oleh dinamika dan struktur sosial yang berlaku. Dalam realitasnya, mahar tidak hanya berfungsi sebagai syarat sah pernikahan, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi. Istilah “mahar” sendiri mengalami adaptasi lokal yang beragam—seperti dower atau dowry (Inggris), jujuran (Banjar), uang panaik (Makasar), ajikrama (Sasak), hingga maskawin (Jawa) yang menunjukkan berbedanya pemaknaan dan fungsi di setiap wilayah. Dalam konteks sosial, mahar sering menjadi simbol status, bahkan pada sebagian komunitas dianggap sebagai cerminan kelas sosial atau kebangsawanan suatu keluarga (Aini, 2014).

Di era kontemporer, praktik mahar yang berlebihan mulai menjadi sorotan, terutama di tengah meningkatnya beban ekonomi dan pengaruh budaya konsumtif. Tidak sedikit calon pengantin laki-laki yang mengalami kesulitan melangsungkan pernikahan karena tuntutan mahar yang tinggi, ditambah dengan ekspektasi pesta pernikahan yang mewah. Fenomena ini menggeser orientasi mahar dari yang seharusnya bersifat memudahkan menjadi alat pembuktian status sosial dan gengsi keluarga. Misalnya, budaya masyarakat Bugis-Makassar, uang panai bukan sekadar syarat pernikahan, melainkan simbol kehormatan dan status sosial kedua belah pihak. Semakin tinggi latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kecantikan perempuan, maka semakin besar pula uang panai yang diminta oleh keluarganya. Bagi sebagian keluarga, besaran uang panai menjadi cerminan nilai dan martabat perempuan. Tak jarang, calon mempelai pria harus bersabar dan bekerja keras untuk memenuhinya, sebagai bentuk tanggung jawab dan keseriusan dalam membangun rumah tangga. Praktik ini mencerminkan kuatnya nilai adat dalam menentukan proses pernikahan di tengah masyarakat (Rinaldi, Hufad, Komariah, & Masdar, 2022)

Dalam Hadyu al-Islam: Fatawa Mu’ashirah, Yusuf al-Qaradawi menjelaskan bahwa Islam tidak membatasi secara ketat berapa besar mahar yang boleh diberikan. Tidak adanya batas maksimal ini memberi ruang bagi setiap pasangan untuk menetapkan mahar sesuai kemampuan dan situasi masing-masing. Meski begitu, Al-Qaradawi menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menentukan nilai mahar. Ia mengingatkan agar mahar tidak ditentukan secara berlebihan, tetapi tetap mempertimbangkan aspek-aspek penting seperti kemampuan finansial calon suami, semangat kesederhanaan dalam ajaran Islam. Dalam menetapkan mahar, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan agar nilainya tetap proporsional dan bermakna. Pertama, mahar sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi calon suami, sehingga tidak menjadi beban yang memberatkan atau bahkan menyulitkan di kemudian hari. Kedua, penentuan mahar juga perlu mempertimbangkan latar belakang sosial dan budaya masyarakat sekitar, agar tetap relevan dan tidak menimbulkan kesenjangan. Ketiga, penting untuk memastikan bahwa besarnya mahar tidak merugikan salah satu pihak, baik dari segi materi maupun psikologis. Dengan memperhatikan ketiga aspek ini, mahar benar-benar menjadi simbol penghargaan dan komitmen dalam pernikahan, yang selaras dengan nilai-nilai keadilan dan keseimbangan dalam Islam (Khairuddin, 2024)

Baca...  Mengupas Metodologi Tafsir: Pendekatan dan Objek Kajian dalam Studi Al-Qur'an

Praktik kesederhanaan mahar tentu sangat beragam diantaranya adalah pernikahan pasangan muda asal Dusun Sendong Sekeq, Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, mendadak jadi sorotan publik. Iwan Firman Wahyudi dan Helmi Susanti memilih mahar yang sangat sederhana namun penuh makna: hanya sepasang sandal jepit merek Skyway seharga Rp.10.000,- dan segelas air putih.  Yang menarik, ide mahar unik ini bukan datang dari pihak laki-laki, melainkan justru inisiatif sang mempelai perempuan, Helmi. Sebelumnya, keluarga pihak perempuan sempat mengusulkan mahar senilai Rp40 juta. Namun, Yudi mengaku keberatan dengan jumlah tersebut. Melihat hal itu, Helmi memilih untuk mengusulkan mahar yang sederhana tanpa mengurangi nilai ibadah dan kesungguhan dalam membina rumah tangga (Pos, t.t.)

