KeislamanPendidikan

Membaca Rahasia Al-Qur’an dalam Asas Al-Takwil: Ketika Ayat Menjadi Simbol dan Ilmu Menjadi Rahmat atau Azab

4 Mins read

Kisah Nabi Hud dan kaum ‘Ad biasanya hadir sebagai cerita tentang kaum perkasa yang dihancurkan angin ganas. Namun melalui Asas al-Takwil, kita diajak melihatnya dari sudut lain yang lebih batiniah, simbolik, dan terasa dekat dengan kehidupan hari ini.

Bagi banyak pembaca, kisah ini hanyalah potret sejarah. Tetapi al-Qadi al-Nu’man, tokoh penting dalam tradisi Syiah Ismailiyah, membacanya sebagai kisah tentang sikap manusia menghadapi kebenaran dan bagaimana ilmu dapat menjadi rahmat atau azab.

Pendekatan ini mengubah cara kita berhubungan dengan teks suci. Al-Qur’an bukan lagi sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin untuk menilai diri sendiri, cara kita bersikap, menerima pengetahuan, dan memahami tanda-tanda yang datang dalam hidup.

Mengenal al-Qadi al-Nu’man dan Pendekatan Takwilnya

Al-Qadi al-Nu’man adalah ulama besar Ismailiyah, sebuah cabang Syiah yang menekankan makna batin. Baginya, ayat-ayat Al-Qur’an memiliki dua lapisan: makna lahir yang mudah dikenali, dan batin yang lebih mendalam. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan.

Sebelum menyusun Asas al-Takwil, ia menulis Da’aim al-Islam, kitab yang mengatur aspek lahiriah ibadah dan hukum. Menurutnya, seseorang tidak mungkin memahami sisi batin agama tanpa terlebih dahulu menegakkan struktur lahirnya. Setelah fondasi itu kokoh, ia kemudian menulis Hudud al-Ma’rifah, karya tentang simbol dan batas pengetahuan batin. Barulah Asas al-Takwil lahir sebagai penjelasan yang lebih matang tentang bagaimana al-Qur’an memuat lapisan-lapisan makna yang saling terkait.

Nu’man menegaskan, segala sesuatu yang dapat dirasakan selalu memiliki dua sisi: lahir dan batin. Lahir adalah apa yang ditangkap pancaindra, sedangkan batin adalah makna yang tersimpan di baliknya dan hanya dapat diketahui melalui ilmu. Ia merujuk firman Allah bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, sebagai isyarat bahwa ciptaan tidak pernah berdiri sendiri.

Baca...  Rahasia-rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Manusia misalnya, tampak sebagai satu pribadi, tetapi sebenarnya tersusun dari jasad dan ruh, dan masing-masing pun memiliki unsur pasangannya sendiri. Dari sini ia menegaskan bahwa memahami sisi batin dari nikmat, dosa, dan ayat al-Qur’an merupakan bagian dari kewajiban ilmu, sebab seseorang akan ditanya tentang hal-hal itu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

Walaupun memberikan perhatian besar pada dimensi batin, Nu’man tidak mengabaikan makna lahir. Ia menyebut makna lahir sebagai dalil penunjuk jalan dan makna batin sebagai madlul, makna yang dituju. Dengan begitu, takwil bukanlah pembatalan makna lahiriah, tetapi pendalaman terhadapnya. Ia mengkritik mereka yang hanya berpegang pada makna lahir atau yang merasa cukup dengan makna batin saja. Keduanya kehilangan keseimbangan. Pemahaman yang benar harus memadukan keduanya, seperti tubuh dan ruh yang saling menghidupkan.

Nu’man juga menekankan bahwa takwil bukan ilmu yang bisa dipelajari secara serampangan. Ia merujuk ayat “Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” Dalam tradisi Ismailiyah, yang dimaksud adalah para imam yang mewarisi pengetahuan batin dari Nabi. Karena itu, takwil bukan hasil dugaan pribadi, melainkan pengetahuan yang berpijak pada otoritas dan rantai transmisi yang sah. Tanpa itu, takwil hanya akan menjadi permainan makna yang tak berujung.

Dengan cara pandang itu, Nu’man membangun metode penafsiran yang melihat al-Qur’an sebagai teks berlapis. Ia mengajak pembaca untuk tidak berhenti pada yang tampak, tetapi juga tidak terjebak pada spekulasi batin. Ia menawarkan keseimbangan: membaca ayat dengan mata yang tajam pada makna lahir, sekaligus hati yang peka terhadap kedalaman makna. Pendekatan inilah yang memberi warna khas pada Asas al-Ta’wil dan membuatnya berbeda dari tafsir lain pada zamannya.

Baca...  Sejarah Tafsir Al-Qur'an: Perkembangan dan Pendekatannya

Dari Tujuh Nabi hingga Tujuh Imam

Dalam tradisi Ismailiyah dikenal gagasan al-sab’iyah, yaitu konsep bahwa sejarah wahyu berjalan melalui tujuh fase kenabian. Mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, dan berpuncak pada Imam Mahdi yang dinantikan.

