Keislaman

Keutamaan Batiniat dan Aqliyat Menurut Ibnu Sina

4 Mins read

Ibnu Sina mendefinisikan kenikmatan dalam “Al-lsyarat” (namath VIII. pasal 3, hal 753-754) sebagai merasakan dan memperoleh sesuatu yang dianggap memiliki kesempurnaan dan kebaikan, dan itu benar dalam keadaan seperti itu. Sebaliknya, kepedihan adalah merasakan dan memperoleh sesuatu yang dianggap memiliki penyakit dan kejelekan.

Menurut Ibnu Sina, pandangan orang awam yang menganggap kenikmatan inderawi lebih penting dan kuat daripada kenikmatan lainnya adalah pandangan yang lebih mirip dengan fantasi daripada kenyataan.

Untuk memperkuat dan memperjelas pendapatnya, Ibnu Sina memberi contoh situasi di mana orang memperoleh kenikmatan non-inderawi daripada kenikmatan inderawi. Dalam situasi ini, persepsi orang awam yang disebutkan di atas juga dibantah.

Dalam beberapa kasus yang dia sebutkan pertama, seorang pemain catur atau dadu yang terlalu tergila-gila dengan permainannya terkadang menolak makanan yang diberikan kepadanya karena puas dengan permainannya.

Kedua, orang yang ingin menjadi terkenal dan terhormat lebih mengutamakan prestise daripada kesenangan dari hubungan pernikahan atau makanan. Ketiga, orang yang terhormat lebih mengutamakan penghormatan orang lain kepadanya karena kebutuhan orang lain daripada bersenang-senang.

Keempat, seorang pemberani mengutamakan kepuasan yang diperoleh dari kehormatannya daripada kepuasan hidup. Karena menjaga air mukanya, dia tidak peduli dengan lapar dan dahaga. Karena ia percaya bahwa penghargaan yang akan diterimanya lebih besar daripada kematian, ia rela meregang jiwa untuk menyerang musuh dan menantang bahaya.

Dengan mengungkap pengalaman manusia seperti yang disebutkan di dalam beberapa poin contoh tersebut, Ibnu Sina ingin menekankan bahwa kenikmatan batin lebih luhur daripada kenikmatan inderawi.

Dengan kata lain, upaya Ibn Sina untuk menggambarkan kenikmatan non-inderawı di atas, dengan berpedoman pada penjelasan al-Thusi di dalam “Syarah al-Isyarat wa al-Tanbihat”, dapat diuraikan secara ringkas di bagian berikut.

Baca...  Mengenal Tafsir Maqosid: Menggali Tujuan Ilahi di Balik Wahyu Al-Qur’an

Pertama, orang lebih mengutamakan kenikmatan non-inderawi atas kenikmatan inderawi (premis minor). Kedua, setiap kenikmatan yang lebih diutamakan seseorang atas sesuatu kenikmatan lain, maka sesuatu itu lebih nikmat (premis major). Ketiga, kenikmatan non-inderawi (batin) tersebut lebih tinggi daripada kenikmatan inderawi (konklusi).

Teori Ibn Sina tersebut digunakan untuk kedua jenis hewan: yang berakal (manusia) dan hewan tidak berakal. Dia berpendapat bahwa anjing berburu lebih mengutamakan kepuasan yang dibayangi—penghargaan yang akan diberikan oleh tuannya jika dia patuh tidak memangsa hewan buruannya dan menyerahkannya kepada tuannya—daripada kenikmatan makan untuk memenuhi rasa laparnya.

Demikian juga, binatang menyusui kadang-kadang memberi prioritas kepada anak-anaknya daripada dirinya sendiri. Bahkan, resiko jiwa untuk melindungi dan melindungi anaknya lebih besar daripada risikonya sendiri.

Orang harus disadarkan dan diberitahu oleh Ibn Sina, yang berpendapat, “seandainya kita berada pada suatu kondisi di mana kita tidak makan, tidak mutum, dan tidak menikah, maka pasti kita tidak lagi menemukan kebahagiaan.”

“Wahai orang miskin! Barangkali keadaan yang dialami oleh malaikat atau yang setingkat di atasnya lebih terasa nikmat dan menyenangkan daripada keadaan yang terjadi pada binatang ternak. Bahkan bagaimana mungkin ada hubungan yang bisa diperhitungkan bagi salah satu dari dua perbandingan tersebut terhadap yang lainnya.”

Dalam kasus hewan di atas, kenikmatan batin yang diutamakan bukanlah kenikmatan aqliyat, atau akal. Bagaimana dengan kenikmatan aqliyat yang dirasakan oleh manusia berakal? Tentu saja, kenikmatan aqliyat lebih penting.

Di bagian akhir pasal 1 namath VIII dari kitabnya, dia bertanya, “Jika kenikmatan batin lebih utama daripada kenikmatan lahir, sekalipun kenikmatan tersebut bukan aqliyat, maka bagaimana dengan yang aqliyat?” untuk menegaskan kembali keutamaan kenikmatan non-inderawi yang aqliyat.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Jawaban Terhadap Sangkalan Lawan Debat Al-Ghazali

Oleh karena itu, Ibnu Sina akan menegaskan bahwa kenikmatan batin—khususnya kenikmatan akal—lebih mulia daripada kenikmatan lahir inderawi jika didasarkan pada uraian ini dan contoh di atas. Melalui pembuktian-pembuktian rasional, empiris, dan filosofis, ia berusaha menekan keunggulan kenikmatan lain selain yang tampak dan dirasakan oleh pancaindera manusia.

