Filsafat

Relevansi Filsafat Islam di Era Modern

13 Mins read

Kelahiran filsafat Islam sebagai satu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam berasal dari gerakan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang secara resmi dipelopori oleh Khalifah al-Makmun (813-833M). Kaum intelektual Islam yang memperlajari dan mengembangkan kebebasan berpikir dari Yunani tersebut dinamakan filosof Islam.

Di antara mereka adalah al-Kindi yang dijuluki failasuf al-Arab, Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai al-mu’allim al-Tsany, Ibn Sina yang memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al-Syekh al-Ra’is, Ibnu Rusdy yang layak menerima gelar The Famous Comentator Of Aristotle.

Filsafat Islam termasuk salah satu rangkaian dari mata rantai pemikiran filsafat. Ia mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pemikiran filsafat manusia. Pengkajian tentang filsafat Islam sama pentingnya dengan pengkajian terhadap filsafat-filsafat lainnya. Barat dikenal dengan filsafat Yunani berkat jasa dari filsafat Islam, yang tidak hanya menjembataninya ke dunia barat, tetapi ia menghidupkan dan mengembangkannya.

Era modern ditandai dengan kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang menjanjikan kepuasan lahiriah, akan tetapi membawa kehampaan spiritual, bahkan ada yang menilai sebagai pembawa bencana dari pada nikmat.

Atas dasar itulah penulisan ingin menayangkan tentang esensi filsafat Islam dan perkembangannya dalam perspekstif era klasik dan pertengahan serta bagaimana peran bentuk filsafat Islam dalam perspektif modern.

Esensi filsafat Islam

Harus diakui bahwa orang Yunani berhak menyandang gelar kehormatan sebagai pencipta filsafat, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya ternyata filsafat Yunani semakin meredup. Pada masa titah Raja Justininus pada tahun 529 M, karena terdorong kefanatikannya terhadap Kristen, menutup semua akadem-akademi kefilsafatan dan mengusir semua filosof dari bumi Yunani.

Mereka terpaksa evakuasi ke Timur, yang sebelumnya sudah ada pusat kebudayaan Yunani atas jasa raja Alexander Yang Agung pada tahun 331SM. Seperti Jundisyafur di Irak, Bachtra di Persia, Antokia di Syria dan Alexandrea di Mesir. Peristiwa ini dapat di artikan bahwa peranan Yunani di bidang filsafat sudah berakhir.

Sejarah menuturka bahwa daerah-daerah pusat kebudayaan Yunani ini dapat ditaklukkan umat Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Bani Umaiyyah. Lewat daerah-daerah inilah terjadi kontak antara umat Islam dengan filsafat Yunani yang memberikan kedudukan yang tinggi pada akal.

Alqur’an dan hadis sebagai sumber utama dalam ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk berpikir banyak dan mendalam. Perintah berpikir terdapat pula pada ayat-ayat Kauniyyat yang mendorong umat Islam untuk memikirkan dan merenungkan kejadian yang terjadi di alam semesta.

Demikian pula hadis-hadis yang cukup banyak memberikan penghargaan yang tinggi pada akal. Jadi, berpikir banyak dan mendalam adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Islam.

Jika filsafat dikatakan berpikir secara radikal dan mendalam, maka pengertian ini sejalan dengan kandungan isi Alqur’an dan hadis, yang mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke dasar segala dasar, yakni Tuhan pencipta alam semesta.

Karena itu ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd bahwa wajib atau paling tidak sekurang-kurangnya dianjurkan. Semesta yang lainnya ada yang menyamakan kata filsafat dan filosof dengan kata hikmah yang ada dalam Alqur’an.

Perlu diingat bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang bermuatan religius, namun ia tidak mengabaikan persoalan-persoalan kefilsafatan. Jadi ketegasan adanya filsafat Islam harus dilihat dari ajaran pokok agamanya.

Perkembangan pemikiran Islam didorong oleh dorongan ajaran agama untuk menyatakan hikmah Pencipta dan memperhatikan ayat-ayat Allah dalam alam semesta. Umat Islam telah berhasil menciptakan filsafat yang sejalan dengan prinsip agama dan kondisi sosial mereka, menjembatani filsafat Yunani ke dunia Barat yang tengah dalam kegelapan.

Islam telah menerima dan mengembangkan filsafat Yunani serta lainnya, tetapi melalui filter yang ketat dari Alqur’an. Kebebasan berfikir dalam Islam dibatasi oleh teks ayat yang benar, namun jumlahnya tidak banyak.

