KULIAHALISLAM.COM-Beberapa waktu lalu publik mengomentari kebijakan salah satu pejabat daerah B telah membuat kebijakan kontroversi,dimana sekumpulan anak-anak yang “dipandang nakal” disatukan untuk masuk ke pelatihan “ala barak militer”. Tujuan pejabat tersebut adalah guna menumbuhkan kedisiplinan dan mawas diri dari pribadi dari peserta kegiatan. Berbagai reaksi pro-kontra bermunculan. Dari sisi Pro menganggap kebijakan yang dibuat tokoh tersebut adalah revolusioner, sementara pada sisi kontra bahwa hal tersebut “cenderung sadis” dan berpotensi melanggar HAM. Menteri urusan HAM pun turut berkomentar, bahwa hal tersebut adalah hal yang positif. Riuh argumentasi ihwal kebijakan tersebut semakin seru, saat pejabat daerah lainnya mengadopsi hal yang berbeda, dalam mengatasi problema remaja. Salah satunya adalah melalui penguatan ritus-ritus religi dan memperkuat budaya literasi. Lantas bagaimana sikap kita sebagai muslim dalam memandang permasalahan ini?
Islam memandang pendidikan terutama pada keluarga, merupakan hal yang pokok saat terjadi carut marut problematik remaja. Cendekiawan muslim terkemuka, Profesor Tisna Amijaya dalam bukunya yang berjudul “Iman,Ilmu, Amal” , menekankan bahwa keluarga memainkan peranan utama guna membentuk watak dan karakteristik anggotanya. Mengutip tulisan beliau, pada hakikatnya didalam keluarga jualah terekam turunan tradisi, adat, sendi-sendi filosofi, dan laku pemikiran yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Dalam fitrahnya, anak-anak sejatinya digambarkan tiada berdosa hingga sampai mereka dihukumi akil baligh secara syariat. Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: “Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari)”. Maka jelaslah Allah SWT menciptakan pribadi anak-anak yang condong pada kebenaran (TQS: Ar-Rum:30) hingga baligh, dimana pada proses baligh menjadi kematangan pribadi yang terbentuk sebab akibat pola asuhan kedua orangtuanya.
Islam menganjurkan pola pengasuhan yang penuh keteladanan dan kelembutan. Imam Ghazali pada kitabnya “Muhtahsyar Ihya Ulumuddin”, menjabarkan bahwa Rasulullah pernah berpesan kepada orangtua agar senantiasa membantu anak-anaknya untuk berbakti kepada-Nya guna mendapatkan keberkahan hidup. Menurut Buya HAMKA , Ayah-Bunda itu layaknya pelita sebagai penerang hidup. Ibarat cahaya lilin yang selalu setia menerangi setiap sudut jalan dan sebagai semangat yang menjadi motivasi untuk tetap kuat untuk terus melangkah maju. Kerjasama kedua orangtua adalah penentu yang utama bagi sang anak,sehingga pola hubungan kedua orangtuanya dapat berdampak pada perkembangan anak-anaknya.
Meskipun patut disadari, bahwa fungsi utama keberadaan orangtua bagi sang anak adalah patronase atau keteladanan, sementara fungsi anak bagi orangtua adalah ujian/cobaan. Ini terbukti saat zaman kenabian, dimana Qabil anak seorang nabi Adam merupakan seorang pembunuh,pelaku dosa; Kanaan anak nabi Nuh,yang merupakan anak durhaka; serta anak-anak nabi Ya’qub pernah berdusta,bahkan mencelakakan saudaranya sendiri yang merupakan putra kesayangan Bapaknya. Ini seiring dengan firman Allah SWT yang berbunyi: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (TQS At-Atghabun: 15). Di ayat lain , Allah SWT meneguhkan kalimat serupa: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar” (TQS Al Anfal:28), yang mengingatkan bahwa anak bisa menjadi salah satu sandungan kehidupan.
Tercatat dalam sejarah banyak orangtua yang berhasil menjadi patronase bagi sang anak, kala memegang teguh ketentuan dari Allah SWT. Sebut saja Nabi Ismail dan Ishaq, yang belajar ridho dari Nabi Ibarahim; Nabi Yusuf,yang belajar mengelola emosi dari Nabi Yaqub; Nabi Suaiman, yang belajar kepemimpinan dari Nabi Daud; Nabi Yahya, yang belajar Zuhud dari nabi zakaria; Putra-putri Lukmanul hakim,yang belajar hikmah dan hakikat hidup dari ayahnya; dan Siti Fatimah ,yang belajar keteguhan dari Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam konteks anak yang beranjak remaja, proses pematangan pribadi memerlukan sentuhan batiniyah dari orangtuanya. Terlebih dimasa yang penuh gelora, bahkan (meminjam istilah H.Rhoma Idama) cenderung “berapi-api”, maka menjadi kewajiban bagi kedua orangtuanya untuk menjadi penyuluh cahaya agar sang anak tidak tersesat pada kegelapan jiwa. Sentuhan batiniyah ini tidak serta merta membuat kita lalai kepada Allah SWT, dalam memahamkan makna kehidupan pada seorang Anak. Allah SWT sendiri sudah mengunci keras melalui kalammya :”Wahai orang-orang yang beriman! janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (TQS al-Munafiqun: 9)
Realitanya adalah orangtua gagal menjadi dan bekerjasama sebagai patronase yang baik bagi sang anak. Tak ayal,(dalam banyak literatur ilmiah) inilah yang menjadi pemicu pemberontakan pada diri sang anak. Bayangkan saja disekitar kita, sang ayah misalnya asyik bermain games online, judi online scatter dan berbagai kegiatan yang nir makna; sementara Ibunya asyik berkonten tiktok ria dan mencari validasi meta. Lantas darimana nanti sang anak memperoleh api penyuluhnya?
Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnya sebagai Muslim kita berbenah diri. Maka mulailah membiasakan nilai-nilai positif pada anak-anak kita. Doktor Muhammad Nur Suwaid, Penulis Buku Fenomenal “Prophetic Parenting” bahkan menyusun beberapa tahapan pendidikan ala Rasulullah bagi seorang muslim kepada anaknya: Aqidah-Mahabbah-Ibadah-Syariah-Akhlakul Karimah. Ini tentu bisa menjadi acuan kita dalam memulai kembali sistem pengasuhan anak ala minhaj nubuwah dan salafush shalih.
Sementara bagi yang belum berkeluarga, penting diingat bahwa ilmu “parenting” tidak terbatas pada yang sudah berkeluarga saja. Dengan memantaskan diri, maka kita bisa merencanakan proyeksi generasi yang rabbani. Jangan sampai dikemudian hari, terjadi ketimpangan ilmu parenting suami-istri; suami ke kanan-istri ke kiri, atau sebaliknya. Yang akhirnya memunculkan keraguan untuk memulai sebuah miniatur peradaban.
Achmad Puariesthaufani N
*Redaktur Kuliah Al Islam *