Filsafat

Immanuel Kant dan Tilam Arab: Membaca Seksualitas dalam Kacamata Filsafat Moral

6 Mins read

Mungkin terdengar aneh: apa hubungan seorang filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant, dengan kehidupan intim di dunia Arab modern, yang dibedah dalam buku provokatif Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World karya Shereen El Feki? Kant, sang bapak etika deontologis, hidup ratusan tahun sebelum El Feki menulis bukunya. Ia tak pernah berkunjung ke Timur Tengah apalagi mengulas budaya seksualnya.

Namun, menariknya, pemikiran Kantian menawarkan lensa yang tajam untuk menganalisis tema-tema kompleks yang diangkat oleh El Feki. Meskipun Kant tak pernah langsung membahas buku ini, prinsip-prinsip etika universalnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk memahami dinamika moral dan kebebasan dalam masyarakat yang sedang terguncang tsunami.

Buku Shereen El Feki adalah sebuah laporan jurnalistik mendalam tentang kehidupan seksual di dunia Arab. El Feki membawa kita ke berbagai sudut—dari perawan yang hamil diam-diam hingga ibu rumah tangga yang frustrasi, dari seks di luar nikah hingga pertanyaan seputar homoseksualitas, serta bagaimana hijab dan pakaian memengaruhi ekspresi seksualitas. Intinya, ia menyoroti ketegangan lingkaran tradisi, agama, dan modernitas.

Kacamata Kant

Immanuel Kant, meski dikenal sebagai pemikir besar dalam etika modern, menyimpan pandangan yang problematis terhadap bangsa non-Eropa, termasuk bangsa Arab. Dalam karya-karyanya seperti Observations on the Feeling of the Beautiful and Sublime dan kuliah Physical Geography, Kant memang mengakui peran penting bangsa Arab dalam meneruskan tradisi filsafat Yunani, namun ia juga memandang budaya mereka sebagai terlalu tunduk pada otoritas agama dan kurang mendukung kebebasan rasional yang menjadi inti pencerahan.

Pandangan ini menunjukkan bias orientalis, di mana masyarakat Timur dikonstruksikan sebagai eksotis dan belum dewasa secara moral. Meskipun ide dasar Kant tentang otonomi dan martabat manusia memiliki daya tarik universal, aplikasinya sering kali dikaburkan oleh perspektif eurocentris. Kini, pemikiran Kant terus dikritisi dan direvisi oleh para filsuf kontemporer agar lebih inklusif terhadap keberagaman budaya, membuka ruang refleksi baru dalam dialog antara etika Eropa dan realitas dunia Islam modern.

Filsuf kontemporer, Robert Bernasconi dalam tulisannya “Kant as an Unfamiliar Source of Racism” (2001), menunjukkan bahwa Kant menggunakan kategori-kategori rasial yang merendahkan bangsa non-Eropa, termasuk bangsa Arab, sehingga terdapat kontradiksi antara universalitas prinsip etis Kant dan aplikasinya yang Euro-sentris.

Selanjutnya, Pauline Kleingeld dalam Kant and Cosmopolitanism: The Philosophical Ideal of World Citizenship (2012) juga menyoroti bahwa pemikiran Kant, meskipun menjunjung nilai otonomi dan martabat manusia, seringkali gagal melampaui batasan stereotip geografis dan kultural yang ia gunakan dalam tulisan-tulisan antropologisnya. Oleh karena itu, para pemikir etika kontemporer menilai penting untuk merekonstruksi gagasan etika Kant agar lebih inklusif terhadap keragaman budaya global, termasuk dalam membangun ruang dialog antara etika Barat dan dunia Islam.

Bagaimana Kant “Mengeloni” Sex and The Citadel

Jika Immanuel Kant bisa “meniduri” buku Shereen El Feki, Sex and the Citadel, ia tidak akan terpaku pada detail budaya atau kebiasaan spesifik yang unik bagi dunia Arab. Sebagai seorang filsuf yang berfokus pada prinsip-prinsip moral universal yang didasarkan pada akal budi, Kant akan segera mencari dimensi-dimensi etis dan kebebasan di balik setiap kisah yang diceritakan El Feki. Baginya, buku ini adalah sebuah studi kasus tentang bagaimana manusia di suatu konteks budaya berjuang untuk merealisasikan otonomi, martabat, dan moralitas mereka, atau justru gagal.

Baca...  Membentuk Pribadi Muslim di Tengah Krisis Identitas Perspektif Filsafat Khudi Muhammad Iqbal

Pilar etika Kant yang paling ikonik adalah imperatif kategoris yang menyatakan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana. Dalam konteks seksualitas, ini adalah titik krusial.

Apakah seseorang diperlakukan sebagai pribadi utuh atau hanya objek?” Kant sangat skeptis terhadap seksualitas di luar pernikahan, karena ia khawatir hal itu cenderung mengobjektivasi individu, mengubah mereka menjadi “sarana” untuk kepuasan fisik atau biologis semata. Dalam pernikahan, Kant melihat adanya potensi “penguasaan timbal balik” atas seluruh diri (bukan hanya tubuh) yang dapat mengatasi objektivikasi ini.

