Kita tahu bahwa ketika Al-Ghazali mendefinisikan baik dan buruk pasti selalu berdasarkan kepada tujuan yang mau dicapainya. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap baik jika mencapai tujuan, dan sesuatu dikatakan buruk jika tidak mencapai tujuan.
Misalnya, Anda melakukan sesuatu A karena ingin tujuannya sampai kepada B, dan A benar-benar menyampaikan kepada tujuan B, maka tindakan itu dianggap baik. Sebaliknya, jika A tidak bisa mengantarkan kepada tujuan B, maka tindakan itu jelek. Jadi, baik dan buruk ada tujuannya (insentif) dan konsekuensinya.
Alih-alih ingin sampai kepada satu tujuan tindakan, justru lawan debat Al-Ghazali menyangkal argumen dan berkata, “Oh definisi baik dan buruk itu tidak seperti itu.” Sebab, ada keadaan di mana manusia melakukan sesuatu tanpa insentif (tanpa tujuan apa-apa).
Katakanlah si A (yang ateis) ketika melihat si B dalam keadaan sekarat di tengah padang pasir yang tandus sepi, maka otomatis si A akan langsung menolong si B. Ia menolong karena ada rasa kasih sayang (riqqah al-jinsiyah) kepada si B, sementara si A tidak mempunyai tujuan apa-apa.
Mungkin ketika ada orang lain disekitarnya, kemungkinan menolongnya si A karena ingin dipuji orang-orang sekitar. Atau, jika si A percaya agama maka sudah pasti menolongnya karena ingin mendapatkan pahala dan masuk surga.
Al-Ghazali menjawab, “Sebetulnya jika Anda paham tentang hakikat dan makna dari keterangan sesat-sesat pikir Anda sudah paham jawabannya seperti apa. Tapi karena Anda tak paham maka akan saya terangkan.”
Jadi, soal orang berbuat baik atau menghindari tindakan buruk bukan karena insentif apa-apa ini tidak benar. Kenapa? Si A menolong si B yang sekarat, seolah-olah kelihatannya tidak ada insentif apa-apa, sebetulnya si A sedang mengejar insentif yaitu, ia ingin menghilangkan rasa sakit pada dirinya sendiri.
Tentu ada tujuan, kata Al-Ghazali. Sebab, si A membayangkan, “Jika si A menghadapi atau berada pada situasi seperti si B yang sekarat terus ada orang lain lewat dan tidak mau menolongnya, oh betapa sakitnya hati si A. Bayangan seperti itu membuat hati si A sakit, dan sakit itu bisa dihilangkan dengan cara si A menolong si B.”
Dengan demikian, si A menolong si B itu sebenarnya menolong dirinya. Bagaimana tidak! Ia sedang menghilangkan rasa sakit karena membayangkan dirinya seperti si B yang sekarat kemudian tidak ada orang yang mau menolongnya. Membayangkannya saja sudah merasa sakit, lalu bagaimana jika benar-benar terjadi?
Pertanyaannya sekarang, bagaimana jika kasus seperti si B juga terjadi kepada binatang? Sudah jelas, jika kasus yang pertama motif menolongnya karena si A ingin mengobati rasa sakit dirinya sendiri (karena ia mempunyai rasa kasih sayang kepada sesama), lalu bagaimana jika sekarang si A tidak mempunyai rasa kasih sayang sama sekali? Apa sebenarnya motif ia menolong binatang?
Al-Ghazali menjawab, hal yang demikian ini tetap saja ada insentif yaitu, pujian kebaikan akhlak dan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk. Bisa dibayangkan, kata Al-Ghazali, andaikan ada orang lain disekitar yang melihat tindakan si A, maka otomatis si A akan mendapatkan pujian dan menikmati kelezatan pujian.
Sama seperti orang melihat tali yang menyerupai ular kemudian ia lari karena takut (trauma karena pernah digigit ular). Apakah larinya dia dari tali yang mirip ular tidak memiliki tujuan? Kata Al-Ghazali, tujuannya ada. Sebab, ia membayangkan tali seperti ular. Ia ingin menghindari sesuatu yang membahayakan dirinya karena membayangkan rasa sakit.
Kata Gus Ulil, rasa nikmat dipuji inilah yang ingin diperoleh si A dengan cara menolong binatang itu, karena si A ingin dipuji sebagai orang yang mempunyai rasa kasih sayang, walaupun si A sendiri tidak mempunyai rasa kasih sayang.
Intinya, berbuat baik dan meninggalkan hal buruk dalam definisi Al-Ghazali adalah karena seseorang memiliki pamrih. Sekalipun ada situasi di mana tidak dimungkinkan adanya pamrih, tetap saja ada pamrih (selain karena nikmatnya pujian, juga sesungguhnya tabiat manusia selalu ingin dipuji-puji dan diagungkan).
Sebuah syair dari Ibnu Qais berbahar wafir mengatakan:
ولذلك قال الشاعر:
أمر على جدار ديار ليلى* أقبل ذا الجدار وذا الجدارا
وما حب الديار شغفن قلبي * ولكن حب من سكن الديارا
Artinya: “Aku sudah melewati kampungnya Laila dan baunya masih tertinggal di tembok rumah hingga aku menciuminya.” “Sebenarnya mencintai kampung itu bukanlah hasrat hatiku, melainkan karena cinta kepada orang yang pernah tinggal di kampung itu.”
Syair lain yang berbahar thawil dari Ibnu Rumi mengatakan:
وقال ابن الرومي منبهاً على سبب حب الناس الأوطان
ونعم ما قال:
وحبّب أوطان الرجال إليهم * مآرب قضاها الشباب هنالكا
إذا ذكروا أوطانهم ذكرتهم * عهود الصبا فيها فحنوا لذلكا
Artinya: “Kenangan-kenangan di tanah air atau kampung halaman itu membuat jatuh cinta kepada seorang laki-laki (juga perempuan)”. “Ketika mengingat kampung halaman, mereka teringat masa kecilnya sehingga mendamba-dambakannya.”
Kata Al-Ghazali, tanah air itu sangat spesial dan bisa membuat seseorang rindu. Kenapa demikian? Karena ada bayangan-bayangan yang selalu diingat saat masih kanak-kanak, remaja dan dewasa. Inilah yang menambatkan hati. Wallahu a’lam bisshawab.