KULIAHALISLAM.COM – Memento mori menjadi stoik yang Islami. Ketakutan kita terhadap bentuk-bentuk hantu yang menggambarkan makhluk pasca kematian merupakan bukti bahwa sebagian besar dari kita menganggap kematian adalah suatu hal yang sangat mengerikan.
Kelahiran dan kematian merupakan siklus kehidupan dan pasti yang dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia. Kematian menurut ensiklopedia Islam diartikan dengan terpisahnya ruh dari jasad (Miskahuddin, 2019).
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al Ankabut: 57)
Kematian bahkan sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, namun pada umumnya mereka enggan untuk memikirkan. Karena dianggap sesuatu yang sangat menakutkan, sehingga sebagian dari kita cenderung melupakannya. Padahal kematian akan datang, cepat atau lambat, di mana saja dan kapan saja.
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa:78)
Memento mori merupakan istilah yang digunakan oleh para kaum stoa atau stoik. Mereka mengartikan memento mori dengan “ingatlah kau akan kematian”9. Ketika kaum stoa mendawamkan memento mori, kaum stoa menganggap kematian sebagai suatu hal yang biasa terjadi. Hal ini mengakibatkan mereka justru lebih menikmati kehidupan yang sedang terjadi.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
Bagaimana pun kita berlari dari kematian, dia akan selalu menjemput kita tanpa pernah mempedulikan kesiapan kita dalam menghadapinya. Seneca yang merupakan salah seorang tokoh filsuf pernah mengatakan “hiduplah seakan hari ini terakhir kita bernafas.”
Hal ini akan memunculkan kesadaran pada diri kita bahwa waktu yang kita miliki sangat terbatas, sehingga kita akan berusaha melakukan hal-hal dengan sebaik mungkin.
Sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa ketika mengingat kematian kita akan berusaha melakukan sesuatu sebaik mungkin.
“Orang yang pandai merupakan orang yang bisa mengevaluasi dirinya dan beramal (berusaha mengoptimalkan potensi yang dimiliki) untuk kepentingan setelah mati. Sedangkan orang-orang lemah akan mengikuti hawa nafsu, kemudian akan berangan-angan kosong”. (HR. Tirmidzi)
Kematian juga menjadi peringatan yang sangat nyata, terutama bagi diri kita yang muslim. Ketika salah satu orang terdekat kita mengalami musibah dan kemudian meninggal dunia, bahkan kita sangat terpukul. Merasa sangat kehilangan, merasakan bahwa kita juga akan mengalami hal yang serupa dengannya.
Dengan merenungi bahwa kita juga akan menghadapi kematian, kita akan menyadari bahwa diri kita keterbatasan. Ada banyak hal yang tidak bisa dikendalikan, termasuk ruh yang ada pada diri kita. Apalagi tentang tempat, waktu dan keadaan kita dalam menghadapi kematian, itu sangat diluar kemampuan manusia.
Kesadaran akan waktu yang terbatas, membuat diri kita lebih menghargai apa yang miliki, baik waktu maupun orang-orang kita anggap berharga. Saat kematian menjemput, pada akhirnya bukan lagi tentang apa yang dimiliki melainkan apa-apa yang telah dilakukan dan dialami. Peluklah dirimu dengan menikmati dan memaknai waktu yang masih kamu miliki.
Beberapa hal berikut merupakan faedah yang bisa kita dapatkan ketika mampu mengingat mati (Miskahuddin, 2019): Dalam Islam, mengingat kematian merupakan sebuah perilaku yang dapat dinilai sebagai ibadah karena diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Membantu kita untuk lebih khusyuk dalam melakukan ibadah salat. Imam Al Ghazali sendiri menyebutkan bahwa salah satu cara untuk khusyuk yakni dengan mengingat kematian (Millah dkk, 2020).
Menjadikan kita lebih mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah SWT. Dengan mengingat kematian, kita akan berusaha untuk melakukan persiapan dengan melakukan amal baik. Mengingat kematian akan membuat diri kita memperbaiki kehidupan, terus menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Mencegah diri kita untuk berbuat zalim. “Tidaklah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan” (QS. Al Muthafifin: 4). Ayat tersebut menerangkan gambaran orang-orang yang melakukan perbuatan zalim di dunia karena menganggap dunia sebagai sesuatu yang abadi.
Jika batasan memento mori yang dimiliki kaum stoik hanya berhenti pada saat berpisahnya ruh dan jasad, maka menjadi seorang muslim yang mengimani hari akhir akan mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Menjadi orang yang beriman juga tidak takut terhadap kematian, karena kematian merupakan pintu untuk bertemu dengan Allah SWT.
Kematian begitu nyata di depan mata, jika bukan kita yang menggunakan waktu dengan baik, lalu siapa lagi? Diri kita sendiri lah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita pilih, atas apa yang kita lakukan. Semoga kita terus berusaha menjadi pribadi yang terbaik dan memanfaatkan waktu serta memberinya makna. Wallahua’lam
Referensi:
- Millah, F. Nikmatul, dkk. (2020). Pelatihan Shalat Khusyuk Meningkatkan Kebahagiaan pada Family Caregiver Pasien Stroke. Jurnal Intervensi Psikologi, 12(2), 81-94.
- Miskahuddin. (2019). Kematian dalam Perspektif Psikologi Qur’ani. Al-Mu’adirah, 16(1), 80-91.
Editor: Adis Setiawan
1 Comment