Filsafat dalam Islam tidak bisa berlangsung tanpa memperhatikan ajaran dasar agama. Hal ini berbeda dengan Kristen, yang melarang berpikir filsafat, sehingga terjadi pemisahan antara agama dan filsafat di dunia Barat Kristen.

Pemikiran Islam didorong oleh dorongan ayat-ayat yang mendorong umatnya untuk berpikir, namun dibatasi oleh teks ayat yang benar. Karena itu, filsafat Islam tidak pernah melawan ajaran agama tetapi tetap berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran dasar dan tidak terhambat oleh pembatasan yang ada.

Dengan demikian filsafat Islam berbeda secara prinsip dari filsafat Yunani. Watak filsafat Islam adalah teis (berTuhan) sedangkan watak filsafat Yunani sekuler dan ateis. Secara sederhana bentuk filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga:

Filsafat Islam membahas masalah yang sudah dibahas filsafat Yunani selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, seperti alam semesta dan roh. Akan tetapi, selain cara penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani, juga para filosof Islam mengembangkan dan menambahkan kedalamnya hasil-hasil pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana bidang teknik, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diperdalam dan disempurnakan oleh generasi yang datang sesudahnya.

Filsafat Islam membahas masalah yang belum dibahas filsafat sebelumnya seperti filsafat Kenabian (al-Nazhariyyat al-Nubuwwat). Dalam filsafat Islam terdapat rekonsiliasi antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Bentuk seperti ini banyak terlihat dalam pemikiran para filosof muslim, seperti al-madinah al-fadhillah (negara utama) dalam filsafat al-Farabi; bahwa yang menjadi kepala negara adalah nabi atau filosof.

Begitu juga pendapat al-Farabi pada nazhariyyat al-nubuwwat (filsafat kenabian) bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Akal aktif (akal X) yang juga disebut dengan Jibril. Akan tetapi berbeda hanya dari segi teknik, filosof melalui akal mustafad dengan latihan-latihan, sedangkan nabi dengan imajinasi yang kuat yang diperolehnya tanpa latihan. Karenannya pengetahuan yang diperoleh nabi (wahyu) tidak mungkin bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof.

Baca...  Filsafat Islam Abad Pertengahan Vs Filsafat Islam Modern

Filsafat Islam muncul dan berkembang dengan ketelitian dalam menyelesaikan masalah. Para filosof Islam membahas hakikat eksistensi, sumber pengetahuan yang benar, ukuran moral, dan teori kebahagiaan. Mereka juga mendiskusikan sifat-sifat Tuhan, keesaan, qadha, qadar, dan masalah manusia serta alam semesta.

Filsafat Islam didasarkan pada ajaran Alqur’an dan hadis, dengan pengaruh besar dari tradisi peradaban Yunani, Persia dan India. Umat Islam mewarisi dan mengembangkan pemikiran dari peradaban sebelumnya seperti Babilonia, Mesir, dan Ibrani. Akal yang tinggi dan ilmu pengetahuan maju memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat Islam.

Filsafat Islam di era klasik dan pertengahan

Sejarah menuturkan bahwa era klasik Islam abad 7-13 M dapat disebut era perkembangan peradaban Islam dalam bidang sains dan agama termasuk dalam bidang filsafatnya. Sehingga pada era ini lahirlah filosof-filosof besar dan keemasan, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, al-Ibn Sina, Ibn Maskawaih, Ikhwan al-Shafa, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd dan lainnya.

Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam Islam, di antara filsafat yang ia majukan ialah rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Filsafat menurutnya, membahas tentang yang benar (al-haqq), terutama al-haqq al-awwal (Tuhan) dengan memakai akal, sedangkan agama menjelaskan hal yang sama, disamping wahyu, juga akal. Dengan demekian akal tidak hanya dipakai oleh filsafat saja tetapi juga oleh agama. Atas dasar inilah antara keduanya tidak bertentangan.

Al-Kindi, diantara filsafat yang ia kemukakan ialah filsafat Lima Kadim, yakni Allah, Jiwa Universal, materi pertama, ruang absolut dan zaman absolut. Kendatipun ada lima, namun kadim Tuhan berbeda dengan kadim yang lain. Tuhan kadim tidak berasal dari sesuatu dan tidak diciptakan oleh Tuhan. Materi kadim dalam arti diciptakan sejak zaman tidak bermula, bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang ada.

