Tafsir qiro’ah mubadalah merupakan pendekatan tafsir Al-Qur’an yang berupaya untuk menjawab tantangan kontemporer, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan relasi gender, kesetaraan, dan keadilan dalam masyarakat Islam. Pendekatan ini hadir sebagai respons terhadap tafsir-tafsir tradisional yang cenderung bersifat patriarkal, di mana sering kali interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an digunakan untuk memperkuat peran dominan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, serta mereduksi hak-hak perempuan.
Mubadalah, yang berasal dari bahasa Arab “mubadalah” berarti saling timbal balik, adalah konsep yang berfokus pada keadilan relasi gender yang setara, di mana laki-laki dan perempuan diperlakukan sebagai mitra sejajar, bukan pihak yang superior atau inferior. Dalam konteks tafsir ini, Qiro’ah Mubadalah mengajak umat Islam untuk membaca dan memahami teks-teks Al-Qur’an dengan kerangka berpikir yang inklusif dan berkeadilan, sehingga dapat menciptakan harmoni dalam relasi gender.
Pendekatan Qiro’ah Mubadalah tidak hanya bertujuan meninjau ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan perempuan dan laki-laki, tetapi juga memberikan pemahaman baru tentang bagaimana Islam bisa memberikan ruang yang lebih adil bagi kedua gender di semua aspek kehidupan, mulai dari keluarga, pekerjaan, hingga peran dalam masyarakat.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَالۡبَـنِيۡنَ وَالۡقَنَاطِيۡرِ الۡمُقَنۡطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالۡفِضَّةِ وَالۡخَـيۡلِ الۡمُسَوَّمَةِ وَالۡاَنۡعَامِ وَالۡحَـرۡثؕ ذٰ لِكَ مَتَاعُ الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَاۚ وَاللّٰهُ عِنۡدَهٗ حُسۡنُ الۡمَاٰبِ
Artinya: “Dijadikan tampak indah dalam pandangan manusia cinta terhadap nafsu, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
Ayat 14 dari Surah Ali Imran dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia cenderung menyukai kesenangan duniawi, seperti wanita, anak-anak, kekayaan berupa emas dan perak, kendaraan mewah, ternak, serta ladang-ladang subur. Namun, semua itu hanyalah kesenangan sementara yang bersifat materiil. Ayat ini juga mengingatkan bahwa tempat kembali yang terbaik berada di sisi Allah, yaitu surga.
Ayat ini merujuk pada ayat-ayat yang memerintahkan untuk berbuat baik dan menghindari kemaksiatan. Gagasan utama dari ayat ini yaitu memberi peringatan manusia agar waspada terhadap pesona dunia yang terlihat menyenangkan. Dalam perspektif mubadalah ayat ini menjelaskan, baik laki-laki maupun perempuan adalah sumber pesona yang bisa menjerumuskan manusia, maka hendaklah menjaga diri dari segala kemungkinan tergiur pada godaan kehidupan dunia.
Dalam menafsirkan QS Ali Imran ayat 14, pendekatan ini memandang pesan ayat sebagai sesuatu yang berlaku secara universal, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dengan fokus pada nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam perspektif Qira’ah Mubadalah, penafsiran Surah Ali ‘Imran ayat 14 berfokus pada kesetaraan dan saling hubungan antara laki-laki dan perempuan. Qira’ah Mubadalah, yang diperkenalkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, merupakan pendekatan tafsir yang menekankan pentingnya melihat teks-teks keagamaan dengan cara yang resiprokal, di mana kedua jenis kelamin dipandang sebagai subjek yang setara dalam konteks pemaknaan.
Pertama, ayat ini menggambarkan kecenderungan manusia terhadap berbagai kesenangan duniawi, seperti pasangan, anak-anak, kekayaan, dan aset material lainnya. Dalam sudut pandang mubadalah, kata “manusia” mencakup laki-laki dan perempuan, sehingga kesenangan tersebut merupakan bagian dari fitrah manusia secara umum. Perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menikmati hal-hal duniawi, asalkan dilakukan sesuai dengan tuntunan agama.
Kedua, pendekatan mubadalah menggarisbawahi pesan utama dari ayat ini, yaitu bahaya mencintai kesenangan duniawi secara berlebihan. Baik laki-laki maupun perempuan perlu menjaga keseimbangan agar tidak terjebak pada kesenangan sesaat yang dapat melalaikan mereka dari tujuan hidup utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Segala kenikmatan duniawi harus dijadikan sarana untuk beribadah dan mengingat Allah, bukan sekadar untuk memenuhi hasrat duniawi.
Selanjutnya, qira’ah mubadalah menafsirkan ayat ini dengan mengedepankan kesalingan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Misalnya, penyebutan “wanita-wanita” dalam ayat sering kali dianggap hanya menyasar laki-laki, namun pendekatan mubadalah memandang relasi antara pasangan hidup sebagai sesuatu yang timbal balik. Baik suami maupun istri berkontribusi dalam membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis, dengan landasan saling cinta dan penghormatan.
Pendekatan mubadalah juga menegaskan bahwa fitrah manusia untuk menyukai kesenangan duniawi adalah sesuatu yang alami, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun, Islam memberikan batasan agar cinta terhadap hal-hal duniawi ini tidak melampaui batas, sehingga mengarah pada kelalaian atau perilaku yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga keseimbangan dalam mencintai kenikmatan dunia, menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan utama hidup.
Terakhir, ayat ini diakhiri dengan peringatan bahwa segala kesenangan dunia hanya sementara. Tempat kembali yang sejati adalah di sisi Allah, sehingga manusia harus memprioritaskan kehidupan akhirat. Dalam tafsir mubadalah, pesan ini berlaku setara untuk laki-laki dan perempuan, yang sama-sama memiliki tanggung jawab untuk mengelola kenikmatan dunia secara bijaksana demi mencapai ridha Allah di akhirat kelak.
Lebih jauh lagi, pendekatan mubadalah menekankan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam pernikahan, harus dilandasi oleh prinsip saling menghormati dan saling mendukung. Misalnya, ketika ayat ini menyebut “wanita-wanita” sebagai salah satu kesenangan duniawi, mubadalah menekankan bahwa hubungan suami-istri bukan sekadar soal pemenuhan hasrat laki-laki, melainkan juga tempat bagi perempuan untuk merasakan cinta, kenyamanan, dan kerja sama dalam membangun keluarga yang harmonis.
Akhirnya, ayat ini mengingatkan bahwa segala kesenangan dunia hanya bersifat sementara, dan kebahagiaan sejati ada di sisi Allah. Dalam perspektif mubadalah, pesan ini menegaskan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan untuk menjadikan dunia sebagai ladang amal yang mengarah pada kehidupan akhirat yang lebih baik. Penekanan ini menggarisbawahi kesetaraan peran mereka dalam mengelola karunia duniawi demi mencapai tujuan spiritual bersama.