Ketika El Feki menyoroti pernikahan yang didasarkan pada keuntungan finansial, status sosial, atau perjodohan tanpa cinta dan penghormatan timbal balik, Kant melihat ini sebagai pelanggaran terhadap martabat. Individu-individu tersebut (seringkali perempuan) diperlakukan sebagai sarana untuk tujuan orang lain, bukan sebagai tujuan pada diri sendiri.

Untuk praktik-praktik seperti seks pranikah, homoseksualitas, atau seks komersial yang disinggung El Feki, Kant memiliki pandangan yang konservatif berdasarkan argumennya bahwa seksualitas idealnya hanya ada dalam pernikahan heteroseksual yang saling memiliki. Namun, terlepas dari penilaian awal itu, fokus utamanya akan tetap pada apakah ada objektivikasi dan apakah persetujuan telah diberikan secara otonom dan sadar, dengan penghormatan terhadap martabat setiap individu yang terlibat dalam hal itu.

Rasionalitas vs. Prejudis

Kant adalah pembela gigih Pencerahan (Aufklärung), yang ia definisikan sebagai “keluarnya manusia dari keadaan tidak dewasa yang disebabkan oleh dirinya sendiri.” Ini adalah seruan untuk berani menggunakan akal budi sendiri (Sapere Aude!).

Ketika kepala Kant diramu Sex and the Citadel, dalam misi mencari di mana akal budi berperan, dan di mana ia terhalang oleh prejudis (prasangka) dan dogmatisme. El Feki menggambarkan bagaimana interpretasi agama sering kali membentuk—dan terkadang membatasi—kehidupan seksual. Kant tidak langsung menghakimi agama itu sendiri, tetapi ia akan sangat kritis terhadap interpretasi agama yang menghambat kebebasan dan otonomi rasional.

Bagi Kant, agama sejati adalah “agama akal budi” (religion within the bounds of bare reason), di mana prinsip-prinsip moral universal yang dapat diakses oleh akal budi setiap orang harus menjadi inti, bukan dogma atau tradisi yang tidak bisa diuji secara rasional dan hanya menjadi endapan iman irasional seseorang. Kristalisasi agama yang tidak berdasar dan tidak wajar adalah kesengsaraan manusia menurut Kant, jika tidak diimbangi dengan akal dan budi luhur.

Baca...  Analisis Terhadap Pemikiran Islam Abad Pertengahan dan Abad Modern

Kant cenderung menggunakan prinsip universalitasnya. Jika ada norma yang menghukum perempuan secara berat atas perilaku seksual tertentu sementara pria tidak, Kant melihat ini sebagai kontradiksi moral yang tidak dapat diuniversalkan. Akal budi akan menuntut kesetaraan dan keadilan, terlepas dari jenis kelamin pelaku yang telah melakukan segala sesuatu.

Pemisahan Ranah Moral dan Hukum

Kant membedakan antara moralitas (kewajiban internal) dan legalitas (kepatuhan pada hukum eksternal). Meskipun hukum tidak dapat memaksa moralitas, ia harus menciptakan kondisi di mana individu dapat bertindak secara moral. Dalam konteks Sex and the Citadel, Kant dalam pemikirannya cenderung menguji, apakah hukum-hukum yang mengatur seksualitas dan hubungan (misalnya, hukum perkawinan, perzinahan, atau hak-hak perempuan) benar-benar mencerminkan prinsip keadilan universal dan memungkinkan otonomi individu, ataukah justru memaksakan moralitas tertentu dengan cara yang menindas.

Dalam masyarakat yang digambarkan El Feki, seringkali ada ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang memengaruhi ekspresi seksualitas. Kant akan menyoroti bagaimana ketidakadilan struktural ini menghambat kemampuan individu untuk bertindak secara otonom dan diperlakukan sebagai tujuan. Ia akan berargumen bahwa negara atau masyarakat memiliki kewajiban moral untuk menciptakan kondisi di mana semua warganya, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan otonomi mereka dalam segala aspek kehidupan, termasuk yang intim.

Hukum, menurut Kant, tidak berhak mencoba mendikte niat seseorang, karena niat berada dalam ranah kebebasan batin. Hukum hanya boleh mengatur perilaku eksternal untuk menjaga keteraturan. Ketika El Feki menggambarkan masyarakat di mana hukum atau norma sosial yang sangat kuat berusaha mengendalikan setiap aspek kehidupan intim—mulai dari pilihan pasangan, cara berpakaian, hingga ekspresi keinginan pribadi—Kant melihat ini sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan moral individu.

Bagi Kant, tujuan utama hukum adalah menciptakan ruang bagi kebebasan eksternal setiap individu agar mereka dapat hidup berdampingan. Dalam ruang kebebasan eksternal inilah individu kemudian dapat melatih kebebasan moral internal mereka, membuat pilihan yang didasarkan pada akal budi.

Jika buku El Feki menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hukum yang terlalu represif dan membatasi pilihan individu dalam hal seksualitas dan hubungan (misalnya, melarang pacaran atau mengekang ekspresi diri), Kant melihat ini sebagai kegagalan sistem hukum. Alih-alih menciptakan kondisi di mana individu dapat memilih dan bertindak secara moral, hukum-hukum semacam itu justru menekan kebebasan esensial mereka.