Setiap fase kenabian dijaga oleh tujuh imam. Para imam ini menjaga ajaran batin hingga datang nathiq, yaitu nabi yang membawa syariat berikutnya. Dengan demikian, sejarah kenabian dipahami sebagai rangkaian lahir dan batin yang berjalan bersama.

Melalui kerangka ini, Asas al-Ta’wil tidak menafsirkan ayat secara berurutan seperti tafsir pada umumnya. Nu’man memilih ayat-ayat terkait struktur teologi Ismailiyah dan perjalanan wahyu dari masa ke masa.

Karena itu, kitab ini lebih menyerupai perjalanan pemahaman ketimbang komentar ayat demi ayat. Ia mengajak pembaca masuk ke alur makna, bukan urutan halaman. Pendekatan ini membuat Asas al-Ta’wil memiliki karakter yang berbeda sekaligus unik.

Kisah Nabi Hud: Persaudaraan yang Lebih dari Sekadar Darah

Salah satu contoh menarik dari pendekatan Nu’man adalah penafsirannya terhadap kisah Nabi Hud. Dalam Al-Qur’an, Hud disebut sebagai “saudara” kaum ‘Ad. Secara lahir, ini menunjukkan bahwa ia berasal dari kabilah yang sama.

وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًاۗ

Namun Nu’man melihat lapisan lain. Dalam makna batin, persaudaraan itu merujuk pada hubungan spiritual dalam garis umat Nabi Nuh. Nabi Nuh disebut sebagai “ayah” mereka dalam makna hakikat, sehingga Hud hadir sebagai penerus pesan sebelumnya.

Dari sini terlihat bahwa hubungan rohani jauh lebih kuat daripada hubungan darah. Kedekatan tidak ditentukan oleh nasab lahiriah, tetapi oleh kesediaan mengikuti garis kenabian yang membawa cahaya kebenaran.

Ketika Angin Menjadi Ilmu: Rahmat bagi yang Menerima, Azab bagi yang Menolak

Bagian yang paling menarik adalah ketika Nu’man menafsirkan angin yang menghancurkan kaum ‘Ad. Secara lahir, angin itu adalah badai yang menghabisi mereka. Namun secara batin adalah ilmu pengetahuan yang membawa pesan ilahi.

Baca...  Konsep Talak Dalam Al-Qur’an

فَلَمَّا رَاَوْهُ عَارِضًا مُّسْتَقْبِلَ اَوْدِيَتِهِمْ قَالُوْا هٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَاۗ بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهٖۗ رِيْحٌ فِيْهَا عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ

Bagi orang beriman, ilmu adalah rahmat. Ia menyejukkan, menumbuhkan, dan menguatkan. Namun bagi mereka yang menolak kebenaran, ilmu justru menjadi azab. Ia menghancurkan kesombongan dan membuka keburukan tersembunyi.

Kaum ‘Ad melihat awan gelap dan mengiranya sebagai hujan yang membawa berkah. Namun yang datang adalah angin kehancuran. Dalam bacaan batin, itu adalah gambaran manusia yang menilai dari tampilan luar, tetapi gagal menangkap pesan yang lebih dalam.

Simbol ini terasa sangat dekat dengan kehidupan sekarang. Banyak orang menolak pengetahuan ketika ia menggoyahkan kenyamanan lama, padahal pengetahuan itu mungkin membawa peringatan yang dapat menyelamatkan.

Penutup

Melalui Asas al-Takwil, Nu’man mengajak kita melihat bahwa Al-Qur’an berbicara kepada perjalanan batin manusia di setiap zaman. Teks suci bukan hanya deretan kata, tetapi pintu menuju pemahaman yang lebih dalam. Kisah Nabi Hud mengingatkan bahwa persaudaraan sejati lahir dari iman, bukan sekadar darah. Ia juga menunjukkan bahwa ilmu dapat menjadi rahmat atau azab, tergantung sikap kita menerimanya.

Pendekatan seperti ini membantu pembaca awam memasuki dunia takwil tanpa tersesat. Melalui simbol dan makna batin, kita diajak melihat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an selalu memiliki kedalaman yang menanti untuk ditemukan.

2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Keislaman

Benarkah Ibadiyah Takfiri? Mengungkap Wajah Moderat Khawarij dalam Kitab Tafsir Hamyan Al-Zad

4 Mins read
Jika Khawarij dikenal sebagai kelompok paling ekstrem, bagaimana mungkin salah satu cabangnya justru menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual? Nama Khawarij…
KeislamanPendidikan

Asal Usul Roh Menurut Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Mempelajari asal usul Roh ada kaitannya dengan masalah kekadiman atau kebaharuan Roh. Berdasarkan pendapat Plato, ahli filsafat Yunani mengatakan bahwa Roh itu…
Keislaman

Lima Pilar Rasionalisme Muktazilah: Telaah Penafsiran Qadi ‘Abd al-Jabbar dalam Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in

4 Mins read
Muktazilah salah satu aliran teologi Islam yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Aliran ini dikenal kental nuansa doktrin teologis dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Pandangan Al-Dihlawi Tentang Ijtihad (2): Pembaharuan Hukum Islam

Verified by MonsterInsights