KeislamanTokoh

Sibawaih Pemimpin Ilmu Nahu

4 Mins read

Kuliahalislam.com-Sibawaih lahir di al-Baidha’, Ustukhar, Persia tahun 137-177 Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Basyar Amr bin Usman bin Qanbar. Nama Sibawaih sendiri sebenarnya adalah julukan tetapi julukan ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik karena belum ada orang yang mendapat julukan yang sama sebelumnya. Sibawaih berasal dari bahasa Persia (sib=buah apel; waih = wangi) yang berarti “wanginya buah apel”.

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan asal-usul julukan itu. Ada yang mengatakan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena kedua pipinya bagaikan dua buah apel. Ada pula yang memberitakan bahwa julukan itu diberikan karena setiap orang berjumpa dengannya selalu mencium bau wewangian minyak berbau apel yang sering dia gunakan. Pandangan lain menyebutkan bahwa julukan itu diberikan karena tingkah lakunya yang lembut. Yang jelas, pembawaan yang baik selalu mendapatkan pujian dari orang yang bergaul dengannya.

Tidak diketahui pasti tahun kelahirannya. Muhammad al-Anbari (513-577 H/11119-1181 M), seorang sejarawan sastra, di dalam kitabnya yang berjudul “Nuzhah al-Alibba fi Tabaqat al Udaba” (Pemandangan Indah tentang Peringkat Para Sastarwan) menyebutkan bahwa dia meninggal dalam usia 40 tahun. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat ahli tentang waktu wafatnya yaitu tahun 177 Hijriyah, maka diperkirakan bahwa dia lahir pada tahun 137 Hijriyah.

Mengenai tempat kelahirannya juga terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ahwaz (Persia), Ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di al-Baidha’, sebuah desa di Ustukhar, Persia. Pendapat yang kedua ini lebih banyak didukung oleh para sejarawan. Tetapi yang pasti ialah Sibawaih dibesarkan di kota Basra, yang pada masanya merupakan sebuah pusat ilmu pengetahuan dan peradaban di samping Mekah, Madinah dan Kufah. Dia meninggal setelah kembali ke kampung halamannya pada tahun 177 Hijriyah.

Di kota Basra itulah dia pertama kali menuntut ilmu. Pada usia muda dia sudah rajin mengunjungi pengajian ilmiah dalam bidang fiqih dan hadis. Dalam ilmu Hadis dia berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (wafat 167 H), seorang ahli hadis terkenal pada masanya yang juga mendalami ilmu nahwu (gramatikal) dan saraf (morfologi), serta pernah menduduki jabatan Mufti di kota Basra.

Pada waktu belajar hadits kepada Hammad, Sibawaih mendapat kesulitan dalam memahami beberapa hadis karena kemampuan dan pengetahuan bahasa Arabnya sangat terbatas. Oleh karena itulah, atas anjuran gurunya itu, Sibawaih kemudian bertekad untuk mendalami bahasa Arab. Dia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahlinya seperti Isa bin Amar as-Saqafi al-Basri ( ahli ilmu nahwu,saraf dan kiraah, wafat 149 H), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Basri ( ahli nahu yang belajar di beberapa halaqah, wafat 177 H), Harun bin Musa al-Basri (ahli kiraah, wafat 170 H), Abu Amar al-Ala’ (ahli kiraah, wafat 154 H), dan al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi al-Azdi (ahli bahasa Arab dan nahu, wafat 175 H).

Kepada yang disebut terakhir inilah, Sibawaih paling lama dan paling serius belajar ilmu bahasa. Dialah guru terbesar Sibawaih dalam ilmu bahasa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaih menimba seluruh ilmu kepada gurunya ini terutama dalam bidang nahwu dan saraf. Hubungan antara guru dan murid menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua belajar sama dalam pengembangan ilmu bahasa Arab itu. Bersama gurunya itu dia menciptakan ‘ilm al-‘arud (metrik).

Dengan belajar kepada ahli-ahli bahasa Arab dengan segala cabangnya, dia kemudian tumbuh menjadi seorang ahli bahasa Arab yang terkenal. Akan tetapi, karena dia wafat dalam usia yang sangat mudah untuk ukuran seorang ulama, dia tidak begitu dikenal pada masa hayatnya.

Kemahsyuran namanya justru berkembang setelah dia meninggal dunia buku-buku dan karya yang ditinggalkannya. Karyanya itu membuktikan kepada kalangan ilmuwan bahwa dia adalah seorang sangat cerdas dan memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang bahasa Arab.

