Makna takziyah dalam perspektif Islam. Syariat Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian yang tidak di ketahui waktunya. Sebagai makhluk yang sebaik-baik di mata Allah SWT dan di tempatkan pada derajat yang tinggi maka Islam sangat menghormati orang muslim yang telah meninggal dunia.
Oleh sebab itu, menjelang menghadapi kehariban Allah SWT, orang yang telah meninggal mendapatkan perhatian khusus dari muslim lainnya yang masih hidup. Mati adalah akhir dari manusia di dunia, tetapi kematian itu merupakan titik awal kehidupan manusia di akhirat.
Kehidupan di dunia itu ibarat orang mencari bekal untuk kehidupan yang lebih lama dan kekal. Tiap manusia sudah di tentukan ajalnya sendiri-sendiri oleh Allah SWT. Tetapi dalam praktek di tengah masyarakat muslim tersebut, ada beberapa hal yang masih tergolong unik.
Apabila ada seorang yang meninggal dunia maka para tetangga dan handai tauladan akan datang berbondong-bondong kerumah si mayit untuk betakziah kepada keluarganya dan khusus bagi ibu-ibu muslimat yang ikut melayat mereka datang dengan membawa bahan-bahan sembako untuk diberikan kepada keluarga rumah duka (ahlul mayit).
Kemudian sebagian tetangga ataupun keluarga ahli mayit biasanya ikut untuk membantu pekerjaan ahli mayit, mulai dari yang mengatur tempat penerimaan sembako dari para pentakziah dan juga memasakkan makanan untuk keluarga ahli mayit dan makanan tersebut juga disediakan kepada pentakziah yang datang.
Namun ada beberapa keunikan atau fenomena kebiasaan baik pada saat pengurusan mayat yang akan diselenggarakan fardhu kifayahnya yang bermakna pemberangkatan mayat, prosesi ini dilakukan dihalaman rumah ahli bait dan pelayat berdiri mengarah kepada bagian depan rumah dan kemudian barisan alim ulama memberangkatkan mayat dengan memberikan nasihat bagi para ahli takjiah dan ahli bait.
Arti Takziyah
Ketika membicarakan definisi atau arti kata dari “ta’ziyah”, maka sudah dapat dipastikan kata tersebut bukan kata asli bahasa kita, melainkan berasal dari bahasa Arab, “Al-Ta’ziyah”. Kata tersebut merupakan kata benda (mashdar) dari kata kerja (fi’il madly), “Azza” yang berarti menghibur atau membesarkan hati.
Maksudnya, menghibur atau membesarkan hati keluarga yang berduka agar berbesar dan tidak larut dalam merenungi kedukaan atas musibah yang menimpa, berupa kematian anggota keluarganya tersebut. Senada dengan itu pula Syaikh Nawawi sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Nipan mengatakan bahwa kata “Al-Ta’ziyah”, secara lughawi bermakna al-tasliyah (menghibur), yakni menghibur orang yang tertimpa musibah atau pihak yang perlu dihibur, sekalipun ia adalah seekor kucing.
Adapun ta’ziyah menurut istilah yang berarti: menasihati (keluarga duka) agar bersabar menghadapi musibah seraya mengingatkan tentang besarnya pahala bersabar yang Allah janjikan dan beratnya siksaan yang Allah ancamkan terhadap orang yang tidak bersabar menghadapi mushibah, terutama jika ia seorang muslim, dan mendo’akan keluarga duka agar diberi ganti yang lebih baik, baik mereka beragama Islam atau kafir.
Dalam istilah sehari-hari, kata “ta’ziyah” biasa disama-artikan dengan “turut berduka cita” atau “belasungkawa”. Istilah ini tentu saja tak bisa disalahkan. Namun jika kita cermati, terasa sekali adanya konotasi yang cenderung negatif yakni “ikut bersedih”. Seolah-olah kita datang untuk ikut larut dalam kesediahan bersama keluarga duka. Itulah sebabnya, maka Islam mengajarkan ta’ziyah yang maknanya berkonotasi positif.
Bukan turut berdukacita, melainkan membesarkan hati keluarga duka yang memang sedang berduka. Kita tidak diposisikan sebagai orang yang ikut berduka, melainkan diposisikan sebagai penasihat atau penghibur bagi keluarga yang sedang berduka. Sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan, melainkan dapat bersabar menerima mushibah yang sedang dihadapi oleh anggota keluarganya.
