Dalam mukaddimah, Sayyid Quthb memulai kitabnya dengan pujian kepada Allah atas apa yang telah dianugerahkan kepadanya, yakni kehidupan dalam masa yang berada dibawah bayang-bayang Qur’an. kemudian ia memberikan kritik terhadap kehidupan jahiliyah yang pengetahuan, gagasan, maupun bentuk kepeduliannya yang masih bersifat kekanak-kanakan dan belum mendengar seruan yang jelas dan mulia yang bisa mengangkat, membersihkan, dan memberkahi umur.
Sayyid kemudian menyatakan tentang pengalaman yang ia rasakan dengan hidup dibawah bayang-bayang Qur’an berupa konsep atau gagasan yang sempurna, serta dilain sisi ia menanyakan bahwa bagaimana mungkin manusia dengan konsep gagasan-gagasan jahiliyah bisa hidup pada genangan air asin, rendah, dan diliputi gelapan sedangkan cahaya benderang bersama mereka?
Selain itu, ia juga berpendapat bahwasannya pada dasarnya, siklus manusia dan alam adalah telah selaras sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Akan tetapi, terdapat sebuah kekacauan yang menurutnya, manusia terlibat didalamnya dengan tujuan menyimpang dari aturan-aturan alam serta bentrokan yang terjadi antara dogma-dogma buruk yang meliputinya dan karakter yang telah ditetapkan atasnya.
Selanjutnya, selama hidup di bawah bayang-bayang Qur’an, Sayyid menganggap bahwa sesuatu yang ia saksikan di dunia tidaklah terbatas hanya apa yang ia lihat, melainkan lebih dari itu, mencakup dunia dan akhirat. Hidup di dunia hanya salah satu fase yang harus dilewati sebelum masuk ke kehidupan selanjutnya. Sesuatu yang diperolah manusia dari dunia secara utuh dalam, pada kenyataannya adalah sebagian. Balasan yang luput di dunia tidak akan luput di alam sana.
Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang paling mulia. Sebab kemuliaan ini, Allah memilihnya menjadi mustakhlif di dunia. Menjadikannya berkumpul dalam satu ikatan keluarga. Ikatan keluarga yang Allah jadikan sebagai keyakinan seorang mukmin. Maka keyakinan mukmin itu adalah negara, kaum, dan keluarga.
Seorang mukmin memiliki silsilah yang luhur yang berada di bagian-bagian masa dan merupakan satu dari prosesi yang mulia. Prosesi mulia yang membentang sepanjang zaman sejak masa lalu adalah saling berhadap-hadapan sebagaimana menjadi jelasnya pendapat-pendapat yang samar, krisis-krisis dan percobaan-percobaan yang belum menemukan titik terang atas berlalunya masa-masa, perubahan tempat, dan bertambahnya populasi manusia. Tapi semua itu berlalu sesuai porosnya melalui pertolongan dan ketetapan Allah SWT.
Lebih lanjut Sayyid mengatakan bahwa melalui kehidupan dibawah bayang-bayang Al-Qur’an mengajarkannya bahwa tidak ada tempat pada sebuah eksistensi untuk sebuah kebetulan yang tak bermakna serta kesalahan yang tiba-tiba. Hal ini berkaitan dengan firman Allah: inna kulla syai’in khloaqnahu biqadar. Ia juga menjelaskan bahwa sebab-sebab maupun permulaan-permulaan bukanlah sesuatu yang meninggalkan dampak dan hasil, melainkan keinginan yang kuatlah yang menghasilkan itu semua.
Sayyid kemudian menjelaskan filosofi atau beberapa hal berupa argumentasi yang melatarbelakangi munculnya metode atau manhaj yang ia tawarkan, yakni al-manhaj al-ilahiy yang tentunya berkaitan dengan konsep kehidupan dibawah bayang-bayang Al-Qur’an. beberapa hal yang dikomentari adalah terkait manusia, kemampuan, keadaan kehidupan manusia yang banyak melakukan penyimpangan dalam beberapa aspek, dan lain sebagainya.
Sayyid juga mengatakan bahwa sesuatu yang haq dalam manhaj ilahi adalah basis dalam membangun sebuah eksistensi. Bukanlah sekedar kesalahan yang lewat begitu saja, juga bukan kejadian yang lewat begitu saja tanpa tujuan. Makhluk terus berkembang melalui eksistensi Tuhan itu sendiri.
Setelah melalui pengalaman kehidupan dibawah bayang-bayang Al-Qur’an, Sayyid berakhir pada sebuah keyakinan yang kuat bahwa sesungguhnya tidak ada perdamaian di bumi, rehat bagi sifat kemanusiaan, ketenangan bagi manusia, tidak ada kemuliaan, keberkahan, kesucian, keharmonisan dengan anugrah kehidupan kecuali dengan kembali kepada Allah.