Filsafat jiwa yang lebih sempurna dikemukakan oleh Ibnu Sina. Ia menyebut tiga macam jiwa: tumbuhan, hewan, dan manusia. Masing-masing jiwa ini mempunyai daya-daya tertentu. Perbedaan filsafat jiwa Ibnu Sina dengan filsafat jiwa Yunani terletak pada pancaindera dalam, yakni al-hiss al-musytarak, al-khayyal, al-mutakhayyilah, al-wahmiyah dan al-hafizhah.

Jiwa tumbuhan dan jiwa hewan, menurut Ibnu Sina, apabila berpisah dengan jasad, keduanya akan hancur karena objek keduanya adalah materi. Sedangkan jiwa manusia akan kekal, karena objeknya rohani ialah yang akan menghadapi perhitungan di alam akhirat.

Pembicaraan jiwa bagi al-Farabi dikaitkan dengan negara. Ia membagi negara ke dalam tiga bentuk : Fâdhilah, Fâsiqah dan Jâhilah. Jiwa negara Fâdhilah (Utama) mengenal Tuhan dan melakukan semua perintahnya dan ia akan kekal dalam kesenangan (surga) di akhirat. Sedangkan jiwa negara fâsiqah mengenal Tuhan, tetapi ia tidak melaksanakan perintah-Nya dan ia akan abadi dalam kesengsaraan (neraka) di akhirat. Sementara jiwa negara jâhilah tidak mengenal Tuhan dan tidak pula melaksanakan perintah-Nya dan ia akan hancur dengan hancurnya badan bagaikan jiwa hewan (al-A’râf/7:179).

Al-Farabi dan Ibnu Sina dalam menjelaskan tentang penciptaan alam mengemukakan filsafat al-faidh (emanasi). Menurut mereka, Allah menciptakan alam (bukan alam diciptakan Allah) bukan dari nihil (tiada) tetapi dari sesuatu yang sudah ada secara pancaran. Allah memancarkan materi alam sejak kidam dengan cara berta’aqqul tentang zatnya.

Karena itu, alam kadim, dalam arti antara wujud Allah dan wujud alam tidak diantara oleh zaman. Jadi Allah disebut taqaddum zaty (keterdahuluan dari segi zat) dan alam disebut taqaddum zamany (keterdahuluan dari segi zaman)

Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Maskawih di antara filsafat yang paling menarik yang mereka kemukakan ialah tentang penciptaan melalui evolusi. Proses evolusi terjadi dari alam meneral ke alam merjan.

Alam tumbuhan ke alam hewan melalui pohon kurma. Alam hewan ke alam manusia melalui kera. Berarti Ikhwan al-Shafa dan Maskawaih jauh mendahului Darwin dalam mengemukakan teori tentang evolusi.

Al-Ghazali menyandang gelar kehormatan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam), juru bicara al-Asy’ari yang paling artikulasi merekatkan label kafir terhadap para filosof dalam tiga butri masalah: alam kadim, Allah tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam dan pembangkitan jasmani tidak ada. Sebenarnya ketiga butir masalah ini bukanlah al-muhkamat, pokok dalam Alqur’an dan hadis mutawatir. Karena itu, filsafat dalam filosof Islam dalam tiga masalah ini tidak membawa kekafiran.

Ibnu Rusyd adalah pembela para filosof Islam dari kritikan al-Ghazali yang ia tuangkan dalam bukunya Tahafut al-Tahafut. Menurut Ibnu Rusdy al-Ghazali salah tangkap terhadap maksud para filosof dalam tiga masalah di atas. Menurutnya, tidak ada seorang filosof pun yang berpendapat seperti yang dikatakan al-Ghazali.

Dengan demikian berarti al-Ghazali mengkritik pendapatnya sendiri bukan pendapat para filosof. Sebab itu, menurutnya judul buku al-Ghazali tersebut yang tepat ialah Tahafut Abi Hamid, bukan Tahafut al-Falasifat, Karena bukan otak para filosof yang kacau tetapi adalah otak Abu Hamid atau al-Ghazali sendiri. Ibnu Rusyd, sebagaimana halnya al-Ghazali, dalam menjelaskan pendapat para filosof membawa ayat-ayat Alqur’an.

Ayat dilawan dengan ayat. Berarti disini ialah perbedaan antara otak filosof dengan otak al-Ghazali dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Jadi perbedaan disini hanya perbedaan tentang interpretasi bukan perbedaan ayat-ayat Alqur’an.