Dalam melaksanakan ta’ziyah, perbuatan empatik di atas sangat dianjurkan. Seorang penta’ziyah tidak sekedar hadir untuk mengungkapkan belasungkawa kepada orang yang ditinggal si mayit, tapi juga mengangkat beban dukanya, rasa kehilangannya. Artinya, di posisi ini, orang yang melakukan ta’ziyah menjadi penghiburnya.
Ia berusaha membuat orang yang tengah berduka tidak larut dengan isak tangis berkepanjangan dan duka yang tiada henti hentinya. Pada dasarnya kegiatan berta’ziyah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ada anggota keluarga orang lain yang ditimpa musibah, merupakan sebagai salah satu cara untuk mempererat tali silaturrahmi antar sesama (hablum minannas). Dan dalam berta’ziyah berbagai aktivitas yang baik pula dilakukan di tempat ahli musibah, seperti membaca sebagian ayat-ayat AlQur’an, berdoa sertammemberikan nasihat-nasihat kepada ahli musibah.
Dasar Hukum Takziyah
Kegiatan berta’ziyah yang dilakukan oleh masyarakat bukanlah suatu perbuatan yang hanya menumbuhkan rasa simpatik belaka, melainkan suatu perbuatan yang amat mulia. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hadis Rasulullah Saw. yang membicarakan tentang perbuatan tersebut. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berikut ini:
َما ِمن ُمؤِمن يَُعِزي أَ َخاهُ ِبُِ ِصيبَة، إَِلّ َك َساهُ ا َللُّ ُسب َحانَهُ ِمن ُحلَِل ال َكَراَمِة يَوَم الِقيَاَمةِ
“Tidaklah seorang mukmin yang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah (bencana), melainkan Allah memberikan kepadanya pakaian kemuliaan di hari kiamat”. (HR. Ibnu Majah).
Dalam riwayat yang lain dikatakan pula bahwa keutamaan dari ta’ziyah itu sungguh luar biasa,6 sebagaimana hadis berikut ini:
َمن َعَزى ُم َصاًب فَلَهُ ِمثلُ أَجِرهِ
“Barang siapa yang berta’ziyah kepada seseorang yang ditimbah mushibah, maka baginya pahala seperti yang didapati oleh yang ditimpa mushibah itu”. (HR. Ibnu Majah, Tarmidzi dan Hakim).
Hadis-hadis di atas menjelaskan keutamaan dari kegiatan ta’ziyah tersebut. Bahwa, baik yang berta’ziyah maupun pihak yang sedang ditimpa musibah sama-sama mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt., hal ini menunjukkan pula bahwa betapa mulianya akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam ta’ziyah tersebut.
Di samping itu pula, bahwa kegiatan ta’ziyah ini tidak hanya dilihat dari sudut pandang agama, melainkan dari aspek sosial juga. Dalam kehidupan sosial bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Sehingga secara sosial manusia itu harus saling memperhatikan antara yang satu dengan yang lainnya, tidak terkecuali juga di dalam persoalan musibah.
Dalam kehidupan sosial ini Rasulallah Saw. Pernah menegaskan tentang kewajiban antara muslim yang satu dengan muslim yang lain, sebagaimana sabdanya berikut ini: Berdasarkan hadis di atas bahwa ta’ziyah yang dilakukan oleh umat muslim tersebut merupakan suatu keharusan, karena hukumnya fardu kifayah. Artinya apa, bahwa kewajiban itu akan gugur apabila sebagian muslim yang lain sudah berta’ziyah (dalam rangka pengurusan jenazah).
Dari hadis di atas pula dapat dipahami bahwa ajaran Islam ini tidak hanya mengatur aspek agama semata akan tetapi aspek sosial sangat diperhatikan juga. Artinya, hubungan baik dengan Allah Swt. Itu dapat dikatakan berhasil apabila hubungan dengan manusia dapat disempurnakan.
Dengan kata lain, bahwa ta’ziyah yang dilakukan oleh seseorang (muslim) merupakan salah satu wasilah atau jalan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Senada dengan penjelasan di atas, kalau kita mengambil mafhum (yang dapat dipahami) dari keumuman lafaz ayat suci Al-Qur’an dalam Q. S Al-Baqarah: 156, bahwa bert’ziyah itu merupakan salah satu bentuk amal kebajikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. terhadap sesama manusia, yang bertujuan untuk menghibur dan sekaligus menenangkan pihak keluarga yang sedang mendapat ujian dalam hidupnya.
