“Manfaat terbesar dalam hidup terletak pada perlambatan setiap langkah. Disaat memperlambat ritme kehidupan kita bisa memperoleh ketenangan, kenikmatan, keindahan yang terkoneksi dalam setiap tindakan lambat yang kita lakukan” begitulah ujarnya dari seorang pakar pembicara sekaligus penulis yang tersohor dengan konsep “Slow Living”nya “Carl Honore”.
Menyikapi gagasan Slow Living, tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi kehadiran nya memberikan paradigma baru bagi Carl Honore dimana realitanya saat ini manusia lebih terobsesi oleh percepatan dibanding kenikmatan yang sebenarnya menjadi tujuan utama hidup. Krisis ini disebabkan karna adanya fast culture yang timbul di sela-sela aktivitas manusia. Fast curture sendiri merupakan istilah yang menggambarkan transformasi budaya modern yang mendorong manusia untuk mendapatkan keseluruhan secara instan atau cepat.
Bagi Honore, esensi dari fast culture ini telah melenyapkan sifat autentik manusia. Alasannya mereka akan di bimbing untuk tetap konstan dalam memenuhi kebutuhan birahinya. Tanpa menilik adanya proses dan patiently “kesabaran”. Salah satu penyebab ini di jelaskan dalam buku Carl Honore “In Praise Of Slowness” dipaparkan bahwa manusia saat ini lebih mengutamakan perecapatan dalam menargetkan hidup. Akibat percepatan yang terjadi, membuat mereka sukar untuk bersabar, menjadi tidak konsisten dan mudah merasa bosan.
Disisi lain fast culture sering kali menurunkan kualitas hidup yang dijalani. Hal ini dikarenakan obsesi manusia yang lebih terfokus pada hasil dibandingkan dengan prosedur yang dijalani. Sehingga tak sedikit dari mereka yang kehilangan kemampuan untuk menikmati hidup, menjadi dangkal dan bekerja layaknya mesin. “We are slaves to our schedules” kita adalah budak atas rencana yang kita ciptakan sendiri. Dari segi kesehatan fast culture juga memberikan dampak yang begitu krusial. Seperti timbulnya stres, depresi dan burnout lantaran bekerja terus-menerus hingga mengabaikan recovery body atau waktu istirahat bagi tubuh.
Tak hanya itu, fast culture menyebabkan sikap konsumerisme. Artinya manusia akan di dorong untuk mengedepankan keinginan dibanding dengan kebutuhannya. Karna secara implisit konsumerisme membuat manusia sukar untuk membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Alhasil timbulnya sikap konsumtif, tidak memiliki rasa syukur, sulit menerima dan lebih cenderung membandingkan diri dengan orang lain.
Menurut Honore, istilah Multi-Tasking juga termasuk dalam kutukan yang serumpun dengan fast culture. Ia beranggapan “mengerjakan dua hal sekaligus memang secara fisik tampak pandai dan cerdik. Namun itu semua hanyalah ilusi yang kenyataannya mereka sedang menyiksa diri yang pada akhirnya timbul lah suboptimal secara simultan”.
Melihat dampak yang terjadi, Carl Honore berupaya untuk melakukan perlawanan dengan mengubah mindset manusia untuk lebih menikmati setiap alur perjalanan dan mensyukuri apa yang di miliki itulah ontologisnya atau secara filosofis “Slow Living” merupakan tindakan alternatif yang menuntun manusia dalam mengapresiasi kehidupan, lebih menghayati setiap moment dan bersyukur terhadap kualitas serta kuantitas yang didapatkan.
Melalui Slow Living bukan diartikan secara primitif yakni hidup bermalas-malasan ataupun menunda-nunda. Tetapi kehidupan yang dilalui secara simetris tidak cepat dan tidak pula lambat. Menekankan hidup pada niat dan kehadiran penuh untuk dijalani. Melakukan aktivitas dengan tempo kecepatan yang berkiblat pada kemampuan diri bukan orang lain itulah yang ditafsirkan sebagi hidup Slow Living.
