Opini

Maraknya Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

4 Mins read

Dalam kehidupan bermasyarakat, rasa aman seharusnya menjadi hak bagi setiap orang tanpa terkecuali. Kita semua tentunya berharap bisa beraktivitas, belajar, dan bekerja tanpa rasa takut terhadap orang lain. Namun, kenyataannya tidak selalu begitu. Masih banyak peristiwa yang mengancam rasa aman tersebut, bahkan bisa saja datang dari lingkungan yang seharusnya menjadi tempat berlindung.

Salah satu bentuk pelanggaran rasa aman yang kini sering terjadi adalah kasus pelecehan seksual. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan luka fisik, tapi juga meninggalkan trauma mendalam yang sulit disembuhkan. Ironisnya, peristiwa seperti itu terus berulang dan seolah menjadi hal yang biasa di mata masyarakat. Padahal, setiap tindakan pelecehan sekecil apa pun adalah bentuk kekerasan yang melukai harga diri dan kemanusiaan seseorang.

Berdasarkan laporan dan pengamatan yang ada, kasus pelecehan seksual di Indonesia tampaknya semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan korban mulai dari anak di bawah umur hingga dewasa. Data menunjukkan bahwa banyak pelaku pelecehan seksual adalah orang-orang terdekat korban, seperti keluarga dan kerabat, bahkan ada juga aparat negara yang terlibat dalam kasus ini. Hal itu menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran dan penegakan hukum terkait pelecehan seksual masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Pernahkah kita berpikir tentang betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh korban pelecehan seksual? Selain harus menghadapi trauma yang membekas dalam waktu lama, mereka juga kerap dihadapkan dengan pandangan masyarakat yang tidak selalu memahami kondisi mereka. Banyak korban yang akhirnya memilih diam karena takut disalahkan atau dicap buruk oleh lingkungan sekitar.

Mereka harus menanggung rasa malu, kehilangan kepercayaan diri, bahkan takut untuk menjalani kehidupan seperti biasanya. Pendidikan bisa terganggu, hubungan sosial memburuk, dan masa depan mereka menjadi tidak pasti. Luka yang mereka bawa bukan hanya di dalam tubuh, tapi juga di hati dan pikiran.

Baca...  Sosok Ahmad Muzani: Penjahit Komponen Bangsa dan Figur Strategis yang layak menjadi Menkopolhukam

Adapun contoh kasus yang pernah ramai diperbincangkan adalah kasus seorang polisi yang melakukan pelecehan terhadap siswi SMA di Kupang. Awalnya, kasus ini bermula dari penilangan lalu lintas biasa. Namun, karena siswi tersebut tidak mampu membayar denda, sang polisi malah memanfaatkan situasi itu dengan melakukan tindakan tidak senonoh.

Dengan dalih akan membebaskan biaya tilang, ia justru melanggar hukum dan norma kesusilaan yang seharusnya ia junjung tinggi. Akibat perbuatannya, korban mengalami trauma berat dan kehilangan rasa aman dalam menjalani kehidupan. Ironisnya, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku hanya berupa pemberhentian dari pekerjaannya sebagai aparat negara. Hukuman itu jelas tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami korban.

Kasus seperti ini menggambarkan betapa lemahnya sistem hukum kita dalam memberikan rasa keadilan. Korban yang seharusnya mendapat perlindungan dan empati justru sering kali dikucilkan, sementara pelaku bisa melenggang dengan hukuman yang ringan. Situasi ini menciptakan ketakutan baru di masyarakat, terutama bagi perempuan, bahwa keadilan mungkin hanya berlaku bagi mereka yang punya kuasa atau jabatan. Ketika aparat negeri sendiri bisa melakukan tindakan pelecehan tanpa konsekuensi yang sepadan, bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem hukum yang ada?

Kalau dilihat lebih dalam, masalah pelecehan seksual ini bukan hanya soal individu, tapi juga tentang sistem dan pola pikir masyarakat kita. Pertama, kurangnya pendidikan tentang seksualitas dan batasan tubuh membuat banyak orang tidak benar-benar paham mana perilaku yang pantas dan mana yang melanggar.

Di sekolah, topik seperti ini sering dianggap tabu, padahal justru penting untuk mencegah terjadinya pelecehan sejak dini. Kedua, budaya patriarki masih sangat kuat di masyarakat kita. Masih banyak yang berpikir bahwa perempuan harus menutup diri atau menjaga sikap agar tidak mengundang pelecehan, padahal kesalahan selalu ada di tangan pelaku, bukan korban. Ketiga, penegakan hukum yang lemah membuat pelaku tidak merasa jera. Banyak kasus pelecehan yang akhirnya berhenti di tengah jalan karena kurangnya bukti, tekanan sosial, atau karena pelaku memiliki posisi yang berpengaruh.

Baca...  Hilangnya Empati, Terbitlah Anarki

Selain faktor-faktor tersebut, media juga kadang berperan dalam memperburuk keadaan. Tidak sedikit media yang memberitakan kasus pelecehan dengan cara yang justru mempermalukan korban, misalnya dengan menyebut inisial korban secara jelas atau menampilkan detail yang tidak perlu.

