Kita tahu ulama dari zaman sahabat hingga tabi’in dan seterusnya mengambil hukum fikih dari pokoknya (Alqur’an dan hadis), bukan hanya dari pendapat mereka tentang peristiwa sosial. Mereka percaya bahwa Allah SWT telah menurunkan hukum yang tepat untuk setiap waktu dan tempat. Sebagian dari hukum tersebut berasal dari nas (secara rinci), sedangkan sebagian lagi berasal dari ayat atau hadis umum.
Mereka menyesuaikan ayat atau hadis umum itu dengan keadaan kemaslahatan, kemanfaatan, dan kebaikannya, baik secara pribadi maupun umum. Mereka tidak boleh mengambil hukum dan undang-undang yang tidak sesuai dengan Islam atau yang diciptakan oleh manusia.
Daerah-daerah Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir adalah pusat atau tempat alim ulama dan cerdik pandai di masa sahabat mengembangkan dan mempraktikkan hukum Islam serta ilmu pengetahuan terhadap muslim khususnya dan umumnya.
Beberapa di antaranya adalah ulama dari sahabat Rasulullah SAW yang sangat berjasa dalam menjalankan dan menyebarkan hukum fikih, seperti Mu’az, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Darda, Ubadah bin Samit, dan Abdullah bin Amr bin As. Mereka tersebar di berbagai daerah karena kepentingan agama dan negara.
Selain bekerja untuk pemerintah, mengatur keadaan negara, dan membuat dan menyusun undang-undang, mereka juga bertindak sebagai guru, mengajar anak-anak dan teman-teman mereka menghafal dan memahami Alqur’an dan hadis. Ini adalah bagaimana ilmu fikih berkembang dari zaman sahabat hingga zaman tabi’in, kemudian zaman tabi’it-tabi’in, dan seterusnya.
Lalu bagaimana dengan mazhab yang empat?
Dalam satu kasus di mana tidak ada nas dari Alqur’an atau hadis, seorang alim ulama sangat mahir dalam menangani berbagai soal. Mazhab adalah hukum yang dipegang oleh seseorang dengan ijtihad. Ulama dengan mazhab terkenal banyak, bukan hanya empat. Beberapa di antaranya adalah Hasan Basri, As-Saury Ibnu Abi Laila, Al-Auza’iy, Al-Laisy, dan lain-lain.
Mereka memiliki mazhab mereka sendiri, tetapi tidak berkembang seperti mazhab yang empat. Tentu saja, ini mungkin karena kurangnya pendukung setelah penyusunnya meninggalkannya. Berbeda dengan mazhab empat, yang sampai saat ini terus mendapatkan dukungan dari ulama muslimin. Berbagai kitab telah ditulis dan disusun dari zaman ke zaman, berdasarkan mazhab beberapa imam.
Pertama, Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah. Dia dilahirkan pada tahun 80 Hijriah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 Hijriah. Dia belajar di Kufah dan mulai membangun mazhabnya di sana. Setelah itu, di Baghdad, dia memutuskan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Beliau terkenal sebagai seorang alim terbesar di masa itu, mahir dalam ilmu fikih dan pandai menafsirkan hukum dari Alqur’an dan hadis.
Banyak riwayat yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa beliau adalah wadi’ ilmu fikih. Dengan kata lain, dia adalah orang pertama yang menyusun ilmu fikih dalam susunan yang sekarang kita lihat. Setelah bergaul dengan Abu Hanifah, beberapa ulama menulis hukum dan mazhabnya. Sebagai pendukung mazhab Abu Hanifah, mereka melakukannya.
Sebagian besar dari mereka kemudian menyelidiki dan mempertimbangkan hukum-hukum tersebut dengan mempertimbangkan dalil-dalilnya dan menyesuaikannya dengan keadaan-keadaan yang menunjukkan betapa berbahayanya mereka.
Akibatnya, beberapa di antara mereka tidak setuju dengan sebagian dari hukum-hukum yang ditetapkan oleh para imam tersebut, bahkan mereka menetapkan hukum menurut pendapat mereka sendiri, berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Mereka inilah yang dinamakan sahabat-sahabat Abu Hanifah, di antaranya yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar. Mazhab ini banyak tersiar di Bagdad, Parsi, Bukhara, Mesir, Syam, dan tempat-tempat lain.
Kedua, Malik bin Anas Al-Asbahi adalah pendiri mazhab Maliki. Beliau lahir pada tahun 93 Hijriah dan meninggal pada bulan Safar tahun 170 Hijriah. Beliau belajar di Madinah, di mana beliau menulis kitab hadis terkenal “Al-Muwatta’”. Ketika dia bertemu Khalifah Mansur pada waktu haji, dia memulai menulis kitab tersebut.
Beliau membuat mazhabnya berdasarkan empat dasar: Kitab suci, Sunah Rasul, ijma’, dan qiyas. Karena beliau adalah ahli hadis, hanya dasar yang terakhir ini beliau gunakan dalam situasi tertentu. “Sesungguhnya saya sebagai manusia biasa kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah, maka periksa dan selidiki pendapatku; mana yang sesuai dengan sunnah, ambillah!,” katanya.