Hipokrisi dan Kontradiksi Moral

Kant adalah pribadi yang antihipokrisi. Bagi Kant, hipokrisi bukanlah sekadar ketidakonsistenan biasa. Ini adalah pelanggaran serius terhadap akal budi praktis karena melibatkan kebohongan—bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri mengenai prinsip-prinsip moral yang diyakini.

Jika seseorang mengakui sebuah prinsip moral secara publik yang dalam konteks buku adalah kesucian atau kesetaraan gender, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang melanggarnya secara pribadi, ia telah menciptakan kontradiksi dalam kehendaknya sendiri. Kant percaya bahwa maksim tindakan harus dapat diuniversalkan tanpa kontradiksi. Jika sebuah maksim menghasilkan kontradiksi ketika diterapkan secara universal, maka maksim itu tidak bermoral.

Baca...  Relevansi Filsafat Islam di Era Modern

Kant adalah seorang filsuf Pencerahan sejati, yang gigih menyerukan “Sapere Aude!” — beranilah berpikir sendiri! Baginya, kemajuan sejati terletak pada kemampuan individu untuk menggunakan akal budi mereka secara mandiri, bukan sekadar mengikuti tradisi, dogma, atau otoritas tanpa pertanyaan.

Etika Seksual

Kant punya pandangan konservatif soal seks. Seks hanya sah dalam pernikahan, karena menyangkut penghargaan terhadap kemanusiaan orang lain sebagai tujuan, bukan alat. Tapi El Feki justru menantang narasi ini dari konteks Arab, dan bisa memunculkan pertanyaan Kantian: Apakah sistem nilai saat ini masih menjadikan manusia sebagai tujuan, atau sebagai alat untuk kekuasaan budaya dan politik?

Immanuel Kant memandang bahwa etika seksual mensyaratkan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Dalam pandangannya, hubungan seksual hanya dapat dibenarkan secara moral jika berlangsung dalam ikatan pernikahan, karena pernikahan memungkinkan kedua pihak untuk saling memiliki satu sama lain secara menyeluruh sebagai pribadi rasional, bukan sekadar sebagai objek kenikmatan. Hubungan di luar kerangka itu, menurut Kant, menjadikan manusia sebagai alat bagi hasrat orang lain, dan dengan demikian melanggar prinsip moral paling dasar dalam filsafatnya.

Namun, narasi ini ditantang oleh pengamatan Shereen El Feki dalam Sex and the Citadel, yang menunjukkan bagaimana seksualitas di dunia Arab sering kali dikontrol oleh struktur budaya dan negara yang menjadikan individu, khususnya perempuan, sebagai simbol kehormatan kolektif dan alat stabilisasi sosial-politik. Seks, dalam konteks tersebut, bukan lagi wilayah otonomi moral, melainkan instrumen kekuasaan yang menundukkan tubuh pada norma-norma yang tak selalu mencerminkan pilihan bebas individu.

Martha Nussbaum dalam Sex and Social Justice menyatakan bahwa ketika tubuh dan seksualitas diperlakukan sebagai instrumen bagi tujuan sosial atau politik, maka yang terjadi bukan penghormatan terhadap manusia, melainkan pengingkaran terhadap martabatnya. Ia menekankan bahwa keadilan seksual menuntut agar semua individu dipandang sebagai subjek otonom yang berhak menentukan jalan hidupnya, termasuk dalam perkara tubuh dan keintiman.

Immanuel Kant memang tak hidup di dunia Arab modern, tetapi pemikirannya terus hidup dan menembus batas waktu serta geografi. Dalam dunia yang sarat krisis nilai dan pertarungan antara tradisi serta kebebasan, Kantianisme menjadi mercusuar: mengingatkan bahwa setiap manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, bukan alat bagi kekuasaan atau norma yang membelenggu. Pemikirannya, yang berakar pada penghormatan terhadap akal budi dan martabat manusia, menjadi semakin relevan ketika tubuh dan seksualitas dipolitisasi. Kant benar-benar teruji, memiliki ideologi yang mendekati abadi.

7 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
FilsafatPendidikan

Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia dari Problematika Pendidikan Islam

5 Mins read
Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Karena penekanan…
Filsafat

Netralitas Ilmu dalam Filsafat Ilmu

21 Mins read
Nur Fadilah1, Aisyah Afifah Rahma2 Abstrak Dalam tulisan ini akan membahas secara sederhana mengenai bagaimana cara menguji netralitas ilmu pengetahuan dalam filsafat…
Filsafat

Marlina Pembunuh dalam Empat Babak: Melacak Good Will Immanuel Kant Pada Tindakan Tokoh Marlina

4 Mins read
Mahakarya insan perfilman Indonesia mulai bertendensi ke arah yang baik. Marlina, adalah salah satu film yang sewindu yang lalu menghiasi layar kaca…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Analisis Praktik Kesederhanaan Mahar Oleh Masyarakat Muslim Tinjauan Hadis Nabi

Verified by MonsterInsights