Filsafat

Refleksi Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam Modern dalam Kerangka Modernisasi

7 Mins read

Refleksi Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam Modern dalam Kerangka ModernisasiRefleksi perkembangan pemikiran filsafat Islam modern dalam kerangka modernisasi. Sebelum membincang lebih dalam perihal filsafat Islam modern, perlu untuk mengerti dan memahami apa itu filsafat Islam modern, dan apa yang membedakannya dengan filsafat Islam abad pertengahan serta perbedaan karakteristik antar keduanya.

Filsafat Islam abad pertengahan berkembang antara abad ke-14 hingga ke-15 M, Ini adalah masa kejayaan pemikiran Islam, di mana banyak pemikir Muslim seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali berusaha mengintegrasikan dan mengkomparasikan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.

Sedangkan filsafat Islam modern merupakan perkembangan pemikiran yang muncul sejak abad ke-19 dan terus berlanjut hingga masa kini. Filsafat Islam modern seringkali sebagai respons terhadap kolonialisme, modernitas, dan globalisasi. Filsuf seperti Jamal al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sir Muhammad Iqbal menggagas pemikiran yang lebih kritis terhadap tradisi dan doktrin keagamaan.

Zaman modern membawa tantangan besar bagi umat Islam, karena pada masa ini sebagian besar dunia Islam jatuh di bawah penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Menjadikan umat Islam menyadari kelemahan mereka di hadapan peradaban Barat yang lebih maju.

Peradaban Barat ini dianggap sebagai ancaman serius bagi eksistensi dan kemajuan dunia Islam. Kesadaran ini memicu munculnya berbagai ide pembaruan dalam upaya menjawab tantangan modernitas oleh para filsuf muslim modern.

Jika filsafat abad pertengahan cenderung lebih berfokus pada sintesis antara akal dan wahyu serta upaya mempertahankan tradisi. Dimana, para filsuf terdahulu berusaha menjelaskan konsep-konsep teologis dengan menggunakan metode logika dan filsafat.

Maka, filsafat modern cenderung lebih terbuka terhadap pemikiran Barat dan mencakup pengaruh dari aliran-aliran pemikiran Barat. Ada usaha untuk merefleksikan kembali konsep-konsep Islam dalam konteks dunia modern. Sehingga filsafat modern lebih kritis dan bersifat reflektif terhadap kondisi kontemporer.

Perbedaan yang paling khas dari pemikiran filsafat abad pertengahan dan filsafat modern adalah fokus kajiannya. Banyak pemikir abad pertengahan berfokus pada aspek teologis dan bidang-bidang filsafat seperti; metafisika, epistemologi, jiwa dan etika, serta hubungan antara iman dan akal.

Perdebatan antara rasionalisme dan dokrin menjadi tema sentral filsafat abad pertengahan. Sedangkan pemikir modern sering kali membahas isu-isu sosial, politik, moral, dan budaya, serta tantangan yang dihadapi umat Islam di era modern, seperti sekularisme, hak asasi manusia, dan pluralisme.

Filsuf Islam modern cenderung terfokus pada masalah-masalah kontemporer yang memiliki relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Filsafat Islam modern tidak hanya melanjutkan tradisi intelektual Islam tetapi juga beradaptasi dengan tantangan zaman, menjadikannya relevan dalam konteks global saat ini.

Sehingga secara keseluruhan, transisi dari filsafat Islam abad pertengahan ke filsafat Islam modern mencerminkan perubahan dalam konteks sejarah, tantangan yang dihadapi umat Islam, serta perubahan dalam cara berpikir dan pendekatan terhadap realitas.

Jika membincang tentang filsafat Islam, tentunya tidak mungkin lepas dari para tokoh filsufnya. Dalam kajian filsafat Islam modern ada tiga tokoh besar filsafat (Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Sir Muhammad Iqbal) yang memiliki peran dominan terhadap perkembangan filsafat Islam masa kontemporer.

Abad ke-19 disebut abad modernisme Islam, yakni abad dimana Islam dihadapkan pada kenyataan bahwa Barat mendominasi dunia Islam dan jauh mengungguli dunia Islam. Keadaan ini mengakibatkan berbagai respon bermunculan.