Fenomena pernikahan pasangan muda dari Dusun Sendong Sekeq, Desa Braim, Lombok Tengah, yang hanya menggunakan sepasang sandal jepit seharga Rp.10.000,- dan segelas air putih sebagai mahar, bukan hanya menarik perhatian karena keunikannya, tetapi juga menjadi teladan tentang makna kesederhanaan dalam ibadah pernikahan. Tindakan Helmi Susanti sebagai mempelai perempuan yang secara sadar memilih mahar yang sangat ringan, menunjukkan pemahaman mendalam terhadap hakikat mahar sebagai simbol kesungguhan, bukan beban materi. Dalam konteks ini, nilai yang ditunjukkan oleh pasangan muda tersebut selaras dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ: أَخْبَرَنَا حَمَّادٌ، عَنِ ابْنِ سَخْبَرَةَ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً»

Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Hammad, dari Ibnu Sakhbarah, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, dari Nabi beliau bersabda: “Perempuan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling ringan bebannya (biaya pernikahannya)(al-Khusrawjirdī al-Khurāsānī, 1424, hlm. 2992).

Praktik mahar unik dan sederhana yang dilakukan oleh pasangan muda di Dusun Sendong Sekeq, berupa sandal jepit seharga Rp10.000 dan segelas air putih, seolah tampak tidak biasa di tengah budaya yang sering kali mengukur nilai pernikahan dari besarnya mahar. Syarah dari hadis ini menunjukkan bahwa “مئونة” (beban) dalam konteks pernikahan mencakup mahar dan segala tuntutan biaya lain yang dapat menjadi penghalang pernikahan. Para ulama menjelaskan bahwa syariat tidak menetapkan batas maksimal atau minimal untuk mahar, tetapi menganjurkan untuk meringankannya demi kemaslahatan bersama (bin ‘Abd al-Raḥmān bin Ṣāliḥ bin Ḥamd bin Muḥammad bin Ḥamd al-Bassām, 2006, hlm. 591).

Dalam  sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat selalu menekankan pentingnya kesederhanaan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pernikahan.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، ح وحَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي الْعَجْفَاءِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ” لَا تُغَالُوا صَدَاقَ النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا، أَوْ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ، كَانَ أَوْلَاكُمْ وَأَحَقَّكُمْ بِهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أَصْدَقَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصْدِقَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُثَقِّلُ صَدَقَةَ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَكُونَ لَهَا عَدَاوَةٌ فِي نَفْسِهِ، وَيَقُولُ: قَدْ كَلِفْتُ إِلَيْكِ عَلَقَ الْقِرْبَةِ، أَوْ عَرَقَ الْقِرْبَةِ ” وَكُنْتُ رَجُلًا عَرَبِيًّا مَوْلِدًا، مَا أَدْرِي مَا عَلَقُ الْقِرْبَةِ، أَوْ عَرَقُ الْقِربةْ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaiba, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, dari Ibn Aun, dan telah menceritakan kepada kami Nasr bin Ali al-Jahdami, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Ibn Aun, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu al-Ajfa’ al-Sulami, ia berkata: Umar bin Khattab berkata: “Janganlah kalian memberatkan mahar para wanita, karena jika mahar itu merupakan suatu kemuliaan di dunia atau kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, maka Muhammadadalah orang yang paling berhak dan layak untuk itu. Beliau tidak pernah memberikan mahar yang lebih dari dua belas uqiyah kepada seorang wanita dari istri-istrinya, dan tidak pula kepada putri-putri beliau. Sungguh, seorang laki-laki bisa saja memberatkan mahar istrinya hingga mahar itu menjadi sesuatu yang memicu permusuhan dalam hatinya terhadap sang istri, dan dia berkata: ‘Aku sudah dibebani dengan beban yang berat, atau dengan keringat yang menetes.’ Aku adalah seorang lelaki Arab, tetapi aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan ‘alaq al-qirbah’ atau ‘araq al-qirbah (bin Yazid al-Qazwini, t.t., hlm. 607).