Padahal, pemberitaan semacam itu hanya akan menambah beban psikologis korban dan membuat mereka enggan untuk berbicara. Masyarakat pun sering kali lebih tertarik menghakimi daripada memahami. Kalimat seperti “kenapa dia nggak melawan?” atau “pasti karena pakaiannya terbuka” masih sering terdengar, dan itu membuat korban semakin terpuruk.

Untuk menekan angka pelecehan seksual, langkah nyata harus dilakukan dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperkuat hukum dan memastikan bahwa setiap pelaku mendapat hukuman setimpal tanpa pandang bulu. Penegak hukum juga harus diberikan pelatihan tentang cara menangani kasus pelecehan dengan empati, bukan dengan menyalahkan korban.

Di sisi lain, pendidikan mengenai penghargaan terhadap tubuh dan pentingnya persetujuan harus diajarkan sejak dini, agar anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri.

Masyarakat juga memiliki peran besar. Kita harus berhenti menyalahkan korban dan mulai belajar untuk mendengarkan mereka. Dukungan sosial bisa menjadi langkah awal untuk membantu korban pulih.

Kampanye di media sosial, diskusi di sekolah, hingga ruang aman bagi korban untuk berbicara perlu diperkuat. Jika masyarakat bisa lebih peka dan berani bersuara ketika melihat ketidakadilan, maka perlahan-lahan budaya diam dan takut bisa berubah menjadi budaya peduli dan saling melindungi.

Namun, penanganan korban seharusnya tidak berhenti hanya di tingkat masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan terdekat juga punya peran penting yang sering kali diabaikan.

Tidak sedikit korban yang justru tidak mendapat dukungan dari keluarganya sendiri karena dianggap membawa aib. Padahal, dukungan keluarga adalah fondasi utama bagi proses pemulihan korban. Ketika keluarga memilih untuk menutup-nutupi atau bahkan menyalahkan korban, luka yang mereka alami bisa menjadi semakin dalam.

Baca...  Paradoks Pendidikan Indonesia

Keluarga seharusnya menjadi tempat pertama yang memberikan rasa aman, mendengarkan tanpa menghakimi, serta mendampingi korban untuk mendapatkan bantuan hukum dan psikologis. Selain itu, keluarga juga perlu diberi edukasi tentang bagaimana menghadapi dan mendukung korban secara emosional. Dukungan kecil seperti pelukan, kata-kata penyemangat, dan keyakinan bahwa korban tidak sendirian bisa sangat berarti dalam proses pemulihan.

Pelecehan seksual bukan hanya tentang pelanggaran terhadap tubuh seseorang, tetapi juga tentang hilangnya nilai kemanusiaan. Selama kita masih menutup mata dan membiarkan pelaku lolos dari tanggung jawab, korban akan terus menderita dalam diam. Kasus-kasus seperti yang terjadi di Kupang seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua bahwa perubahan harus segera dilakukan. Kita tidak bisa terus membiarkan rasa aman menjadi hal yang langka di negeri ini.

Sudah saatnya kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih aman, berempati, dan menghormati sesama tanpa terkecuali. Karena rasa aman bukanlah hak istimewa milik segelintir orang, melainkan hak setiap manusia. Dan jika kita benar-benar ingin disebut masyarakat yang beradab, maka menghentikan pelecehan seksual dan menegakkan keadilan adalah salah satu langkah paling mendasar yang harus kita perjuangkan bersama.

Daftar Pustaka

(Budiarti et al., 2022) Budiarti, A. I., Arianto, G. N., & Maharani, M. (2022). Data dan fakta kekerasan seksual di indonesia 2021. Indonesia Judicial Research Society (IJRS), 52. http://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2022/04/Data-dan-Fakta-Kekerasan-Seksual-di-Indonesia-2021-8-Apr-2022.pdf

(Siaran-Pers Menteri-Pppa-Banyak-Perempuan-Dan-Anak-Korban-Kekerasan-Tidak-Berani-Melapor – Kemenpppa-Go, n.d.)

1 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
OpiniPendidikan

Perkembangan Pendidikan Berbasis Kurikulum Cinta

4 Mins read
Akhir-akhir ini, saya sering merenung tentang sistem pendidikan yang sedang kita jalani. Setiap hari, para siswa berlari dari satu pelajaran ke pelajaran…
Opini

Jangan-jangan Kita Sendiri Adalah Iblis Itu

3 Mins read
Jangan-jangan Kita Sendiri Adalah Iblis Itu Bayangkan sebuah gugatan mengapa Tuhan yang Maha Kuasa membiarkan kejahatan merajalela? Mengapa iblis tetap dibiarkan hidup,…
Opini

Ngaji Tanpa Batas: Peran Media Digital dalam Mempermudah Pembelajaran Al-Qur’an

4 Mins read
Dulu, belajar Al-Qur’an identik dengan duduk bersila di depan guru ngaji, membawa mushaf, dan melafalkan huruf demi huruf dengan penuh kesungguhan. Suara…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Tokoh

Sarwo Edhie Wibowo: Panglima Penumpas G30S/PKI dan Perjalanan Hidupnya

Verified by MonsterInsights