Sanadnya Mutawatir
Syarat ini sudah menjadi kesepakatan dari jumhur ulama agar suatu qira’at dapat diterima (Sanadi, 2001, p. 51). Qira’at yang tidak tertulis dengan sanad tidak mutawatir tidak disebut dengan Alqur’an dan tidak boleh untuk membacanya. Karena para ‘Ulama menjelaskan bahwa Alqur’an adalah “yang diturunkan dari Allah dengan sanad yang mutawatir”.
An-Nawyir berkata bahwa tidak menjadi syarat mutawatir perkataan yang saling bertentangan pada ijma’ para Fuqoha dan Muhaddits dam selain mereka, karena Alqur’an menurut jumhur ‘Ulama dari Imam Madzhab yang empat adalah sesuatu yang dinukil antara mushaf secara nukil yang mutawatir (Thowil, 1985, pp. 48–49).
Alqur’an merupakan Kalamullah yang menjadi sumber utama umat Islam. Oleh karena itu, bacaannya pun harus benar-benar betul dan menyakinkan. Jika ada satu bacaan yang tidak masyhur seperti ahad dan syadz, maka bacaan tersebut tidak dapat diterima (KEMENAG, 2009, p. 318).
Ibn Abi Tholib dan Ibnu al-Juzri dan dari yang bersama mereka berpendapat bahwa sesungguhnya tidak mensyaratkan untuk menetapkan qira’ah yang mutawatir hanya cukup dengan sanad shahih dan qira’ah mashyur serta bertemu para Imam bersama penerimaan dengan sekira kemampuan cukup dari syarat mutawatir (Qabah, 1999, p. 161).
Qira’ah sesuai dengan dialek ‘Arab
Bahwasanya sepakat dialeknya yang terkenal dan yang meyakinkan terhadap dialeknya (Thowil, 1985, p. 51). Harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, karena Alqur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini tercantum dalam QS. Yusuf/12: 2,
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
Apabila sudah sesuai dengan dialek Arab, maka bacaan tersebut wajib diterima sebagai bacaan shahih, baik berasal dari Imam tujuh, sepuluh, atau lainnya (KEMENAG, 2009, p. 318). Imam Abu ‘Umara dan ad-Dani berkata (Sanadi, 2001, p. 55):
“ Para Imam Qurra’ tidak sengaja dalam sesuatu dari huruf-huruf Alqur’an atas hal yang tersebar dalam bahasa dan membandingkan dengan dialek Arab, tetapi atas kesepakatan dalam atsar/riwayat dan paling shahih dalam penukilan dan riwayat”.
Kecocokan bacaan dialek pun harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah nahwu yang telah dirumuskan oleh para ‘Ulama. Akan tetapi, apabila sanadnya sudah shahih maka perbedaan antara ulama nahwu tidak perlu dijadikan permasalahan karena sudah shahih sanadnya (Isma’il, 2001, p. 59).
Sesuai dengan Khat/Rasm Mushaf yang disepakati (Utsmani)
Syarat ini menginginkan berkumpulnya para Qurra, karena mereka meriwayatkan agar mushaf-mushaf Utsmani selesai dengan ijma’ sahabat yang menentukan mushafnya. Mereka juga mengambil qira’ah yang berbeda-beda tetapi harus yang sudah menjadi ijma’ sahabat (Thowil, 1985, p. 53). Apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani, maka dianggap bacaan yang tidak masyhur dan juga ditolak walaupun ada di dalam kitab-kitab hadits yang shahih, karena para Sahabat sudah sepakat dengan Rasm Utsmani (KEMENAG, 2009, p. 318).
Fuqoha, qurra’, dan ‘Ulama mutakallimin menyatakan bahwa semua huruf itu ada pada mushaf Utsmaniyyah. Alasannya adalah sebagai berikut (Shabuni, 2001, p. 351):
- Sesungguhnya para sahabat telah sepakat bahwa mushaf yang dinukil Utsman adalah dari huruf yang dituliskan dari beberapa huruf itu.
- Nabi Muhammad SAW Bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak mampu akan demikian”, tidaklah dimaksudkan hanya pada sahabat saja, sedangkan kemudahan Alqur’an itu bersamaan dengan tetapnya kemukjizatannya. Jadi selain sahabat pun tidak akan mampu untuk mengucaokan Alqur’an dengan benar (qira’at yang sesuai).
Ibnu Jarir ath-Thabrani dan pengikutnya berpendapat bahwa mushaf-mushaf Utsmaniyyah hanya memuat satu huruf saja dari ahruf as-sab’ah. Mereka mengatakan “Sesungguhnya ahruf as-sab’ah itu pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan ‘Umar. Akan tetapi ketika masa Utsman para Imam berpendapat agar mencukupkan pada satu huruf saja untuk menyatukan Kalimatul Muslimin”. Az-Zarqani mengatakan juga bahwa pada mushaf-mushaf Utsmaniyyah dan apa yang telah tertulis, ditemukan kebenaran yang menyatakan bahwa semua huruf terdapat pada mushaf Utsmaniyyah (Shabuni, 2001, p. 352).
Berikut contoh dalam mushaf Utmasni, tetapi ada sebagian ayat yang memuat ahruf as-sab’ah telah mengalami naskh.
والذين هم لِأَمَانَاتِهِم وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Pada ayat di atas lafal al-amanati (الأمانة) dibaca dalam bentuk jamak atau dibaca mufrad, akan tetapi dalam mushaf Utsmaniyyah lafal itu ditulis لِأَمَانَاتِهِم, yang hurufnya ditulis mufrad, namun diatasnya terdapat alif kecil untuk mengisyaratkan bacaan jama’ dengan tanpa diberi harakat (Shabuni, 2001, pp. 352–353).
Dari keterangan syarat-syarat di atas perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan kevaliditasan riwayat qira’ah. Karena walaupun sejatinya qira’ah dimaknai dialek yang orang-orang ajam/non-Arab bisa saja membaca sesuai dialeknya. Namun, syarat ini menjadi patokan dasar agar bacaan kita tidak terlalu mejauh dari jalur yang telah dicontohkan Nabi Muhammad beserta para Sahabatnya.
Referensi
Isma’il, S. M. (2001). Al-Mudkhol ila ‘Ilm. Maktabah as-Salimi.
KEMENAG. (2009). Mukaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Depag RI.
Qabah, ‘Abdul Halim bin Muhammad al-Hadi. (1999). Qira’at al-Qur’aniyyah. Dar al-Gharb al-Islami.
As-Sanadi, ‘Abdul Qayyum bin ‘Abd al-Ghofur. (2001). Shafhat fi ‘Ulumil Qira’at. Maktabah al-Imdadiyyah.
Ash-Shabuni, S. M. A. (2001). Ikhtisar ‘Ulumul Qur’an Praktis. Pustaka Amani.
Ath-Thowil, A.-S. R. (1985). Fi ‘Ulumi al-Qira’at Mudkhol wa Dirosah wa Tahqiqi. Maktabah al-Fashilah.