Tjik Di Tiro lahir di Tiro, Pidie tahun 1836 M dan wafat januari 1891 M. Bernama asli Muhammad Saman. Dalam perjalanan sejarahnya, sejak dia menggantikan kedudukan gurunya, seorang Ulama di Desa Tiro, dia menuliskan “Tiro” dibelakang namanya. Karena ia Ulama, ia sering dijuluki “Teungku”, sedang sebutan “Tjik” (besar) berarti ia Ulama besar. Oleh masyarakat yang mengenalnya ia disebut “Teungku Tjik Tiro”.
Tjik Di Tiro mulai berjuang sesudah diangkat sebagai pemimpin perang ke Aceh Besar atas keputusan rapat rahasia di Pidie antara Tjik Muhammad Amin Dayah Tjoet (Ulama besar di Tiro) dan delegasi kaum pejuang Aceh.
Pengangkatan itu merupakan jawaban atas berita yang dibawa oleh delegasi itu perihal situasi buruk Aceh Besar, bahwa Belanda berhasil mengusir pasukan Aceh keluar garis pertahanan Belanda dan menahlukan Mukim XXII dan Mukim XXVI.
Selain itu, Sultan Aceh juga memberi kuasa kepada Tjik Di Tiro untuk memimpin Perang Sabil dengan mengangkatnya menjadi seorang Wazir Sultan (setingkat menteri). Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar, di berbagai tempat dia menemui para ulama dan pemimpin rakyat dalam rangka mengobarkan semangat jihad.
Mereka yang tak mampu mengangkat senjata diminta untuk menyisihkan harta untuk membantu jihad di jalan Allah. Maka berduyun-duyunlah masyarakat untuk ikut bertempur dan terkumpulah dana perang. Para ulama yang dijumpai berjanji akan membantunya.
Setelah berhasil mengunjungi beberapa tempat akhirnya dia membangun markas besar di Mureu, dekat Indrapuri (Aceh Besar). Dari sana ia mengirim utusan ke segala penjuru Aceh untuk menjumpai para Ulama dan pemimpin rakyat. Dalam tempo tiga bulan saja terutama Aceh Besar telah terbakar api jihad.
Sementara itu, karena tekanan dari para pejuang Aceh, pada bulan Februari dan Maret 1878 M, Belanda terpaksa mengirimkan kekuatan militernya ke bagian Selatan Aceh Besar dan Aceh Barat.
Pasukan Tjik Di Tiro berhasil merebut pos dan benteng Belanda di beberapa tempat. Maka Belanda segera mengirimkan pasukannya ke sana. Laskar Aceh berhasil menggagalkan serangan Belanda terhadap kubu perjuangan di Garot.
Karena disekitar Idi dan Geudong (Aceh Utara) Belanda mengalami tekanan dari Laskar Aceh, Belanda mengerahkan kekuatan militernya ke tempat ini. Oprasi pada tahun 1878 berhasil menahlukan Seuneulob, Aneuk Galong (bekas kedudukan Panglima Polem) dan Montasik.
Tetapi sejak tahun 1881 M, Tjik Di Tiro berhasil berebut benteng Belanda di Indrapuri, Lambaro, Aneuk Galong dan sebagainya. Dari tahun ke tahun perlawanan Aceh semakin bertambah, sedangkan kekuatan Belanda semakin berkurang. Akibatnya Belanda menarik diri ke daerah-daerah yang benar-benar telah dikuasainya dan memusatkan diri di Kutaraja.
Pada tahun 1884 M para Ulama bertambah aktif dalam memimpin pertempuran mengejar musuh. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 M) yang telah mulai menjalankan tugasnya sebagai Sultan Aceh dengan kedudukan di Keumala Pidie, menyerukan kepada para Ulubalang agar terus menggiatkan pengumpulan harta benda untuk Perang Sabil.
Ketika Teungku Tjik Di Tiro sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan angkatan Perang Sabil,Teungku H. M. Pante Kulu yang baru saja pulang dari Mekah mempersembahkan sebuah karya sastra berbentuk puisi yang terkenal dengan sebutan “Hikayat Perang Sabil”. Hikayat ini berhasil membantu dan membangkitkan semangat perang di kalangan masyarakat Aceh.
Tjik Di Tiro dan barisan sabilnya yang berjumlah lebih dari 6.000 orang memperhebat serangan atas garis konsentrasi Belanda di Kutaraja. Akibatnya, tentara kompeni Belanda hampir tidak bisa bergerak. Jalan Kereta Api dan Trem rusak berat. Kawat telepon yang menghubungkan benteng Belanda satu sama lain berhasil dirampas.
Pada bulan Juli 1889 M, kedudukan Belanda dekat dengan Kuta Pohama (Kutaraja) dihantam. Sehingga jatuh korban di pihak Belanda 22 orang mati dan 94 orang luka-luka. Belanda kemudian mengadakan serangan balasan dan berhasil memukul mundur pasukan Aceh.
Beberapa puluh orang mati syahid di pihak Aceh tetapi tidak ada yang menyerah. Akhirnya Belanda menyadari bahwa Aceh tak akan berhasil ditaklukan dengan kekuatan senjata saja. Maka Belanda berusaha memikat pemimpin-pemimpin pejuang Aceh.
Tjik Di Tiro ditawari sejumlah hadiah dan uang jaminan tahunan. Tawaran serupa juga disebarluaskan di kalangan Ulubalang. Akibatnya timbul perpecahan di antara mereka. Strategi lain dilakukan Belanda ialah mencari rahasia kekuatan Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya.
Tetapi perlawanan rakyat Aceh di daerah-daerah terus berlangsung. Maka Belanda akhirnya menyuruh membubuhkan racun pada makanan yang hendak dihidangkan bagi pemimpin Aceh. Pada tahun 1891, Teungku Djik Di Tiro berhasil dilumpuhkan oleh Belanda di benteng Aneuk. Dan ia dimakamkan di Indrapuri.