Di tengah hiruk pikuk modernitas yang menyesakkan, ada satu peristiwa kecil tapi berharga yang seolah mengingatkan kita kembali pada sumber sejati pengetahuan: keberkahan. Hari itu, di sebuah sudut tenang Sumenep, tepatnya di Pondok Pesantren Darurrahman, Pangarangan, ratusan santri dan pencinta ilmu berkumpul dengan adab dan harap. Mereka duduk bersila, menyimak kalimat demi kalimat dari seorang ulama besar dunia Islam, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, yang menggelar Daurah Ilmiah membahas Kitab Al-Manzhumah Al-Bayquniyyah – sebuah matan penting dalam ilmu Musthalah al-Hadits.
Bagi sebagian orang, mungkin acara seperti ini hanyalah kajian biasa. Namun bagi siapa pun yang pernah merasakan ketenangan duduk di bawah bimbingan seorang alim, momen seperti itu adalah sesuatu yang sakral. Di situlah ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan jalan untuk mendekatkan diri pada Allah; bukan hanya untuk tahu lebih banyak, tapi untuk menjadi lebih rendah hati.
Dalam pembukaan Daurah tersebut, Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi menyampaikan sesuatu yang sederhana, namun sangat dalam: “Segala sesuatu jika tidak dimulai dengan Bismillah atau Alhamdulillah, akan kurang barokah.” Kalimat yang mungkin terdengar biasa bagi sebagian orang, tapi sejatinya adalah kunci peradaban ilmu dalam Islam.
Barokah – kata yang sering disebut tapi jarang benar-benar dipahami. Ia bukan sekadar “berkah” dalam arti keberlimpahan materi, melainkan tsubut al-khair – kebaikan yang menetap dan terus tumbuh. Ilmu yang barokah adalah ilmu yang menuntun pemiliknya menuju ketenangan, bukan kesombongan; ilmu yang menghidupkan, bukan yang membunuh makna.
Syaikh menambahkan, “Setelah itu disampaikan yang kedua dengan pembacaan shalawat, karena ada satu hadits, walaupun dhaif, kalau tidak dimulai dengan shalawat juga kurang barokahnya.” Pesan itu, dalam tradisi keilmuan Islam klasik, bukan sekadar formalitas. Ia adalah simbol adab: bahwa setiap ilmu sejatinya bersambung pada nur kenabian. Bahwa dalam setiap pembelajaran, Rasulullah Saw hadir bukan sekadar dalam teks hadits, tapi dalam ruh dan niat para pencarinya.
Menyibak Kebenaran di Balik Riwayat
Materi utama yang disampaikan Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi berpusat pada Musthalah al-Hadits, ilmu yang menjadi jantung keotentikan Islam. Di dalamnya dibahas bagaimana membedakan antara hadits shahih, hasan, dan dhaif; antara marfu’ (yang disandarkan pada Nabi), mauquf (pada sahabat), dan maqthu’ (pada tabi’in).
Ilmu ini mungkin tampak kering bagi sebagian orang awam. Tapi justru di sinilah letak keindahan intelektual Islam. Bayangkan: berabad-abad lalu, para ulama sudah merumuskan metode verifikasi data – jauh sebelum dunia modern mengenal konsep peer review atau academic integrity. Para ahli hadits meneliti sanad (rantai periwayatan) dengan ketelitian ilmiah yang luar biasa, tapi tetap diselimuti adab spiritual yang tinggi.
Achmad Fadlan Masykuri, pengasuh Ponpes Darurrahman, dalam sambutannya mengatakan, “Syekh Muhammad Amin menyampaikan tentang Musthalah Hadits yaitu seperti mulai dari hadits shahih, hasan, dhaif, dilihat dari marfu’, mauquf, maqthu.” Kalimat itu, bila direnungkan, menunjukkan kesinambungan antara ilmu klasik dan keilmuan modern: bahwa setiap pengetahuan sejati harus punya fondasi metodologis sekaligus etis.
Antara Ilmu dan Keberkahan
Jika kita tarik ke konteks lebih luas, pesan Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi bukan hanya untuk para santri, tapi juga untuk dunia pendidikan kita hari ini. Di tengah kompetisi akademik yang kian materialistik, keberkahan sering kali menjadi konsep yang hilang. Kita sibuk mengejar gelar, jabatan, sertifikat, tapi lupa menanamkan niat yang benar dalam menuntut ilmu.
Padahal, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari ridha Allah, namun ia pelajari hanya untuk tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini menggetarkan, bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan: bahwa ilmu tanpa niat yang suci akan kehilangan cahaya. Ia mungkin menghasilkan kepintaran, tapi tidak kebijaksanaan. Ia bisa menciptakan kemajuan, tapi juga kehancuran.
Dalam konteks inilah, daurah di Darurrahman menjadi relevan. Ia bukan hanya kajian teks, melainkan terapi batin bagi zaman yang kehilangan arah. Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi seolah hendak berkata: Kembalilah pada sumbernya. Kembalilah pada adab sebelum ilmu.
Pesantren, sejak dulu, memang bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat menghidupkan ilmu. Di sana, kitab bukan hanya dibaca, tapi diresapi; guru bukan hanya pengajar, tapi penuntun ruhani. Maka kehadiran ulama kaliber internasional seperti Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi di Sumenep bukan peristiwa kecil. Ia adalah bentuk kesinambungan antara turats (warisan klasik) dan tajdid (pembaharuan).
Dalam suasana globalisasi, di mana arus informasi sering melampaui kedalaman makna, pesantren tetap menjadi benteng ketenangan. Di sanalah ilmu dipelajari dengan disiplin dan adab; di sanalah barokah masih menjadi kata kunci yang hidup, bukan jargon kosong.
Daurah ini juga mengajarkan pentingnya menghadirkan dimensi spiritual dalam keilmuan modern. Ketika Syaikh menutup acara dengan doa untuk pesantren dan para santri, suasana hening. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada tepuk tangan, hanya gema lirih amin yang menggema. Itu bukan sekadar penutup acara – tapi penyerahan ilmu kepada Yang Maha Memiliki Ilmu.
Menjaga Nyala Ilmu di Tengah Zaman
Apa yang terjadi di Sumenep itu, sebetulnya adalah miniatur perjalanan panjang peradaban Islam. Dari Madinah hingga Andalusia, dari Baghdad hingga pesantren Nusantara, ilmu selalu lahir dari hati yang bersih dan niat yang lurus. Maka, ketika Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi datang membawa napas keilmuan itu ke bumi Madura, ia seolah sedang menyambung rantai keemasan yang sempat renggang: rantai antara ilmu dan adab, antara pengetahuan dan keberkahan.
Di akhir daurah, Syaikh berdoa khusus untuk Ponpes Darurrahman dan seluruh santri. Sebuah doa yang, barangkali, menjadi penanda bahwa ilmu yang benar tidak berhenti di ruang kelas, tapi menetes ke hati, menjadi cahaya yang menuntun perjalanan hidup.
Dan mungkin, di situlah makna sejati dari semua ini: bahwa keberkahan ilmu bukan terletak pada banyaknya catatan yang kita tulis, melainkan pada seberapa dalam ia menuntun kita untuk semakin mengenal Allah.

