Kadang saya merasa dunia ini terlalu sibuk berpikir. Semua orang ingin menjelaskan sesuatu, membenarkan sesuatu, bahkan menafsirkan sesuatu. Kita hidup di tengah gelombang kata-kata yang nyaris tak berhenti. Di media sosial, setiap hari orang membahas moral, politik, teologi, sampai urusan hidup orang lain. Tapi entah kenapa, makin banyak orang bicara soal kebenaran, makin jarang kita temukan wajah yang tenang.
Berpikir itu penting, tak ada yang salah dengan itu. Islam sendiri mendorong manusia untuk menggunakan akal. Tapi persoalannya muncul ketika akal berjalan sendirian, tanpa hati. Ketika nalar tak lagi diiringi kerendahan hati, ia bisa berubah menjadi cermin yang hanya memantulkan diri sendiri.
Saya sering melihat orang yang tampak cerdas, logis, dan fasih berbicara tapi hatinya kaku. Ia tahu banyak hal, tapi tidak banyak yang ia pahami secara manusiawi. Ia bisa mengutip ayat dan teori, tapi sulit menertawakan dirinya sendiri.
Padahal, kemampuan menertawakan diri adalah tanda bahwa seseorang sudah melewati satu tahap penting dalam kehidupan: kesadaran.
Dalam pandangan para ulama, akal itu cahaya. Tapi cahaya tidak akan menembus kabut kalau di depan ada dinding ego. Imam al-Ghazali pernah menulis, ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesesatan yang lebih halus. Seseorang bisa tampak alim, tapi sebenarnya sedang memperbudak pikirannya sendiri.
Fenomena ini makin terasa hari ini. Ada orang yang begitu rajin membahas logika agama, tapi tujuannya bukan mencari hikmah, melainkan ingin terlihat unggul. Ada pula yang sibuk menertawakan pandangan orang lain dengan rasa bangga. Semua atas nama “rasionalitas”.
Yang menyedihkan, kesombongan jenis ini sering datang tanpa disadari. Ia menyamar dalam bentuk kebenaran. Seseorang bisa berkata lembut, tapi niatnya bukan berbagi ilmu, melainkan mengukuhkan posisi dirinya sebagai yang “paling paham”.
Akal seperti itu bukan lagi anugerah, tapi ujian.
Tawa Sebagai Bentuk Kesadaran
Saya teringat satu ayat dalam Al-Qur’an:
“Dan Dialah yang menjadikan kamu tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)
Ayat ini sering terdengar sederhana, tapi maknanya sangat dalam. Bahwa bahkan kemampuan untuk tertawa pun adalah ciptaan Tuhan. Artinya, tawa bukan sekadar ekspresi gembira, tapi bagian dari kesadaran spiritual manusia.
Tertawa, dalam arti yang sejati, bukanlah tawa mengejek. Ia lahir dari penerimaan. Dari kesadaran bahwa hidup ini tidak selalu bisa dikendalikan. Kadang kita gagal, kadang salah, kadang malu dan semua itu manusiawi. Orang yang bisa menertawakan dirinya sendiri sudah selangkah lebih dekat pada kebijaksanaan.
Rasulullah Saw dikenal mudah tersenyum. Beliau bercanda dengan sahabat, menyapa anak-anak, bahkan sesekali bersenda gurau, tapi tidak pernah melampaui batas. Itu bukan sekadar keramahan sosial, tapi bagian dari ajaran: bahwa kesalehan tidak harus kaku, dan kebijaksanaan tidak selalu datang dari wajah yang tegang.
Kita sedang hidup di zaman yang terlalu serius. Orang mudah marah, cepat tersinggung, dan sulit mengalah. Di dunia maya, satu perbedaan kecil bisa menjadi perang besar. Semua merasa sedang membela kebenaran, padahal sering kali hanya sedang membela pendapatnya sendiri.
Di titik ini, tawa menjadi obat. Ia membantu kita menjaga jarak dari ego. Tertawa membuat kita ingat bahwa kita juga bisa salah, bahwa tak semua hal harus dijelaskan dengan argumentasi panjang. Kadang, cukup diam sejenak, tersenyum, lalu melanjutkan hidup.
Dalam dunia psikologi, kemampuan itu disebut self-distance jarak batin yang membuat seseorang tidak mudah terbakar oleh pikirannya sendiri. Dalam bahasa tasawuf, hal itu dekat dengan tawadhu’: kesadaran bahwa manusia hanyalah makhluk yang sedang belajar.
Antara Pikiran dan Rasa
Saya percaya bahwa rasionalitas adalah hal penting. Tapi rasionalitas tanpa rasa akan kering. Seseorang bisa benar secara teori, tapi gagal memahami manusia di sekitarnya. Ia bisa memenangkan perdebatan, tapi kehilangan hubungan.
Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Keikhlasan misalnya, atau kesabaran seorang ibu. Hal-hal seperti itu tidak bisa diukur, tapi nyata.
Di sinilah tawa menemukan perannya. Ia mengembalikan manusia pada rasa. Ia membuat ilmu terasa ringan, membuat iman terasa hidup. Tawa tidak menghapus keseriusan, tapi menyeimbangkannya.
Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman lama. Ia dulunya keras dalam berpikir, selalu ingin benar dalam setiap debat. Kini ia lebih kalem. “Saya capek ingin selalu menang,” katanya pelan. Saya tersenyum.
Saya pikir, mungkin memang begitu prosesnya. Manusia belajar bukan hanya dari membaca, tapi juga dari letih. Dari pengalaman merasa benar sendiri, lalu sadar bahwa kebenaran tidak sesempit pikirannya dulu.
Sejak itu, saya mulai lebih sering menertawakan diri sendiri. Ketika rencana gagal, ketika tulisan ditolak, atau ketika ucapan saya disalahpahami, saya mencoba tersenyum. Tidak selalu mudah, tapi tawa kecil itu sering menyelamatkan saya dari rasa ingin membenarkan segalanya.
Berpikir adalah anugerah. Tapi berpikir tanpa kelembutan bisa jadi beban. Sementara tertawa, dalam kadar yang wajar, adalah cara hati beristirahat.
Orang bijak bukan berarti orang yang tahu segalanya, tapi orang yang tenang dalam ketidaktahuannya. Ia berpikir dengan serius, tapi tidak kehilangan rasa . Ia bisa menertawakan dirinya, tanpa kehilangan hormat pada hidup.
Mungkin, itulah keseimbangan yang sedang kita cari: berpikir tanpa sombong, dan tertawa tanpa merendahkan orang lain. Karena dalam setiap kesadaran baik yang lahir dari akal maupun dari tawa selalu ada jejak kasih Tuhan yang halus, mengingatkan kita untuk tetap menjadi manusia.