Honore menetapkan beberapa prinsip dari Slow Living yang dibawanya, pertama mindfulness “kesadaran”. Mindfulness ialah perjalanan hidup yang diisi oleh kesadaran penuh akan apa yang di lalui, temui dan resapi. Mengetahui mana yang ada dalam kendali dan di luar kendali diri. Kedua balance “Keseimbangan” seperti yang dijelaskan sebelumnya, pentingnya untuk menata hidup agar tetap simetris merupakan langkah awal untuk peduli terhadap diri sendiri.
Sebab dengan menjaga pola hidup seimbang kita tidak mengabaikan antara kesehatan dan pekerjaan. Ketiga, Mengetahui segala sesuatu bahwa tidak ada yang instan untuk dicapai, namun memiliki proses masing-masing. Dengan menumbuhkan kesadaran ini, sebagai manusia akan lebih menghargai dan menyadari setiap proses dibandingkan memperoleh hasil yang semestinya masih abstrak.
Keempat, hidup dalam kesederhanaan berarti mensyukuri apa yang di miliki sekarang. Hal ini tentunya mampu meminimalisir prilaku konsumtif dan lebih melihat materi dari segi kebutuhan. Kelima, menghargai kondisi baik itu diri sendiri maupun orang lain. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai saling menghargai, secara spontan mencegah sikap untuk membandingkan diri dengan orang lain serta bisa lebih sehat dalam bersosial.
Memang tak dapat disangkal bila faktor terbesar pudarnya sifat autentik manusia ialah kemajuan teknologi yang memungkinkan pekerjaan bisa dilakukan secara daring, memesan makanan lewat aplikasi go food, semabri membeli barang yang di inginkan melalui aplikasi online shop atau simplenya segala yang didambakan bisa terpenuhi secara instan dan cepat. Transformasi ini tentunya menimbulkan gangguan tersendiri dimana manusia cenderung menjadi malas, tidak kreatif dan mudah terserang penyakit seperti obesitas, penyakit jantung, diabetes, stroke dan masih banyak lagi. Oleh karnanya dengan membawa hidup sedikit lebih slow setidaknya mampu mengurangi khawatiran atau gangguan yang tidak di inginkan.
Dalam praktik Slow Living bisa dimulai dari langkah-langkah kecil seperti “meditation” bernafas secara dalam tujuannya untuk menenangkan pikiran dan memperlambat detak jantung. Faktanya orang yang tergesa-gesa dalam bekerja umumnya detak jantungnya lebih cepat dari normalnya. “Evaluation”, hal ini dapat membantu dalam mengetahui prospek aktivitas yang dilakukan.
Bila terasa cepat maka sedikit diturunkan dalam tempo yang santai. Terakhir ”Break” istirahat sejenak, jangan memaksakan diri untuk bekerja secara konstan. Setiap orang memiliki kapabilitasnya masing-masing. Oleh karnanya bila hendak terasa lelah beristirahat lah sejenak, bisa dilakukan dengan rebahan, membaca buku atau beribadah.
Dengan merekonstruksi kultur yang memusatkan diri pada percepatan untuk lebih menuntun hidup pada kebermaknaan, tentunya secara naluriah kita telah mempedulikan, menyayangi dan mencintai diri kita di era disrupsi saat ini. Menemukan kebahagiaan melalui Slow Living dan mampu menabirkan diri dari desakan perubahan yang melaju pesat merupakan suatu kemampuan yang hakikatnya membawa seseorang pada kedamaian hidup yang kerap hilang di sela-sela kesibukan.
Selain itu, adanya konsep hidup lambat ini mampu menjadikan manusia sebagai insan yang lebih sadar akan potensi dirinya serta fokus pada kualitas daripada kuantitas. Dengan demikian mampu menata hidup untuk mewujudkan kehidupan yang seimbang.
Sedikit kutipan dari penulis :
Hiduplah seperti alam yang tumbuh sesuai dengan sifat aslinya yang indah sesuai pada waktunya.