Artinya, para penta’ziyah diharapkan untuk dapat memberikan nasihat kepada keluarga yang diuji jangan sampai berlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Karena berlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan merupakan perbuatan yang tidak baik atau dilarang secara syariat.
Makna dan Hukum Takziyah
Takziyah merupakan suatu kegiatan masyarakat yang dilakukan untuk membantu serta menghibur keluarga yang terkena musibah yakni kematian salah satu anggota keluarganya. Hukum takziyah dalam Islam menurut Ibnu Qudamah ialah Sunnah, hukum ini diperkuat oleh hadist Rasulullah SAW, Artinya “Barangsiapa yang bertakziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut.”(HR Tirmidzi). Tak hanya itu, ada juga hadist riwayat Muslim yang menjelaskan tentang 6 hak antara sesame muslim yaitu: mengucapkan salam, mendekatlah apabila dipanggil, saling menasihati, mengucapkan hamdalah ketika salah satu bersin, menjenguk yang sakit, dan yang terakhir takziyah.
Selain itu manfaat dari takziyah juga dapat dirasakan oleh kedua pihak. Yakni pihak pertama untuk keluara yang ditinggalkan, sedang pihak kedua ialah yang bertakziyah. Manfaat tersebut antara lain orang yang melayat dapat meringankan beban bagi keluarga yang terkena musibah, juga memotivasi untuk dapat terus bersabar dan ikhlas dengan apa yang sedang menimpanya.
Melakukan takziyah tentu ada beberapa adab yang harus dipenuhi oleh tiap manusia antara lain: jika mendengar musibah kematian yang menimpa suatu keluarga hendaklah mengucapkan kalimat istirja’, apabila ingin pergi takziyah dianjurkan untuk memakai pakaian yang sederhana, sopan dan rapi, serta ada baiknya jika sudah sampai dirumah duka sebaiknya tidak terlalu ramai, jika ada rezeki lebih diperbolehkan memberi sumbangan bagi keluarga, dan yang terakhir sangat dianjurkan Ketika bertakziyah hendaklah untuk ikut serta dalam sholat jenazah dan turut mendoakan jenazah supaya diampuni dosa-dosanya.
Islam telah mengajarkan banyak hal termasuk pernyataan tentang setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian yang kapan waktu akan tibanya hanya Allah yang dapat mengetahui. Sebagai manusia dianjurkan untuk menghormati kepada orang yang telah meninggal, oleh sebab itu seorang yang telah meninggal harus mendapatkan perlakuan yang khusus atau istimewa dari orang yang masih hidup (Az-Zuhaily, 2007).
Dalam QS. Al-Imran ayat ke 185 dijelaskan bahwa seluruh manusia akan mendapati kematiannya dimanapun, kapanpun dan bagaimana dalam kondisi apapun. Maka dari itu apabila seseorang mendapati orang lain meninggal dunia, maka disunnahkan baginya untuk bertakziyah kepada keluarga yang ditinggalkan (Miranda, 2018). Waktu terbaik untuk seseorang melakukan takziyah menurut beberapa pendapat yakni diantaranya: pertama, menurut para Fukaha Madzab Maliki, bahwa takziyah boleh dilakukan 2 waktu yakni sebelum ataupun sesudah jenazah dikuburkan, namun dianjurkan untuk bertakziyah sesudah jenazah dikuburkan.
Kedua, menurut fukaha Madzab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi, berpendapat bahwa sebaiknya waktu takziyah ini dilakukan selama tiga hari tiga malam. Jika seseorang takziyah dalam waktu setelahnya maka hukumya berubah menjadi makruh. Ketiga, menurut pendapat Fukaha selain Madzab Maliki, bahwa jika seseorang mengulan-ulang waktu takziyah maka hukumnya makruh (Aziz Dahlan, 2006).
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa, adat-istiadat atau tradisi (al-‘urf) dalam praktik pelaksanaan ta’ziyah yang terjadi di suatu tempat dan menjadi kebiasaan masyarakat secara luas bahkan menjadi bagian dari kehidupan beragama secara terus-menerus dapat dilaksanakan bila tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada.
Artinya, pelaksanaan ta’ziyah tersebut boleh dilaksanakan atau direalisasikan secara terus-menerus manakala tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada (syariat). Dengan kata lain, praktik al-‘urf tersebut haruslah al-‘urf al-shahih (adat-istiadat atau kebiasaan yang baik).