Muhammad Fuwad Abd al-Baqi dalam menjelaskan hadis tersebut beliau menjeleskan bahwa Umar bin Khattab menyatakan bahwa jika mahar itu sesuatu yang sangat mulia di dunia atau sangat dihargai di sisi Allah, maka Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling berhak dan pantas untuk memilikinya. Namun, meskipun mahar penting, tidak perlu berlebihan, karena Rasulullah sendiri tidak menetapkan mahar yang tinggi untuk istri-istrinya. Beliau bahkan hanya menetapkan mahar sebanyak dua belas uqiyah. Umar juga mengingatkan bahwa jika mahar terlalu tinggi, hal itu dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau permusuhan dalam hubungan, karena pria akan merasa terbebani. Dalam penjelasan lanjut, dikatakan bahwa seorang pria bisa merasa sangat terbebani dengan mahar hingga merasakan keringat dan kelelahan dalam menanggung beban tersebut, bahkan seakan-akan ia menanggung beban yang sangat berat, seperti membawa tempayan air yang penuh (bin ‘Abd al-Raḥmān bin Ṣāliḥ bin Ḥamd bin Muḥammad bin Ḥamd al-Bassām, 2006, hlm. 591)

Implikasi Kesederhanaan Mahar

Fenomena tingginya permintaan mahar dalam pernikahan ini telah melahirkan sejumlah persoalan sosial yang cukup serius. Tidak sedikit pasangan muda yang terpaksa menunda usia pernikahan karena belum mampu memenuhi tuntutan mahar yang tinggi dari pihak keluarga perempuan. Hal ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga memengaruhi struktur sosial masyarakat secara lebih luas. Seperti halnya yang terjadi di Aceh, fenomena tingginya mahar pernikahan menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Mengutip pemberitaan dari SerambiNews.com dalam artikel berjudul “Kasus Pemerkosaan Tinggi di Aceh, Ustaz Masrul Aidi Singgung Soal Tingginya Mahar Pernikahan”, Ustaz Masrul Aidi menyoroti bahwa salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus pemerkosaan di Aceh adalah sulitnya anak muda untuk menikah akibat mahalnya biaya, termasuk mahar yang memberatkan. Budaya pernikahan masyarakat aceh seringkali dikaitkan dengan gengsi, ditandai dengan tuntutan mahar besar dan resepsi mewah, sehingga banyak pemuda yang kesulitan untuk segera menikah secara sah(Khairuddin, 2024, hlm. 99)