Baca...  Memento Mori: Menjadi Stoik yang Islami

Jamal al-Din Al-Afghani adalah salah satu tokoh yang paling penting dalam merespon keterpurukan umat Islam Ia melihat bagaimana dunia Islam yang sebelumnya mengalami kejayaan kini mengalami stagnasi pemikiran, yang mengakibatkan umat Islam terus-menerus mengalami kemunduran.

Menyadari hal itu, Al-Afghani mengembangkan berbagai pemikiran politik yang nantinya menginspirasi kemajuan peradaban Islam, sehingga Islam dapat bersaing dengan Barat.

Salah satu pemikiran utama dari Al-Afghani adalah gagasan tentang persatuan umat Islam. Konsep tentang persatuan umat Islam ini, dikenal dengan istilah al-Jami’ah al-Islamiyah atau Pan-Islamisme. Persatuan ini harus dibangun atas dasar solidaritas agama, bukan etnis atau ras, dengan tujuan memperkuat persatuan umat Islam serta melawan kolonialisme dan dominasi Barat.

Al-Afghani meyakini bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab bagi umat Islam sendiri. Kaum muslim harus sadar realitas dan melepaskan diri dari kepasrahan. Ia mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahan dan mengadopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam.

Kemudian Al-Afghani membincang kemunduran umat Islam disebabkan oleh dua faktor politis utama. Faktor internal mencakup pemerintahan yang otokratik dan absolut, kurangnya peralatan dan kekuatan militer, dan kurangnya profesionalisme dalam administrasi. Faktor eksternal meliputi dominasi kekuatan imperialisme Barat modern.

Selain itu, kemunduran umat Islam juga disebabkan oleh penurunan dalam mengikuti ajaran Islam yang sebenarnya dan pengaruh ajaran asing yang bertentangan dengan prinsip Islam. Faktor lain termasuk perpecahan di kalangan umat Islam. Untuk mengatasi masalah ini, umat Islam perlu kembali kepada ajaran Islam yang autentik, namun tetap sesuai dengan tuntutan zaman.

Al-Afghani juga menganjurkan pengembangan pendidikan secara luas untuk memperkuat posisi politik dunia Islam. Sebab, ia berpendapat bahwa ajaran dasar Islam tidak bertentangan dengan akal atau ilmu pengetahuan.

Untuk menanggulangi kemunduran dunia Islam Al-Afghani mencetuskan beberapa pemikiran:

Pertama, kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua, pemerintahan autokrasi harus digantikan dengan sistem pemerintahan demokrasi.

Ketiga, pintu ijtihad harus tetap terbuka untuk menghadapi perkembangan zaman.

Keempat, Kesamaan kesempatan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan.

Selain itu, Al-Afghani mengusulkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis, menggantikan pemerintahan otokratik. Ia menginginkan sistem republik untuk negara-negara Islam, karena dalam republik terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk pada hukum dan undang-undang, bukan menjadi penguasa mutlak. Ia percaya bahwa pemerintahan harus melibatkan musyawarah (syura) dan mengedepankan kebebasan berpendapat.

Setelah Al-Afgani ada Muhammad Abduh selaku muridnya. Abduh memandang pendidikan sebagai kunci utama untuk memajukan umat Islam. Ia berpendapat bahwa sistem pendidikan tradisional yang menekankan hafalan harus diganti dengan metode yang mendorong pemikiran kritis dan rasional.

Pemikirannya mendorong modernisasi kurikulum pendidikan, termasuk pengajaran filsafat dan ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan Islam, seperti Al-Azhar. Abduh juga menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa pemahaman) dan mendorong umat Islam untuk berijtihad (menggunakan akal dalam penafsiran) agar dapat beradaptasi dengan perubahan zaman.

Ia mendorong umat Islam untuk tidak terikat pada pendapat ulama klasik dan membuka pintu untuk ijtihad, agar hukum dan ajaran Islam dapat disesuaikan dengan konteks zaman. Abduh menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami ajaran Islam. Ia percaya bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, dan bahwa Islam seharusnya sejalan dengan pengetahuan modern.

Baca...  Menelusuri Jejak Pemikiran di Era Kontemporer

Hal ini didasari pada kepercayaannya bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan relevan dengan konteks modern. Pemikiran Abduh berupaya mengintegrasikan ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan sosial.