Imam Malik adalah seorang pakar fikih dan hadis. Beliau adalah orang yang paling berpengaruh di seluruh Hijaz pada masanya, dan orang menyebutnya “Sayyid Fuqaha Al-Hijaz”, yang berarti pemimpin ahli fikih di seluruh Hijaz. Beliau memiliki banyak sahabat (murid), termasuk Muhammad bin Idris bin Syafii, Al-Laisy bin Sa’ad, dan Abu Ishaq Al-Farazi. Mazhab ini memiliki banyak penganut di Tunisia, Tripoli, Magribi, dan Mesir.
Ketiga, nama penyusunnya adalah Muhammad bin Idris bin Syafii, yang berasal dari suku Quraisy, pendiri Mazhab Syafi’i. Dia lahir di Gaza pada tahun 150 Hijriah dan meninggal pada tahun 204 Hijriah di Mesir. Beliau mampu menghafal Alqur’an pada usia 7 tahun dan Al-Muwatta’—kitab gurunya, imam Malik—pada usia 10 tahun.
Beliau mendapat izin untuk berfatwa setelah berumur dua puluh tahun dari gurunya, Muslim bin Khalid. “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar daripada Syafii,” kata Ali bin Usman. Tidak ada yang bisa menyamainya pada masa itu. Ia pintar dalam segala pengetahuan, sehingga 90% anak panah akan sampai ke tujuan.
Ketika dia hampir dua puluh tahun, dia pergi ke Madinah setelah mendengar tentang Imam Malik, yang sangat terkenal dalam ilmu hadis dan fikih. Dia belajar dari Imam Malik dan kemudian pergi ke Irak, di mana dia bertemu dengan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Dia kemudian pergi ke Parsi dan banyak negara lainnya. Beliau melakukan perjalanan ini selama kira-kira dua tahun.
Pengetahuannya tentang keadaan penghidupan manusia dan tabiat manusia meningkat selama perjalanannya ke negara-negara tersebut. Misalnya, keadaan yang menyebabkan perbedaan adat dan akhlak sangat membantunya dalam mempertimbangkan hukum peristiwa yang akan dia hadapi. Kemudian beliau diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk tinggal di Baghdad. Di sana, dia menyiarkan agama dan menyebarkan pendapat-pendapatnya di seluruh masyarakat.
Tak hanya itu, beliau bergaul baik dengan rakyat maupun dengan pemerintah, bertukar pendapat dengan ulama (terutama sahabat Imam Abu Hanifah), sehingga dia dapat menghasilkan pendapat “qaul qadim” (pendapat pertamanya). Setelah itu, beliau kembali ke Mekah hingga tahun 198 Hijriah. Pada tahun yang sama, beliau pergi ke Mesir untuk membuat pendapat barunya, yang dikenal sebagai “qaulul jadid.”
“Apabila hadis itu sah, itulah mazhabku, dan buanglah perkataanku yang timbul dari ijtihadku,” adalah kata-kata Imam Syafi’i yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama bagi ulama yang mendukung dan mengikuti mazhab Syafi’i. Mesir, Kurdistan, Yaman, Aden, Hadramaut, Mekah, Pakistan, dan Indonesia memiliki mayoritas pengikut mazhab Syafi’i.
Keempat Mazhab Hanbali. Nama pendiri mereka adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal. Beliau lahir di Baghdad dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 241 Hijriah. Beliau dibesarkan di Baghdad, Syam, Hijaz, dan Yaman. Imam Syafii memujinya sebagai muridnya. “Saya keluar dari Baghdad, tidak saya tinggalkan di sana seorang yang lebih takwa, wara’, dan alim selain Ahmad bin Hanbal, yang sungguh banyak menghafal hadis,” katanya.
Muslim dan Bukhari adalah dua dari banyak orang terkemuka yang menjadi muridnya. Beliau membuat mazhabnya berdasarkan empat dasar. Pertama adalah Alqur’an dan hadis. Beliau menyelidiki apakah ada nas dalam soal yang dia hadapi, dan jika ada, dia berfatwa berdasarkan nas itu.
Fatwa sahabat adalah dasar kedua. Dalam satu peristiwa, tanpa nas, dia mencari pendapat sahabat. Jika salah satu sahabat memberikan pendapatnya, dan dia tidak melihat tanggapan dari sahabat lain, dia menghukum peristiwa itu sesuai dengan pendapat sahabat tersebut.
Itu sebabnya, jika ada perbedaan pendapat antara sahabat, dia memilih yang lebih dekat pada Kitab atau Sunnah. Sementara itu, dasar ketiga adalah qiyas. Dia hanya menggunakan qiyas jika tidak ada pilihan lain. Dasar keempat adalah hadis mursal atau lemah jika tidak bertentangan dengan dalil lain.
Beliau sangat berhati-hati saat mengeluarkan fatwa apabila tidak ada nas atas asar sahabat. Ini mungkin karena kehati-hatiannya dalam mengeluarkan fatwa itulah yang membuat mazhabnya lambat tersebar di daerah yang jauh, dan murid-muridnya juga sangat berhati-hati.
Mazhab itu pertama kali tersiar di Baghdad, sebelum menyebar ke daerah lain. Saat ini, mayoritas pengikutnya berada di Hijaz, terutama setelah Raja Ibnu Sa’ud menetapkan mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi pemerintah Saudi Arabia. Mazhab ini pertama kali muncul di Mesir pada abad ke-7 Hijriah. Sejauh ini, tidak banyak orang Mesir yang menganut mazhab ini. Demikianlah gambaran tentang evolusi hukum fikih Islam. Wallahu a’lam bisshawaab.