Dia mengarang sebuah buku besar yang menghimpun kaidah dan prinsip bahasa Arab. Buku ini merupakan Khazanah ilmu bahasa Arab yang tiada tandingnya baik sebelum maupun sesudahnya. Oleh karena itu buku ini masih terus dipelajari penuntut ilmu bahasa Arab sampai saat ini.

Akan tetapi bukunya ini tidak berjudul dan tidak pula didahului dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup. Bahkan pada akhir buku ini ada kesan bahwa penulis masih berusaha menambahnya. Diduga dia wafat sebelum sempat menyelesaikan bukunya ini. Oleh karenanya para ilmuwan sesudahnya hanya memberi nama bukunya ini dengan judul al-Kitab atau Kitab Sibawaih.

Kitab Sibawaih di karang ketika asimilasi antar bangsa Arab dan non Arab sudah lama berkembang. Asimilasi itu sangat berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat terutama dalam bahasa. Padahal bahasa Arab ketika itu masih baru berkembang dan kaidahnya belum tersusun.

Dalam bidang bahasa, orang hanya merujuk kepada riwayat, pendengaran dan kebiasaan bertutur orang Arab. Akibatnya, sering terjadi kekeliruan dalam bacaan, termasuk dalam bacaan Al-Qur’an dan Hadis.

Waktu itu, ilmu nahwu memang sudah lahir sejak Ali Bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk menyusun ilmu nahwu buat pertama kali. Akan tetapi perkembangannya sampai pada masa Sibawaih belum begitu sempurna.

Munculnya kitab Sibawaih tersebut menandai era baru perkembangan bahasa Arab. Karyanya ini memberikan tanda-tanda baca sehingga orang dapat menggunakannya dengan benar dan seragam. Di tangannya, ilmu Nahwu berkembang menjadi matang. Buku yang terutama berkenaan dengan ilmu nahwu, ilmu saraf dan gaya bahasa serta kosakata Arab ini diangkat dari penelitian serius dan didukung oleh 1.050 kutipan, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Gaya bahasanya jelas, muda dipahami dan berkesan bagi para pembaca. Sebelumnya, buku seperti ini belum pernah ada.

Demikian tingginya nilai karya tersebut, sehingga seluruh ahli ilmu nahwu sesudahnya pasti merujuk dan berpedoman pada buku itu. Bahkan para ahli ilmu nahu generasi berikutnya banyak yang menyusun buku dan maksud memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami karya tersebut.

Mereka menyusun buku yang menerangkan dan menafsirkan kitab itu serta memberikan catatan-catatan penting bagi bait-bait syair yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, para ahli ilmu nahu yang datang sesudahnya menjuluki Sibawaih sebagai Imam min A’immah an-Nuhah ( salah seorang pemimpin ilmu nahwu).

Kitab yang beredar sekarang ini terbitkan pertama kali di Bulaq (India) pada tahun 1317 Hijriyah oleh penerbit al-Amiriyyah. Kitab itu terdiri dari dua jilid dengan jumlah halaman lebih dari 900 halaman besar, disertai dengan dua lampiran, yaitu karya Abu Sa’id asy-Syarafi (wafat 367 H) berjudul Ta’liqat Mufidah min asy-Syarh al-Masyhur ( lampiran penting dari keterangan terkenal) dan karya al-A’lam asy-Syantamiri al-Andalusi (wafat 476 H) yang berjudul Syarh asy-Syawahid ( keterangan tentang kutipan).

 

93 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanOpini

Tafsir Alquran dan Interaksi Budaya: Studi atas Tafsir Al-Huda karya Bakri Syahid

2 Mins read
Tafsir Alquran merupakan sebuah hasil interpretasi manusia terhadap teks suci Alquran. Berbeda dengan Alquran yang diyakini sebagai kalam Tuhan yang bersifat mutlak…
Keislaman

Gus Ulil Teologi Asy'ariyah (3): Klaim Tentang Tindakan Tuhan

5 Mins read
Di dalam klaim ketiga ini Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan bisa menimpakan penyakit kepada satu hewan yang tidak melakukan kejahatan apapun. Inilah salah…
Keislaman

Gus Ulil Teologi Asy'ariyah (2): Klaim Tentang Tindakan Tuhan

4 Mins read
Pada ngaji sebelumnya (episode 122/hal. 316, edisi Darul Minhaj) dijelaskan bahwa salah satu klaim pandangan teologis keagamaan (akidah) Asy’ariyah mengenai tindakan-tindakan Tuhan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights