Mengenai takdir pertanyaan yang sering muncul di dalam masyarakat kita apakah bisa takdir dirubah; dari takdir yang buruk menjadi takdir yang baik? Bisakah saya merubah nasib saya yang selama ini seperti ini menjadi seperti yang di sana? Jika takdir kita sekarang ini menjadi begini-begini saja padahal kemarin selalu bagus, apakah bisa dirubah dan apa resepnya dalam kehidupan ini untuk merubah takdir itu?
Pertanyaan ini sangat penting kata Prof. Nasaruddin. Sebab tidak gampang menjelaskan pertanyaan itu. Dengan kata lain, harus ada referensi-referensi yang ditopang oleh pengalaman-pengalaman kehidupan yang panjangnya.
Menurut Prof. Nasaruddin takdir tidak perlu dipersoalkan. Akan tetapi yang perlu dipersoalkan adalah kita yang menerima takdir; karena takdir baik dan buruk itu sebetulnya juga hanyalah masalah persepsi.
Kita menganggap “Waduh kasihan ya kemarin jadi pejabat sekarang nggak lagi pejabat.” Demikian juga orang lain menganggap bahwa takdir sudah pindah, dari yang kemarin bagus sekarang menjadi kurang bagus dan kurang beruntung.
Akan tetapi, bagi yang bersangkutan sangat subjektif, ia berucap “Alhamdulillah kalau kemarin saya memang menjabat, tetapi hubungan saya dengan Tuhan sangat jauh. Jarang saya sadar bahwa keluarga berjauhan satu sama lain, tapi sekarang ini saya menikmati indahnya sebuah rumah tangga. Dan pada saat bersamaan saya akrab dengan Allah SWT.”
Sekali lagi ini sangat subjektif. Karena satu sisi orang menilainya kasihan. Akan tetapi, pada sisi yang lain yang bersangkutan merasa bersyukur. Inilah yang perlu diklarifikasi kata Prof. Nasaruddin Umar.
Yang paling penting untuk sekarang kita lakukan adalah bagaimana menciptakan suatu kualitas individu yang mateng. Karena kematangan spiritualitas bisa menjadi tahan banting. Jika kualitas individual itu bagus, maka takdir apapun yang datang kepadanya bisa berubah. Sebaliknya, jika kematangan spiritual indivuidu minus-kurang, maka dampaknya akan berakibat fatal.
Misalnya ada orang terkena kanker stadium 4, tetapi karena dia single parent harus membiayai anaknya, maka dia terpaksa jual sayuran keliling. Dia lupa kalau dirinya sudah stadium 4. Jadi persepsi itu sangat menentukan baik atau buruknya sesuatu.
Memahami qadha’ dan qadar
Jika ditelisik lebih jauh takdir bisa berarti ketetapan atau takaran. Ia adalah ketentuan dari Allah Swt. Namun juga, pada dimensinya takdir menerima qadha’ (ketetapan dari Allah SWT). Ada juga yang disebut qadar bermakna ketetapan juga dari Allah SWT, akan tetapi ini lebih mikro atau detail.
Setiap orang membawa takdirnya masing-masing. sejak lahir kita berbeda satu sama lain. Tidak ada orang yang persis sama secara takdir dengan orang lain. sementara qadha’ ada aspek persamaannya.
Misalnya Anda memegang gelas dan menjatuhkan ke lantai, maka qadha’-nya pasti pecah karena terhukum oleh gravitasi. Pecahnya gelas jatuh ke lantai itulah qadha’. Allah menetapkan bahwa gelas pecah.
Akan tetapi qadar berbeda. Jatuhnya gelas yang kanan mengenai kramik maka akan hancur berkeping-keping, sementara gelas yang kiri jatuhnya mengenai karpet dan pecahnya tidak seberapa. Memang qadha’-nya sama-sama pecah. Tetapi qadar-nya ada yang berkeping dan pecah jadi dua. Pecahan-pecahannya berbeda satu sama lain.
Ibarat antara seorang sopir dan pekebun. Si sopir setelah mengantarkan bosnya ke kantor ia berangkat kuliah, sementara pekebun setelah menyiram tanamannya duduk santai dan tidak mempunyai inisiatif untuk berubah. Lima tahun setelahnya si sopir menjadi seorang akuntan dan si pekebun tetap menjadi pekebun karena tak ada usaha.