Ibnu Bajjah, orang Barat menyebutnya Avenpace, di antara filsafatnya yang terkenal ialah manusia penyendiri (al-insân al-mutawwid). Hal ini ia tuangkan dalam bukunya yang populer tadbîr al-mutawahhid. Menurutnya, seorang filosof dalam kondisi tertentu harus menyendiri dengan akal. Jika tidak, maka kesibukannya akan menghilangkan kefilosofannya.

Jadi menyendiri dimaksud Ibnu Bajjah bukanlah uzlah tasawuf, yakni mengasingkan diri secara total dari masyarakat manusia, melainkan ia tetap bergaul dengan masyarakat umum, namun dalam kondisi tertentu ia harus menyendiri dengan akal agar ia bisa dapat berhubungan dengan Akal Fa’al.

Baca...  Memento Mori: Menjadi Stoik yang Islami

Ibnu Thufail memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya lewat metode khusus dalam bentuk kisah hayy Ibn Yaqzhan. Dalam roman filsafatnya ini ia mengemukakan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya dan hubungan antara akal dan wahyu.

Khusus tentang rekonsiliasi filsafat dan agama, kelihatannya Ibnu Thufail sangat bersungguh-sungguh. Hayy dalam roman filsafatnya ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) yang bersifat esoteris. Sementara Salman, ia lambangkan sebagai wahyu yang bersifat eksoteris.

Jadi kesimpulan yang ingin ia tegaskan ialah al-tawfîq bain al-manqûl wa al-ma’qûl, kebenaran yang dihasilkan filsafat tidak bertentangan dengan kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumber keduanya sama, yakni Allah SWT.

Dalam uraian di atas, terlihat bahwa filsafat Islam, agama, dan sains dapat berkembang dengan baik pada era klasik tetapi mandek pada era pertengahan. Pada era klasik, metode berfikir rasional diterapkan, memungkinkan pengembangan pemikiran yang luas tanpa terlalu banyak dogma. Namun, pada era pertengahan, umat Islam beralih ke metode berfikir tradisional yang menyebabkan pemikiran menjadi sempit dan banyak dogma yang membatasinya.

Ulama-ulama pada era pertengahan lebih cenderung taklid kepada pemikiran ulama klasik tanpa melakukan ijtihad sendiri, sehingga filsafat Islam sulit berkembang. Pada era ini, kebebasan berpikir juga terbatas dan banyak ulama mengambil jalan yang lebih konservatif. Filsafat juga sulit berkembang apabila bertolak pada kehendak mutlak Tuhan tanpa memperhitungkan aturan-aturan atau sunatullah di alam.

Sehingga, filsafat Islam tidak berkembang pada era pertengahan karena metode berfikir tradisional yang diterapkan. Metode berfikir rasional yang diterapkan pada era klasik memberikan kebebasan berpikir yang lebih luas dan menghasilkan pemikiran yang inovatif, namun sayangnya tidak dipertahankan pada era pertengahan.

Filsafat Islam dalam persepktif era modern

Masalah kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. Kekeliruan ini muncul akibat menyusupnya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban Barat ke dalam ilmu-ilmu kontemporer.

Ilmu yang keliru melahirkan tindakan manusia yang keliru pula yang berujung pada hilangnya kemampuan manusia melakukan tindakan yang benar karena bersandar pada ilmu yang keliru. Tindakan yang keliru ini pada akhirnya bukanlah memberikan kebahagiaan, melainkan kesengsaraan kepada manusia.

Memang kemajuan IPTEK dalam era modern ini telah sampai pada apa yang disebut dengan the post industrial society, yaitu masyarakat secara material telah sampai pada taraf makmur. Peralatan-peralatan hidup telah terkendali secara mekanik dan otomatis. Sepertinya hidup bertambah mudah, enak dan nyaman. Akan tetapi ternyata kenyamanan material tidak selamanya membawa kepada kebahagiaan rohani.

Buktinya, disaat sains dan teknologi sedemikian maju saat ini, umat manusia bukannya berhasil meraih kebahagiaan, sebaliknya berbagai keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus terjadi. Sebenarnya aspek kerohanian adalah harkat kemanusiaan.

Bila hal ini terabaikan akan membawa kekurangan yang paling serius yang menyangkut sisi manusia yang terpenting dan yang paling dalam. Ironisnya, paham sekuler inilah yang banyak dijadikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa kini yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah.