Kesederhanaan dalam penetapan mahar memiliki dampak yang luas dan mendalam, baik dalam tatanan individu maupun sosial. Dalam ajaran Islam, mahar bukan sekadar bentuk pemberian materil, tetapi simbol niat baik dan kesungguhan seorang laki-laki dalam membina rumah tangga. Ketika mahar disederhanakan, berbagai implikasi positif dapat muncul dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertama, kesederhanaan mahar membuka akses yang lebih luas bagi generasi muda untuk menikah secara sah. Banyak kasus menunjukkan bahwa tuntutan mahar yang tinggi menjadi salah satu penyebab utama tertundanya pernikahan, bahkan hingga menimbulkan fenomena pernikahan sirri, kawin lari, atau pergaulan bebas yang melanggar norma agama dan sosial. Dengan menurunkan beban finansial di awal pernikahan, kesederhanaan mahar secara langsung mendukung realisasi ḥifẓ al-dīn (menjaga agama) dan ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa) sebagaimana prinsip maqāṣid al-syarī‘ah.  Kedua, secara ekonomi, kesederhanaan mahar membantu menjaga stabilitas finansial rumah tangga. Uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi tuntutan mahar berlebihan, dapat dialihkan untuk kebutuhan primer setelah pernikahan, seperti tempat tinggal, pendidikan, atau modal usaha. Dengan demikian, keluarga baru dapat memulai kehidupan dengan fondasi ekonomi yang lebih rasional dan sehat. Ini merupakan implementasi nyata dari ḥifẓ al-māl (menjaga harta). Keempat, dari sisi hukum, kesederhanaan mahar yang disertai pencatatan resmi dapat memperkuat perlindungan hak perempuan. Dengan adanya standarisasi mahar sebagaimana yang dianjurkan oleh MUI (2019) dan dukungan lembaga-lembaga keagamaan dalam edukasi serta mediasi, tercipta kejelasan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Ini mendukung ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal) dan ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan), sebab ketenangan dan kejelasan dalam pernikahan berdampak besar terhadap stabilitas psikis dan kesinambungan keluarga.

Baca...  Tafsir Ijmali: Sebuah Pendekatan Hermeneutik dalam Memahami Al-Qur'an

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai praktik kesederhanaan mahar dalam masyarakat Muslim, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan terhadap mahar tidak hanya terbatas pada nilai nominal semata, melainkan lebih menitikberatkan pada makna spiritual dan tanggung jawab sosial dalam pernikahan. Jawaban atas rumusan masalah pertama menunjukkan bahwa masyarakat yang memahami ajaran Islam secara substantif cenderung mempraktikkan mahar dalam bentuk yang sederhana sebagai wujud kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah dan demi menghindari pemborosan yang tidak perlu. Untuk rumusan masalah kedua, penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor seperti pemahaman agama, kondisi ekonomi keluarga, serta tradisi lokal sangat memengaruhi praktik mahar sederhana. Adapun rumusan masalah ketiga terjawab melalui penjelasan bahwa nilai-nilai kesederhanaan dalam mahar turut memperkuat fondasi rumah tangga yang dibangun atas dasar keikhlasan dan keberkahan, bukan semata-mata gengsi atau simbol status sosial. Dengan demikian, kesederhanaan dalam pemberian mahar merupakan bentuk implementasi nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan, tanggung jawab, dan niat baik dalam membentuk ikatan pernikahan.

Praktik mahar yang bersifat sederhana juga membawa dampak sosial yang signifikan, terutama dalam membangun kesadaran bersama agar pernikahan tidak dijadikan sebagai ajang unjuk kemewahan. Kesederhanaan ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi hambatan pernikahan akibat tingginya tuntutan biaya. Dengan menanamkan pemahaman bahwa mahar adalah bentuk penghargaan kepada mempelai perempuan dan bukan beban materi, masyarakat Muslim diharapkan dapat membentuk budaya pernikahan yang lebih ramah, inklusif, dan selaras dengan nilai-nilai religius. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari tokoh agama, keluarga, dan lembaga sosial untuk terus mengedukasi masyarakat agar senantiasa menempatkan mahar dalam koridor ajaran Islam yang mengedepankan keseimbangan, kasih sayang, dan keadilan.

Referensi

Aini, N. (2014). Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 14(1).  Diambil dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/1239

al-Khusrawjirdī al-Khurāsānī, A. bin al-Ḥusain bin ‘Alī bin M. (1424). As-Sunan al-Kubrā. Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bayrūt.

Apriyanti. (2017). Historiografi Mahar dalam Pernikahan. An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak, 12, 168.

Ash Shabah, M. A. (2019). Implementasi Pemberian Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Aceh-Indonesia dan Selanggor-Malaysia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta.

