Ketika saya masih kanak-kanak, ayah saya sering bercerita dengan penuh kebanggaan bahwa ia pernah memijat Gus Dur saat beliau masih menjadi santri. Mungkin bagi sebagian orang kota, itu tampak seperti bentuk feodalisme atau eksploitasi murid. Tapi bagi para santri, itu adalah kebanggaan tertinggi.
Bahkan ketika Gus Dur menghadapi upaya pelengseran dari kursi presiden, ayah saya siap turun ke Jakarta dan bertaruh nyawa demi membelanya. Di kalangan Nahdliyyin, Gus Dur adalah tokoh besar dihormati bukan semata karena darah birunya sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama, melainkan karena gagasan-gagasannya yang berani dan melampaui zaman. Sementara saya, sebagai anak kecil kala itu, mengenalnya hanya lewat cerita orang tua, ceramah YouTube, dan tulisan-tulisan peninggalannya.
Sebagai santri yang tumbuh dalam kultur pengultusan, saya pun dulu mengagumi Gus Dur tanpa syarat. Namun yang sering saya temui hanyalah kisah-kisah ajaib. Banyak warga NU mengenangnya bukan sebagai pemikir, melainkan sebagai wali. Ia direduksi menjadi sosok sufi penuh karomah: bisa melihat masa depan, memahami sesuatu saat tertidur, atau tahu isi hati orang lain.
Barangkali hal ini tak lepas dari kecenderungan budaya Jawa yang lekat dengan mistik dan simbolisme. Yang menyedihkan, pemikiran beliau justru jarang disentuh. Padahal, dalam tulisan dan kiprahnya, Gus Dur menempatkan kemanusiaan, kesetaraan, dan kebebasan berpikir di atas segalanya.
Seperti yang ditulis Gus Dur dalam buku *Islamku, Islam Anda, Islam Kita*, “Islam harus tampil sebagai pembebas, bukan penindas.” Sayangnya, kalimat ini justru asing di tengah masyarakat yang mengagungkannya secara simbolik, tapi lupa menggenggam esensinya.
Bagi saya, pemikirannya adalah semacam magnum opus yang diabaikan. Ironisnya, saya justru menemukan penghargaan terhadap intelektualitas Gus Dur bukan di lingkungan masyarakat NU, melainkan dalam diskusi-diskusi lintas iman bersama para Romo dan tokoh agama lain.
Di sana, Gus Dur dikenang sebagai figur *ubermensch* dalam kerangka Nietzsche seorang manusia unggul yang melampaui batas sektarian dan berani menabrak dogma demi nilai yang lebih besar. Kini, meski masyarakat NU secara formal mengklaim Gus Dur sebagai milik mereka, yang tersisa hanya simbol dan kultus di kebanyakan khususnya orang umum.
Semangat dan visi Gus Dur seakan terkubur dalam kabut mistifikasi. Dalam kerangka Jean Baudrillard, *simulakra* adalah citra yang kehilangan rujukan realitas aslinya. Gus Dur kini sering tampil dalam bentuk seperti ini sebuah simbol yang dipakai tanpa memahami isi perjuangannya.
Di saat yang sama, belum tampak sosok pemikir yang sebanding dengannya. Sulit membayangkan akan lahir figur seperti beliau di masa depan, terutama di tengah iklim akademik yang semakin pragmatis. Banyak intelektual Islam saat ini lebih sibuk mengejar publikasi jurnal daripada menyelami realitas sosial. Mereka mengajar demi status simbolik, bukan sebagai panggilan nurani untuk mengasah kepekaan terhadap penderitaan masyarakat marjinal.
Namanya kini dijual ke mana-mana: untuk politik, ketenaran, atau sekadar legitimasi. Semua mencatut nama Gus Dur, dari pencitraan sosial hingga alat politik. Namun, apakah mereka yang menumpang itu sungguh-sungguh peduli pada nilai-nilai yang ia perjuangkan? Rasanya tidak.
Di tengah budaya pengultusan yang masih kental, kekaguman kita terhadap Gus Dur sering kali dieksploitasi oleh para penumpang nama itu untuk kepentingannya sendiri. Jabatan publik yang mereka raih dengan mengumandangkan nama Gus Dur, ternyata jauh dari semangat pluralisme dan kemanusiaan yang beliau perjuangkan semasa menjabat.
Setiap kali nama Gus Dur dilantangkan, seharusnya alarm kewaspadaan kita menyala. Hormat pada tokoh besar bukan berarti membiarkan namanya diperdagangkan. Hari ini, sudah terlalu banyak orang menumpang nama Gus Dur demi ambisi pribadi dari mimbar ke meja kekuasaan.
Sosoknya telah menjelma menjadi simbol suci, menjadi bentuk simulakra, yang dipakai untuk membungkus retorika kosong. Di tangan yang salah, namanya bukan lagi pemantik kesadaran, melainkan alat manipulasi.
Kita tidak membutuhkan lebih banyak cerita ajaib karomah tentang Gus Dur yang membuat rasa kekaguman kita jadi domba ekploitasi. Kita membutuhkan lebih banyak orang yang benar-benar membaca dan memahami pikirannya, yang menghadirkan sosok gusdur sebagai pemikir hebat bukan sekedar orang yang penuh keajaiban karomah dikalangan masyarakat umum yang awam khususnya di lingkuangan NU. Dan berharap, di masa depan akan lahir sosok yang mampu melanjutkan jejak Gus Dur bukan sebagai mitos, tapi sebagai pemikir sejati yang berpihak pada kemanusiaan.