Hampir tidak ada disiplin ilmu alam atau sosial yang tidak terpengaruh oleh ideologi sekuler. Salah satu buktinya adalah ditolaknya wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semua ilmu ini dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme dan makna alam menjadi sekedar materi tanpa pesona atau tanpa makna.

Tafsiran filsafat sains yang berlandaskan pada ideologi ini menganggap dinamika alam sebagai sesuatu yang mekanistik. Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan.

Sekiranya Tuhan memang ada, Ia tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam dan manusia kemudian menjadi Tuhan yang mengendalikan alam dan dari sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu pengetahuan.

Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu, semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan Islam mengenai alam, dimana alam bukanlah sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah.

Oleh karena itu, ketika seseorang meneliti dan mempelajari alam ia berarti sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191: Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”

Ayat ini menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi) dan tujuan akhir dari kedua kegiatan ini adalah mengenal Allah SWT. Oleh karena landasan mempelajari ilmu pengetahuan dalam Islam berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah, maka para filosof atau ilmuwan di dunia Islam masa lalu biasanya juga dikenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama.

Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan akan masuk kedalam pandangan hidupnya. Elemen pandangan hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam Islam. Diantara yang paling utama adalah konsep tentang hakekat Tuhan, konsep tentang wahyu (al-Qur’an), konsep tentang penciptaan, konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, konsep tentang ilmu, konsep tentang agama, konsep tentang kebebasan, konsep tentang nilai dan kebajikan, konsep tentang kebahagiaan dan lain sebagainya.

Disini dapat kita lihat bahwa konsep sangat penting dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-konsep itu merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran.

Baca...  Mengenal Fahruddin Faiz, Sosok Bersahaja Pengasuh Ngaji Filsafat

Sistem metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan.Elemen-elemen mendasar yang konseptual ini jualah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam dan sains.

Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.

Argumentasi di atas membawa kita pada kesimpulan mengenai hubungan metafisika dan sains, antara lain: Pertama, inti dari ilmu adalah mengetahui realitas dan kebenaran sedangkan tempat dimana ilmu itu berada adalah dalam jiwa manusia, maka jiwa seseorang yang mencari ilmu turut berpengaruh terhadap perkembangan ilmu yang dimilikinya.

Dengan kata lain, hubungan metafisika dan sains adalah hubungan jiwa atau diri manusia dengan dirinya. Kedua, Tuhan secara teologis adalah basis atau sumber ilmu tidak dapat dilepaskan dengan ilmu itu sendiri, karena jika hal itu terjadi seseorang berada dalam lingkaran sekuralisme.

Jika kita melihat dalam ruang lingkup yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan metafisika dan oleh sebab itu ilmu pengetahuan mesti bersumber pada metafisika yang merupakan landasan bagi setiap ilmu pengetahuan dan disinilah peran filsafat Islam dalam membantu merumuskan dan memasukkan elemen-elemen serta koncep kunci dalam Islam ke dalam sains.

Landasan metafisika ini tidak bisa tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi selain menggunakan pendekatan yang terdapat dalam filsafat Islam. Kecendrungan berpikir dalam filsafat Islam yang radikal dan komprehensif dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam wahyu membantu ilmu dalam menyusun kerangka berpikir ilmu pengetahuan yang nantinya berkembang sesuai dengan tantangan zaman dan akhirnya filsafat Islam memberikan inspirasi bagi ilmu pengetahuan untuk menekankan tujuan moral sebagai tujuan yang terdekat yang berimplikasi kepada jiwa manusia dan menuju Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Jika kita coba untuk merinci maka peran filsafat Islam terhadap perkembangan sains adalah:

  1. Mendisiplinkan jiwa dan pikiran.
  2. Pendekatan dalam pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
  3. Memberikan dasar tujuan moral sehingga filsafat Islam menjadi ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.
  4. Pengenalan dan pengakuan kedudukan secara benar dan tepat.
  5. Metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan secara benar dan tepat.
  6. Merumuskan realitas keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada era klasik filsafat Islam (juga ilmu-ilmu keislaman dan sains lainnya) maju, karena didukung akal berpikir rasional dengan paham sunatulahnya.

Sedangkan pada era pertengahan filsafat Islam (juga ilmu keislaman lainnya) mundur, karena berkembang metode berpikir tradisional dengan kehendak mutlak Tuhannya. Pada era modern ini, bila umat Islam ingin maju kembali dan ilmu-ilmu agama dan sains dapat berkembang harus berpegang kembali kepada metode berpikir rasional dan paham sunatullah seperti zaman klasik.