Kebahagiaan, menurut Ibnu Sina, adalah pencapaian kenikmatan sebagai lawan dari derita. Kenikmatan adalah pemahaman dan penerimaan sesuatu yang dianggap baik dan sempurna oleh orang yang memahaminya.

Menurut namath VIII pasal 3, kebaikan adalah sesuatu yang nisbi dan hanya dapat dipahami dengan kaitannya. Kinsibian ini dikaitkan dengan tiga daya jiwa: syahwat, marah, dan akal, menurut Ibn Sina.

Kebaikan berarti makanan dan pakaian yang pantas jika dikaitkan dengan syahwat; kemenangan jika dikaitkan dengan kemarahan; atau kebenaran atau keindahan jika dikaitkan dengan akal.

Tampaknya penjelasannya tentang kebahagiaan ini lebih mirip dengan istilah kebahagiaan yang digunakan dalam filsafat daripada dalam tasawuf. Pemikiran Aristoteles tentang “kebahagiaan” adalah dasar dari pembahasan Ibn Sina tentang kesempurnaan dan kebahagiaan dalam kitab “Al-Isyarat”, menurut Abu al-Ala al-Afifi.

Kebahagiaan adalah gambaran ketenangan jiwa yang sempurna sebagai hasil dari kebaikan yang diterima, menurut pandangan filsafat, di mana itu juga merupakan lawan dari kegagalan. Aristoteles mengatakan bahwa kebaikan tertinggi (al-khair al-a’la) adalah syarat yang mutlak untuk kebahagiaan.

Karena itu, kebahagiaan digambarkan oleh Ibn Sina sebagai sesuatu yang terjadi pada akal dan bukan pada jiwa. Kebahagiaan terkait dengan jiwa, tetapi tidak dalam arti bahwa jiwa ada sebagai yang berakal dan memahami, tetapi sebagai yang mencintai dan melebur dalam apa yang dicintainya.

Ini berbeda dengan ukuran kebahagiaan dalam versi sufi umumnya. Dalam pengertian tasawuf yang lazim, kebahagiaan dikaitkan dengan penglihatan terhadap keelokan yang memancar di dalam wujud dan muncul dalam lembaran jiwa.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencapai Tingkatan Makrifat (Al-Maqamat)

Dr. Muhammad Athif Al-Iraqy mengkritik Ibn Sina karena dia gagal menjelaskan tentang forma (al-shirat) jiwa dan jasad atau antara kenikmatan batin dan kenikmatan inderawi. Menurut Dr. Muhammad Athif Al-Iraqy, ini karena Ibn Sina lebih tertarik untuk langsung masuk ke pemikiran yang mengunggulkan dan meninggikan satu kenikmatan di atas yang lain.

Dengan melakukan perbandingan yang tidak lengkap, Ibn Sina membuat keduanya terpisah dan tidak mungkin bertemu. Akibatnya, keutuhan, hubungan koperatif, dan hubungan antara kedua elemen di atas menjadi hilang.

Dengan mempertimbangkan perbandingan keutamaan ini, dapat disimpulkan bahwa Ibn Sina mengunggulkan kenikmatan batin yang berupa forma (shiraf) daripada kenikmatan inderawi yang berupa materia (madat).

Ada kemungkinan bahwa apa yang dikatakan Dr. Athif di atas benar. Meskipun demikian, bahasan aksentuatif ini hanya bertujuan untuk menekankan kenikmatan akal dibandingkan dengan kenikmatan inderawi jika dilihat sebagai pengantar untuk diskusi tentang capaian arif dalam alam suci (alam Tuhan, atau alam akal), dan bukannya untuk memberikan penjelasan tentang bentuk dan materi keduanya.

Ini sebagaimana diskusi tentang jiwa didasarkan pada fungsinya di dalam alam akal daripada hubungannya dengan materi. Ibn Sina menggambarkan jiwa sebagai, “Yang menerima wahyu dan pengokohan, kekuatan untuk menampakkan mujizat di dalam alam wujud yang fana.” Wallahu a’lam bisshawab.

74 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Bagaimana Fenomena Flexing Menurut Al-Qur'an?

3 Mins read
Seiring majunya era digital saat ini, fenomena-fenomena sosial juga turut mengalami perkembangan. Fenomena sosial yang dibalut oleh platform digital nampaknya memiliki pengaruh…
Keislaman

Metode Tafsir dan Pergeseran Epistemologi: Dari Tradisionalisme ke Modernisme

3 Mins read
Metode tafsir dalam tradisi Islam mengacu pada upaya untuk memahami al-Qur’an, yang merupakan disiplin ilmu yang telah berkembang selama berabad-abad. Seiring berjalannya…
Keislaman

Pengaruh Pemikiran Filosofis terhadap Perkembangan Metode Tafsir dalam Peradaban Islam

3 Mins read
Tafsir al-Qur’an memainkan peran yang sangat vital dalam dunia intelektual Islam. Sebagai kitab petunjuk utama, al-Qur’an memerlukan penafsiran untuk memahami maknanya, sehingga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Inilah Syarat Diterimanya Qira’at

Verified by MonsterInsights