Asy-Sya’rawi, M. M. (2016). Anta Tas’alu wal-Islamu Yujibu (Vol. 1). Depok, Indonesia: Gema Insani.

bin ‘Abd al-Raḥmān bin Ṣāliḥ bin Ḥamd bin Muḥammad bin Ḥamd al-Bassām, A. ‘Abd al-R. ‘Abd A. (2006). Taysīr al-‘Allām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām (Vol. 1). al-Qāhirah: Maktabah al-Ṣaḥābah, al-Imārāt.

bin Ḥabīb al-Baṣrī al-Baghdādī, A. al-Ḥasan ’Alī bin M. bin M. (1999M). Al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Madhhab al-Imām al-Shāfi’ī wa huwa Sharḥ Mukhtaṣar al-Muzanī (Vol. 19). Lubnān: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah.

bin Yazid al-Qazwini, I. M., Abu Abdillah Muhammad. (t.t.). Sunan Ibnu Majah (Vol. 2). Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah.

Halomoan, P. (2015). Penetapan Mahar Terhadap Kelangsungan Pernikahan Ditinjau Menurut Hukum Islam. Juris, 14(2), 107–118.

ibn Sa‘īd ibn Muslim al-Anṣārī ad-Daulabī ar-Rāzī, A. B. M. ibn A. ibn Ḥammād. (2000). Al-Kunā wa al-Asmā’ (Vol. 3). Bayrūt/Lubnān: Dār Ibn Ḥazm.

ibn Tāj al-‘Ārifīn ibn ‘Alī ibn Zayn al-‘Ābidīn al-Ḥaddādī ṡumma al-Manāwī al-Qāhirī, Z. ad-D. M. al-Ma‘rūf bi-‘Abd ar-Ra’ūf. (1356). Fayḍ al-Qadīr Syarḥ al-Jāmi‘ aṣ-Ṣaghīr (Vol. 6). Miṣr: al-Maktabah at-Tijārīyah al-Kubrā.

Kafi, A. (2020). Mahar pernikahan dalam pandangan hukum dan pendidikan islam. Paramurobi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(1), 55–62.

Khairuddin, K. (2024). Mahar dalam Islam: Hukum, Tuntutan, dan Realitas Sosial. Journal of Dual Legal Systems, 1(2), 87–102.

Maksum, G. (2017). TELAAH KRITIS TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI INDONESIA. Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam16(1), 63–86. https://doi.org/10.15408/kordinat.v16i1.6455

Pos, S. (t.t.). Kisah Pernikahan Sederhana Viral: Mahar Sandal Jepit yang Menginspirasi. Diambil 21 Mei 2025, dari Santri Pos Media website: https://www.santripos.com/2025/01/kisah-pernikahan-sederhana-viral-mahar.html

Ridwan, M. (2020). Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan. Jurnal Perspektif, 13(1), 43–51.

Rinaldi, R., Hufad, A., Komariah, S., & Masdar, M. (2022). Uang panai sebagai harga diri perempuan suku bugis bone (antara tradisi dan gengsi). Equilibrium: Jurnal Pendidikan, 10(3), 361–373.

Zulaifi. (2022). Konsep Mahar Menurut Pemikiran Ulama Empat Madzhab dan Relevansinya di Era Kontemporer. Qawwam: Journal For Gender Mainstreaming, 16, 106.

Referensi

Aini, N. (2014). Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 14(1).  Diambil dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/1239

al-Khusrawjirdī al-Khurāsānī, A. bin al-Ḥusain bin ‘Alī bin M. (1424). As-Sunan al-Kubrā. Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bayrūt.

Apriyanti. (2017). Historiografi Mahar dalam Pernikahan. An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak, 12, 168.

Ash Shabah, M. A. (2019). Implementasi Pemberian Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Aceh-Indonesia dan Selanggor-Malaysia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta.