Filsafat Islam sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman yang menganut metode berpikir rasional dengan sunatullah, perlu dikembangkan, karena ilmu ini dibutuhkan dalam memahami hakikathakikat keislaman. Agama tanpa dipahami hakikatnya, maka ia akan gersang.

Simbol atau lambang-lambang agama tanpa hakikat, maka ia akan hambar, bakan cenderung fundamental. Pada era klasik, filsafat dan agama dapat damai dan filsafat dengan sains begitu akur, bagaikan saudara kembar saling mencintai. Hal ini dapat terjadi berkat jasa pemikiran para filosof Islam.

Perlu ditegaskan bahwa filsafat Islam yang akan dikembangkan di era modern ini adalah filsafat Islam dalam bentuk baru yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Penekanan filsafat Islam tidak lagi digunakan untuk menetapkan Allah dan alam kadim, serta akal-akal sepuluh dalam filsafat emanasi, akan tetapi lebih menekankan berpikir rasional dan sunatullah, yang akan mendorong umat hidup dinamis dan dan maju dalam kehidupan ini. Perubahan seperti itu sudah merupakan sebuah keniscayaan dan yang tidak boleh berubah dalam Islam ialah teks ayat al-Qur’an.

Sejarah memutuskan bahwa, pemikir-pemikir kondang Islam, seperti Muhammad Abduh di Mesir, Ahmad Khan dan M. Iqbal di India, Jamaluddin al-Afghani dan lain-lainnya, menghidupkan kembal pemikiran

rasional klasik dengan paham sunatullahnya yang tidak berubah di alam. Mereka memaklumi bahwa pemikiran seperti inilah yang merangsang umat Islam untuk berpikir dan berpandangan luas. Sinyal di atas mengesankan bahwa filsafat Islam dan ilmu keislaman lainnya mutlak diperlukan agar umat Islam dapat maju dan dapat menandingi kemajuan umat-umat lain. Dengan kata lain, filsafat Islam dengan pemikiran rasional dan paham sunatullahnya merupakan faktor penuntun untuk kemajuan umat Islam.

Perlu kita sadari bersama bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang bersifat statis, dengan kedudukan akal yang rendah, berpahamkan kehendak mutlak Tuhan, tidak ada sunatullah yang tetap di alam dan berpikiran sempit. Islam dengan metode berpikir seperti ini akan membawa kemunduran bagi umat Islam Indonesia. Apabila umat Islam ingin maju harus segera menggantinya dengan ajaran Islam yang bersifat dinamis, dengan metode berpikir rasional dan orientasi masa sekarang dan masa depan.

Penutup

Filsafat Islam adalah salah satu disiplin ilmu keislaman yang telah berhasil merekonsiliasi antara filsafat dan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi karena mereka menerapkan metode berpikir rasional dan sunatullah yang tidak berubah-ubah di alam.

Dengan demikian kehidupan umat Islam menjadi dinamis dan maju serta berwawasan luas. Karena itu, ilmu yang bersifat filosofis ini pada era modern mutlak diperlukan terutama dalam memahami hakikat-hakikat keislaman dan untuk memacu kemajuan umat Islam sendiri dalam kompentensi global.

1 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
Filsafat

Ruang Lingkup Filsafat Islam Modern: Perspektif Feminis dalam Pemikiran Islam

3 Mins read
Perkembangan filsafat Islam modern dan perbedaan karakteristiknya dengan filsafat Islam abad pertengahan Filsafat Islam Modern adalah perkembangan pemikiran filsafat dalam tradisi Islam…
Filsafat

Transformasi Pemikiran: Perbandingan Filsafat Islam Abad Pertengahan dan Modern

3 Mins read
Filsafat Islam memiliki sejarah yang panjang dan berkembang seiring dengan perubahan zaman, mulai dari abad pertengahan hingga era modern. Kedua periode ini…
Filsafat

Simfoni Sunyi Merayakan Kehampaan Modernisme Islam

9 Mins read
Pendahuluan Nihilisme, sebagai pandangan filosofis yang menolak adanya makna atau tujuan absolut dalam kehidupan, memberikan lensa kritis untuk mengeksplorasi dinamika pemikiran dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Filsafat

Ruang Lingkup Filsafat Islam Modern: Perspektif Feminis dalam Pemikiran Islam

Verified by MonsterInsights