Cara untuk kembali kepada Allah dengan menggunakan konsep kehidupan dibawah bayang-bayang Al-Qur’an adalah hanya dengan satu cara yang tidak ada cara selain dengannya, yaitu dengan kembali pada kehidupan dalam manhaj ilahiy yang telah digambarkan Allah melalui Al-Qur’an.
Jalan hidup itu ditempuh dengan hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai satu satunya hakim (pedoman) dalam hidup dan berhukum dengan Al-Qur’an pada setiap masalah sosial yang terjadi. Sesungguhnya berhukum dengan Al-Qur’an bukanlah sebuah anjuran ataupun pilihan melainkan sesuatu yang bersifat fundamental, yakni Iman. Maka bisa dikatakan hal ini bersifat pasti dan termasuk bagian dari dasar keimanan (akidah), serta merupakan perantara kebahagaan bagi manusia.
Sayyid kemudian mengkritik tentang manusia yang tidak sadar dan tidak menjalani kehidupannya dengan berpedoman Al-Qur’an. Ia bertanya mengapa manusia belum sepenuhnya menyelimuti kehidupannya dengan Al-Qur’an, enggan mengadukan segala masalahnya kepada Allah, pemilik Al-Qur’an.
Berdasarkan hal tersebut maka akan timbul celaka bagi manusia yang sesat. Manusia yang miskin dan bingung. Manusia yang tidak akan memperoleh petunjuk, hidayah, kebahagiaan, kecuali ketika ia mengembalikan fitrah kemanusiaannya kepada Allah, sebagaimana mengembalikan hal yang rendah kepada pemiliknya.
Islam sungguh telah mengambil alih kekuasaan setelah rusaknya bumi, buruknya kehidupan, membusuknya kekuasaan, dan manusia telah merasakan dampak buruk dari model kekuasaan yang busuk. Islam mengambil alih kepemimpinan melalui Al-Qur’an, melalui gagasan baru yang Al-Qur’an datang dengannya, dengan syariat yang bersifat kontinuitas melalui gagasan ini. Maka hal tersebut merupakan sebuah kebangkitan baru yang luar biasa bagi manusia daripada model kehidupan sebelumnya.
Al-Qur’an menciptakan bentuk gagasan, ide baru bagi manusia dari eksistensi, kehidupan, nilai-nilai, dan berbagai peraturan. Kemudian muncul sekelompok orang yang menyesatkan dan menipu musuh-musuh manusia. Mereka memposisikan al-mahaj al-ilahiy pada sebuah timbangan dan memposisikan pembaharuan pada dunia materi di timbangan yang lain seraya menyeru “pilihlah” oleh kalian diantara keduanya. Baik itu al-manhaj al-ilahiy dalam kehidupan dan mengosongkan diri dari segala sesuatu baru yang berasal dari tangan manusia pada dunia materi ataupun memperoleh sesuatu melalui buah pengetahuan yang bersifat manusiawi dan mengosongkan diri dari manhaj al-ilahiy.
Sungguh semua itu adalah tipuan yang menyesatkan. Konteks permasalahannya tidaklah demikian. Al-Manhaj al-Ilahiy bukanlah counter dari pembaharuan, melainkan yang memunculkan pembaharuan itu sendiri dan mengarahkannya menjadi bentuk yang sesuai. Hal itu bertujuan agar manusia mewujudkan tugas kekhalifahan di muka bumi.
Selain mereka, terdapat kelompok lain yang menjadikan perundang-undangan alam terpisah dengan nilai-nilai keimanan. Mereka beranggapan bahwa perundang-undangan alam berjalan pada porosnya tanpa memberikan dampak terhadap nilai-nilai keimanan, baik manusia beriman atau tidak, mengikuti al-manhaj al-ilahiy atau tidak, ataupun melaksanakan hukum dengan hukum Allah atau tidak.
Pada akhirnya, Sayyid berkesimpulan bahwa semua yang terkandung dalam perundang-undangan alam maupun nilai-nilai keimanan merupakan aspek aspek penting dari sunnatullah yang mencakup konsep eksistensi yang telah dijelaskan sebelumnya. Sama halnya dengan manusia yang merupakan kekuatan dari beberapa kekuatan eksistensi, perbuatan, keinginan, iman, perdamaian, ibadah, ketekunanannya merupakan pelbagai kekuatan yang memiliki dampak yang positif terhadap konsep eksistensi serta saling terhubung dengan sunnatullah yang mencakup eksistensi ini.
Kesimpulan yang dapat ditarik melalui kata pengantar dari kitab Sayyid Quthb adalah bahwasannya secara garis besar, melalui Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an Sayyid hendak mewujudkan cita-citanya, yakni segala lini kehidupan yang selalu berada dibawah naungan bayang-bayang Al-Qur’an sebagai pusat yang mengatur segala aspek kehidupan manusia yang tentunya hanya bisa dicapai melalui al-mahjaj al-ilahiy dan dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai ibda’, yakni pembaharuan agar tidak selalu terkungkung dalam bayang-bayang an-naql.