Pendidikan

Rendahnya Minat Baca Generasi Milenial

2 Mins read

Tak bisa dipungkiri bahwa generasi milenial memiliki minat baca yang sangat rendah; namun, mereka memiliki minat yang sangat besar dalam membaca media sosial. Ini adalah tragedi penyakit yang dialami oleh generasi milenial. Saat ini, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan ponsel, tetapi hanya dalam sepuluh menit membaca buku dia sudah ngantuk “merem”.

Frekuensi membaca masyarakat Indonesia umumnya rendah. Dari negara-negara yang “melek” literasi di Asia, negara kita yang paling dicintai berada di nomor 65 setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Anda tahu bahwa siswa di Singapura dan Malaysia membaca setidaknya lima buku setiap tahun. Di Eropa minat membaca siswa sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan buku per siswa. Ini disebabkan oleh sistem pendidikan di Eropa yang mengharuskan siswa membaca.

Di Jepang, siswa diminta membaca di sebuah acara khusus yang dikenal sebagai acara nasional, dan tidak boleh ada suara. Mereka hanya perlu membaca dalam hati. Menariknya, mereka membaca sejarah nasional.

Pertanyaannya adalah, di mana literasi Indonesia berada? Tidak ada jawaban yang tersedia. Indonesia tuna baca dan pincang nulis. Artinya, mereka yang diminta untuk membaca tidak ingin membaca dan tidak memiliki kemampuan untuk menulis. Tentu saja, dengan tidak membaca seseorang tidak dapat menulis. Ia harus membaca terlebih dahulu sebelum dapat menulis. Ketika dia membaca, dia juga harus belajar tentang cara orang menulis.

Dari sini, tidak salah untuk mengatakan bahwa membaca, menulis, dan diskusi adalah kewajiban akademik yang tidak dapat ditawarkan. Jika Anda hanya membaca dan tidak mendengarkan diskusi, Anda mungkin mengalami stres karena ilmunya menjadi batin oleh sebab tidak diujikan. Ini mirip dengan orang yang makan banyak tetapi tidak berolahraga; mereka memiliki kolesterol tinggi.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Argumentasi Dasar Tindakan Tuhan Dalam Teologi Asy’ariyah

Selain itu, tidak ada masalah keluarga yang mendorong anak-anaknya untuk membaca. Berapa jumlah uang yang diperlukan oleh satu keluarga untuk membeli buku setiap bulan? Orang mungkin merasa bahwa membeli buku seharga 100.000 ribu sangat mahal, tetapi nongkrong di kafe seharga 200.000 mungkin tampak murah. Karena itu fokusnya mereka pada kuliner daripada membaca buku.

Jika seseorang tidak membaca selama satu hari tanpa makan, dia pasti akan kelaparan. Namun, jika dia tidak membaca selama satu hari, dia tidak akan merasa kehilangan pengetahuan. Ini pasti sangat menyedihkan.

Bagaimana dengan para ulama di masa lalu?

Selama empat puluh tahun, At-Thabari menulis empat puluh halaman setiap hari selama lima puluh tahun. Ini berarti dia telah menulis sekitar 584 ribu halaman selama hidupnya, serta membaca 100 ribu hadis. Tafsirnya, yang ditulis pada usia 57 tahun, mencakup 38.000 hadis.

Karya Ibnu Sina rata-rata berjumlah empat buku setiap tahun. Kitab “Insaf” yang ditulisnya selama enam bulan, berisi 28.000 halaman, dengan 1000 halaman per jilid. Semuan karyanya mencapai total 160 buku.

Kitab “Al-Furuk” terdiri dari 800 jilid dan ditulis oleh Ibnu Aqil. Menurut ulama, tidak ada satu pun penulis yang menulis sebanyak ini sepanjang sejarah manusia. Hafidz Al-Baghdadi membaca 7000 hadis, dan Ibnu Al-Jauzi membaca 20.000 jilid kitab selama hidupnya.

Sangat penting untuk diingat bahwa ulama di zaman Abbasiyah jika harus pindah kota untuk bertugas, maka ia harus menyewa 100 unta untuk membawa bukunya. Dengan demikian, buku-buku ulama di zaman Abbasiyah dapat mencapai lebih dari 200.000 judul. Padahal, Raja Prancis hanya memiliki sekitar 2000 judul buku pada waktu yang sama. Sangat berbeda dengan kebiasaan Islam.

Baca...  Kecerdasan Majemuk: Memahami Potensi Anak

Ulama Indonesia, seperti ulama Banten Syekh Nawawi Al-Bantani, telah menulis 150 judul buku, beberapa di antaranya diterbitkan di Timur Tengah. Demikian juga setelah kembali dari Timur Tengah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membawa banyak bukunya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya membawa buku-buku melalui kapal pada zaman itu.

Lalu bagaimana nasib kita, Indonesia khususnya? Sangat jelas bahwa untuk mencapai budi tinggi dan pengetahuan luas, membaca adalah satu-satunya cara. Sekali lagi, untuk menjalankan syariah agar syariatnya sempurna, maka membaca adalah satu-satunya cara.

Anda harus membaca untuk mengetahui kondisi pendidikan, sosial, budaya, dan politik. Jika Anda tidak membaca, bagaimana Anda bisa tahu bahwa itu adalah wacana baru? Ini menunjukkan betapa pentingnya membaca. Dengan cara yang sama, orang yang terlibat dalam diskusi tidak akan dapat berbicara kecuali mereka telah membaca apa yang mereka baca. Wallahu a’lam bisshawab.

74 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Pendidikan

Mudah Terpengaruh Hoax Karena Media Sosial

1 Mins read
Jika kita ketahui penggunaan media sosial ini sangat digemari hampir oleh seluruh kalangan masyarakat, terutama di kalagan para remaja, usia 17 tahun…
Pendidikan

Aktualisasi QS. Luqman Ayat 18 - 19 : Menyikapi Flexing dengan Bijak di Era Digital

3 Mins read
Di era media sosial kali ini, kata “flexing” telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan anak muda. Istilah yang awalnya berasal dari budaya…
Pendidikan

Pendidikan Karakter Islam: Benteng kokoh di Tengah Krisis Moral Generasi Muda

3 Mins read
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi krisis moral yang cukup serius, terutama di kalangan remaja. Krisis ini tercermin dalam fenomena seperti pergaulan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanTafsir

Menjaga Persatuan Kebangsaan Pandangan Sayyid Qutub dan Surat Asy-Syura Ayat 38

Verified by MonsterInsights