Muhammad Abduh juga memiliki kontribusi dalam bidang politik melalui pemikiran-pemikirannya. Abduh percaya bahwa umat Islam harus aktif dalam politik dan berkontribusi pada kebangkitan nasional, dengan menekankan pentingnya musyawarah dan keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan. Ia juga menggarisbawahi perlunya kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat.

Abduh percaya bahwa pendidikan berbasis agama dapat mengurangi individualisme dan memperkuat kesatuan umat. Melalui pemikirannya, Muhammad Abduh berusaha membawa umat Islam ke arah kemajuan dan relevansi dalam dunia modern, dengan menekankan pentingnya pendidikan, rasionalitas, dan keterbukaan terhadap perubahan.

Terakhir, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa pemikiran Islam perlu direformasi untuk mengatasi stagnasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Iqbal menolak pemisahan antara agama dan sains, sehingga menekankan bahwa keduanya saling melengkapi dalam pencarian kebenaran.

Ia percaya bahwa agama dan sains harus saling melengkapi, dan keduanya perlu diharmoniskan untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas. Iqbal juga menyerukan kebangkitan ijtihad sebagai mekanisme untuk menafsirkan kembali ajaran Islam sesuai dengan konteks zaman modern.

Belajar dari filsafat Barat, Iqbal menekan pentingnya kebebasan berkehendak dan dinamisme dalam kehidupan manusia. Namun, ia juga menolak filsafat Barat yang cenderung materialistis dan mengabaikan dimensi spiritual kehidupan. Ia berpendapat bahwa filsafat Islam yang berdasarkan tauhid (keesaan Tuhan) memberi landasan dalam memahami realitas, termasuk aspek material dan spiritual.

Menurut Iqbal, tantangan bagi umat Islam adalah bagaimana mengintegrasikan kemajuan ilmu pengetahuan modern dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Ia menganggap Islam sebagai agama progresif, mengutamakan pencarian ilmu pengetahuan dan kemajuan sosial.

Menurutnya, umat Islam tidak takut dengan modernitas, namun harus menghadapinya dengan keyakinan bahwa ajaran Islam mempunyai kemampuan beradaptasi dengan perkembangan dunia saat ini.

Iqbal berusaha membangkitkan kesadaran spiritual dan intelektual umat Islam, khususnya di tengah tantangan modernitas dan kolonialisme. Iqbal percaya bahwa agama dan sains harus saling melengkapi, dan keduanya perlu diharmoniskan untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas.

Selain itu Muhammad Iqbal juga mengkritisi fatalism. Ia menolak pandangan fatalis dalam Islam, menekankan pentingnya kehendak bebas dan tanggung jawab individu dalam mengubah nasib. Terakhir pemikirannya tentanng konsep Khudi (kesadaran diri), konsep ini menekankan bahwa setiap individu memiliki potensi besar yang bisa dikembangkan, dan menekankan tanggung jawab untuk menyadari dan memanfaatkan potensi tersebut.

Melalui pemikirannya, Iqbal mengajak umat Islam untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi tantangan zaman modern, sambil tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual dan moral yang mendasar.

Persamaan pemikiran di antara Al-Afghani, Abduh, dan Iqbal ialah ketiga filsuf ini mendorong perlunya reformasi dalam pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan modernitas dan kolonialisasi. Mereka semua juga mengkritik pendekatan taklid (mengikuti pendapat ulama tanpa pemahaman) dan mendorong penggunaan akal dan ijtihad.

Baca...  Relevansi Filsafat Islam di Era Modern

Mereka memiliki pandangan positif terhadap ilmu pengetahuan dan percaya bahwa agama tidak bertentangan dengan ilmu. Semua tokoh ini menekankan pentingnya keterlibatan umat Islam dalam isu-isu sosial dan politik sebagai bagian dari tanggung jawab moral sebagai indivudu dalam masyarakat.

Sedangkan perbedaan pemikiran diantara Al-Afghani, Abduh, dan Iqbal dapat dilihat dari berbagai aspek berikut :

(1) Pendekatan terhadap Modernitas: Al-Afghani lebih menekankan pada nasionalisme dan kebangkitan politik sebagai respons terhadap kolonialisme, dengan fokus pada persatuan umat Islam. Sedangkan, Muhammad Abduh lebih menekankan reformasi pendidikan dan pembaruan pemikiran agama, serta mengintegrasikan rasionalitas dalam memahami Islam. Sebaliknya, Muhammad Iqbal mengembangkan ide tentang individualitas dan kesadaran diri (Khudi), serta menekankan pentingnya pengalaman spiritual.