Asy-Sya’rawi, M. M. (2016). Anta Tas’alu wal-Islamu Yujibu (Vol. 1). Depok, Indonesia: Gema Insani.

bin ‘Abd al-Raḥmān bin Ṣāliḥ bin Ḥamd bin Muḥammad bin Ḥamd al-Bassām, A. ‘Abd al-R. ‘Abd A. (2006). Taysīr al-‘Allām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām (Vol. 1). al-Qāhirah: Maktabah al-Ṣaḥābah, al-Imārāt.

bin Ḥabīb al-Baṣrī al-Baghdādī, A. al-Ḥasan ’Alī bin M. bin M. (1999M). Al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Madhhab al-Imām al-Shāfi’ī wa huwa Sharḥ Mukhtaṣar al-Muzanī (Vol. 19). Lubnān: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah.

bin Yazid al-Qazwini, I. M., Abu Abdillah Muhammad. (t.t.). Sunan Ibnu Majah (Vol. 2). Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah.

Halomoan, P. (2015). Penetapan Mahar Terhadap Kelangsungan Pernikahan Ditinjau Menurut Hukum Islam. Juris, 14(2), 107–118.

ibn Sa‘īd ibn Muslim al-Anṣārī ad-Daulabī ar-Rāzī, A. B. M. ibn A. ibn Ḥammād. (2000). Al-Kunā wa al-Asmā’ (Vol. 3). Bayrūt/Lubnān: Dār Ibn Ḥazm.

ibn Tāj al-‘Ārifīn ibn ‘Alī ibn Zayn al-‘Ābidīn al-Ḥaddādī ṡumma al-Manāwī al-Qāhirī, Z. ad-D. M. al-Ma‘rūf bi-‘Abd ar-Ra’ūf. (1356). Fayḍ al-Qadīr Syarḥ al-Jāmi‘ aṣ-Ṣaghīr (Vol. 6). Miṣr: al-Maktabah at-Tijārīyah al-Kubrā.

Kafi, A. (2020). Mahar pernikahan dalam pandangan hukum dan pendidikan islam. Paramurobi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(1), 55–62.

Khairuddin, K. (2024). Mahar dalam Islam: Hukum, Tuntutan, dan Realitas Sosial. Journal of Dual Legal Systems, 1(2), 87–102.

Maksum, G. (2017). TELAAH KRITIS TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI INDONESIA. Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam16(1), 63–86. https://doi.org/10.15408/kordinat.v16i1.6455

Pos, S. (t.t.). Kisah Pernikahan Sederhana Viral: Mahar Sandal Jepit yang Menginspirasi. Diambil 21 Mei 2025, dari Santri Pos Media website: https://www.santripos.com/2025/01/kisah-pernikahan-sederhana-viral-mahar.html

Ridwan, M. (2020). Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan. Jurnal Perspektif, 13(1), 43–51.

Rinaldi, R., Hufad, A., Komariah, S., & Masdar, M. (2022). Uang panai sebagai harga diri perempuan suku bugis bone (antara tradisi dan gengsi). Equilibrium: Jurnal Pendidikan, 10(3), 361–373.

Zulaifi. (2022). Konsep Mahar Menurut Pemikiran Ulama Empat Madzhab dan Relevansinya di Era Kontemporer. Qawwam: Journal For Gender Mainstreaming, 16, 106.

 

2492 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Takwil Menurut Para Ulama

4 Mins read
Kuliahalislam. Takwil berarti menerangkan, menafsirkan secara alegoris (kiasan), simbolik, maupun rasional. Secera terminologis, kata takwil diambil dari kata Awwala yang bisa berarti…
KeislamanSejarah

Sejarah Perang Sabil Di Aceh

4 Mins read
Kuliahalislam Perang Sabil (Jihad fi Sabil Allah) merupakan perang antara masyarakat Aceh dan penjajah Belanda (1873-1912), yang bagi masyarakat Aceh merupakan perang…
Keislaman

Cahaya Bintang, Cahaya Kenabian: Tafsir Ayat 1-2 Surat An-Najm

6 Mins read
Pembukaaan surah ini diawali dengan sumpah Allah yang sangat memukau. Surah An-Najm sebagaimana surah Aqsam Makiyyah pada umumnya, menekankan sumpah-sumpah Allah SWT…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanKisah

Ruang Aman dari Allah: Narasi Kesembuhan Jiwa Nabi Musa

Verified by MonsterInsights