Kata Prof. Nasaruddin ada yang bertakdir baik dan ada yang bertakbir biasa-biasa. “Tidak akan merubah satu nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri merubahnya.” Lalu kenapa Allah tidak merubah nasibku seperti teman-teman itu dirubah nasibnya? Tentu ada banyak faktor di sini kata Prof. Nasaruddin Umar.
Faktor eksternalnya, mungkin orang tuanya selalu mendoakan, “Ya Allah semoga anak saya yang di Jakarta sekarang menjadi sopir dinaikkan martabatnya atau pekerjaannya menjadi lebih hebat lagi.” Sedangkan orang tuanya si pekebun tidak pernah berdoa untuk anaknya.
Nah, yang paling pertama harus kita lakukan adalah jangan malas. Itulah kuncinya. Sebagus apapun rencananya kalau Anda males maka tidak akan berhasil. Artinya, hari demi hari harus selalu kreatif. Dan untuk menjadi kreatif maka Anda harus menghargai waktu.
Bagi kita yang beragama Islam, kata Prof. Nasaruddin, cara menghargai waktu adalah dengan salat lima waktu dan shalatlah pada waktunya. Bukankah Tuhan menebarkan shalat dalam 24 jam di bagi lima agar supaya terjadi pendisiplinan waktu!
Dalam Islam misalnya Anda bangun 04.00 untuk salat subuh. Setelahnya mandi dilanjut olahraga. Otomatis yang Anda rasakan adalah kesegaran tubuh dan pikiran. Dengan pikiran sehat Anda bisa berkreasi. Namun, jika Anda hidupnya dalam selimut terus-menerus, maka bisa dipastikan hidupnya tidak akan kreatif. Dan tidak mungkin bisa merubah nasibnya.
Pada hakikatnya, kata Prof. Nasaruddin, jika Anda ingin sukses maka ikutilah perintah Tuhan. Anda disuruh shalat lima waktu bukan saja itu kewajiban, tetapi sekaligus untuk mengatur waktu dan energi.
Jika kepala sudah panas, maka sungkurkan ke lantai (sujud), maka peredaran darah akan cepat naik ke otak. Dengan bersujud tensi berpikir kita yang tegang akan berkurang. Demikian juga tuma’ninah akan menjadikan ketenangan dalam bekerja dan berpikir.
Salat perancang takdir
Syahdan. Waktu salat lima waktu sebetulnya untuk merancang sebuah takdir yang lebih baik. Orang yang tidak teratur shalatnya, bagaimana bisa berharap akan memperoleh takdir lebih baik. Hanya saja, kata Prof. Nasaruddin, kita jangan berhenti pada shalatnya, melainkan harus mengambil filosofinya.
Untuk apa salat? Ya untuk disiplin waktu. Untuk apa disiplin waktu? Dengan waktu karir kita bisa menjadi bagus. Itu sebabnya, banyak orang ahli shalah tetapi nasibnya tetap terpuruk. Kenapa demikian? Karena ia terlalu kaku menafsirkan Alqur’an dan ajaran agama.
Kita ingin ke depan bagaimana supaya perintah Alqur’an itu kita bisa mengambil filosofi dan hikmahnya lebih dalam. Sebab dengan cara-cara inilah nasib kita ke depan akan selalu menjadi baik.
Sebenarnya takdir adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Hanya saja manusia tidak sadar bahwa dirinya sebetulnya bisa berubah pada setiap saat. Dalam hal ini, kita jangan pasrah pada sebuah nasib. Rubahlah nasib itu.
Bukankah Tuhan sudah memberikan kebebasan atau ikhtiar (pilihan) kepada makhluknya! Akan tetapi, yang sering terjadi seseorang selalu simple di dalam pilihan-memilih, belum lagi nanti ada nafsu-nafsu yang mengendalikannya.
Karrena itu, kata Prof. Nasaruddin, jangan memilih sesuatu yang terang di awal dan gelap di akhir, melainkan pilihlah sesuatu sekalipun gelap di awal tetapi di akhir menjadi terang-benderang. Namun, seseorang yang hidupnya tidak profesional, maka ia akan hidup dalam tuntunan hawa nafsunya, yaitu memilih sesuatu yang terang di awal dan gelap di akhir.
Anda tahu! Nafsu adalah kendaraanya Iblis. Ia adalah kekuatan yang dipakai oleh syetan untuk mengelabuhi manusia. Ia adalah provokasi dan pamflet iblis untuk mencari partner di dalam neraka. Karenanya berhati-hatilah dalam memilih teman. Wallahu a’lam bisshawab.