(2) Selain perbedaan pendekatan terhadap moralitas para filsuf Islam Modern tersebut memiliki pandangan yang berbeda terhadap Agama dan Sains meliputi: Al-Afghani melihat sains sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran politik dan nasional. Sebaliknya, Abduh mengedepankan rasionalitas dalam agama dan mengusulkan integrasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam. Selain dari itu, Iqbal menekankan bahwa agama dan sains saling melengkapi, dan memperkenalkan konsep bahwa pengalaman spiritual dapat menginformasikan pemahaman ilmiah.

Ketiga filsuf ini (Al-Afghani, Abduh, dan Iqbal) memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pemikiran Islam modern, meskipun dengan pendekatan dan fokus yang berbeda. Mereka semua berupaya untuk mengatasi tantangan yang dihadapi umat Islam pada zamannya, dengan penekanan pada pembaruan, rasionalitas, dan integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut jika membincang tentang pemikiran modernisme tidak mungkin lepas daripada pemikiran tradisionalisme, sebab kedua hal tersebut memiliki keterkaitan dalam ranah historis, pemikiran serta kebudayaan.

Kunci Utama Pemikiran Modernisme Islam dan Kritiknya atas Tradisionalisme

Titik utama pemikiran modernisme Islam terletak pada upaya untuk mendamaikan antara ajaran Islam dan perkembangan modern yang dihadapi umat Islam, dengan menekankan pentingnya rasionalisme dan reinterpretasi terhadap teks-teks suci. Ini merupakan penolakan terhadap doktrin dan tradisi yang dianggap tidak relevan dengan konteks zaman.

Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme serta perubahan sosial dan politik yang signifikan, mendorong perlunya pembaruan dalam pemikiran Islam agar dapat selaras dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai demokrasi.

Tokoh-tokoh modernis seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh menekankan bahwa pendekatan tradisional yang terlalu dogmatis dan tidak fleksibel, serta penolakan terhadap ijtihad, telah menyebabkan stagnasi intelektual dalam komunitas Muslim.

Mereka berargumen bahwa keterikatan pada taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa kritik) menghalangi inovasi dan perkembangan hukum Islam yang relevan dengan konteks zaman modern. Dengan demikian, kritik terhadap tradisionalisme berfokus pada perlunya keterbukaan terhadap perubahan dan penyesuaian ajaran Islam, agar tetap relevan dan responsif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi umat Islam di era kontemporer.

Dengan demikian, modernisme Islam menekankan perlunya keseimbangan antara tradisi dan kemajuan, mendukung gagasan bahwa warisan intelektual ulama klasik harus diperbarui untuk menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan substansi ajaran Islam yang asli. Kritik ini mencerminkan dorongan untuk membawa Islam ke dalam relevansi yang lebih besar dalam dunia yang terus berubah, sambil tetap menghormati nilai-nilai dasar agama Islam itu sendiri.

1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Filsafat

Gagasan Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah

2 Mins read
Lahir dari dua sosok orang tua yang berbeda, sang ayah mengenyam pendidikan di Mekkah selama 18 tahun sedangkan sang ibu mendapatkan pendidikan…
Filsafat

Modernisme Islam dan Kritik Terhadap Tradisionalisme

2 Mins read
Modernisme Islam dan kritik terhadap tradisionalisme. Filsafat modern sendiri merupakan salah satu cabang pemikiran dalam filsafat yang muncul pada abad ke-19 yang…
Filsafat

Analisis Terhadap Pemikiran Islam Abad Pertengahan dan Abad Modern

2 Mins read
Analisis Terhadap Pemikiran Islam Abad Pertengahan dan Abad Modern Sejarah dan Perbedaan Filsafat Islam Abad Pertengahan dan Abad Modern Filasafat Islam abad…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Filsafat

Ruang Lingkup Filsafat Islam Modern: Perspektif Feminis dalam Pemikiran Islam

Verified by MonsterInsights