Gerakan intelektual tidaklah lengkap tanpa adanya perbuatan atau aksi. Aksi adalah prasyaratan utama dalam meraih kemerdekaan yang hakiki, selain itu harus di balut juga dengan gagasan-gagasan progresif dan mencerahkan.
Sebagai entitas yang berlabel intelektual, IMM tidak hanya berhenti pada narasi-narasi dialog gagasan saja, melainkan mengusahakan dan mengupayakan perwujudan dari narasi tersebut.
Dalam merespons realitas bumi, Kader IMM memiliki bekal teologis yang bersumber dari al-quran dan as-sunnah serta fondasi teoritis (logis, kritis dan metodis) yang sejalan dengan perkembangan zaman.
Hal tersebut tidak hanya menjadi ikon menara gading saja tetapi sebagai produk intelektualnya untuk memperbaiki peradaban. Dengan kata lain IMM bukan mengurung diri dalam narasi-narasi yang berbentuk normatif, melainkan mendakwahkan dirinya lewat aksi nyata berupa gerakan sosial kemasrakatan, gerakan edukasi, dan lainnya. Itulah bentuk nyata dari dialektikan perpaduan batok kepala yang plural dari kader IMM.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang lahir pada tahun 1964 selalu menarik untuk ditilik kembali historisitasnya. Mengapa IMM menarik untuk di bicarakan? Karena IMM adalah anak Intelektualnya Muhammadiyah, kira-kira begitu konklusinya!.
Bagi IMM, dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sudah menjadi kewajibannya untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan. Nilai-nilai tersebut sebagaimana yang disematkan dalam Trilogi dan Trikompentensi Ikatan yang menjadi keharusan kader untuk mengaktualisasikannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian esensi dan eksistentensi IMM menjadi bagian integral dari inti masyarakat.
Tradisi Intelektual
Di dalam ikatan, tradisi membaca merupakan salah satu icon dan ciri khas tersendiri yang ada dalam ikatan. Hal ini ini selaras dengan Isi Tri Kompentesi dasar ikatan yaitu “Intelektual”. Tradisi intelektual merupakan akar dari suatu gerakan.
Hal ini dalam artian sebagai investasi untuk memperkuat dan membangun gerakan ikatan yang lebih progresif. Jika tradisi ini luntur, maka hanguslah narasi-narasi yang diperjuangkan tersebut. Hal ini akan berimplikasi terjadinya degradasi dan pembunuhan intelektual, demikian kakanda bersabda!
Meminjam narasinya Kuntowijoyo, Intelektual adalah orang yang hidup dalam masyarakat, agar masyarakat bisa menghadapi problematika dan merumuskan sendiri solusinya. Dengan demikian, seorang intelektual harus memiliki cakrawala keilmuan dan knowledge yang mumpuni, berpikir yang logis, berpikir ilmiah, serta memiliki keikhlasan untuk bermasyarakat, guna menjawab dan memecahkan fenomena realitas.
Realitas Ikatan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan organisasi kader dan perkaderan. IMM Sebagai label aktivis muda muhammadiyah memiliki kecenderungan yang sama dengan Angkatan Muda Muhammadiyah yang tengah terjangkit kebudayaan instant, pragmatis, serta arus globalisasi meleburkan nilai ikatan.
Tetapi yang paling menyedihkan bagi ikatan adalah ada beberapa oknum yang mencoba menggadaikan nama ikatan guna mendukung kelompok tertentu dan memberikan keuntungan sementara.
Sehingga dalam hal ini, aspirasi kader pada tingkatan bawah pun diabaikan dan tidak digubris. Kerangka berpikir ikatan pun menjadi pragmatis, tergesa-gesa, dan melakukan perubahan secara radikal, melaksanakan kebijakan dan hanyut dalam sistem.
Asumsi diatas juga sama seperti realitas yang terjadi dalam ikatan, keinginan besar untuk melakukan perubahan secara cepat tetapi analisis dan paradigma belum tergagas tuntas. Paradigma pergerakan yang belum tergagas tuntas ini menjadikan kader ikatan terseret kedalam sistem dan mengikuti arus tanpa mencirikan kondisi ikatan sebagai power yang mampu mempengaruhi sistem dan kebijakan.
Kondisi realitas ini, merupakan fenomena yang tengah menggurita saat-saat ini, dan tak dapat dinafikan juga dengan fenomena tersebut berimplikasi terjangkit pula pada semua komponen bangsa. Dengan diksi lain, ikatan sudah mengalami disorientasi dalam mewujudkan kondisi yang diidealkan.
Dalam hal ini, Ikatan sebagai organisasi pergerakan perlu merumuskan dan merekonstruksikan kembali paradigma dan alur gerakannya agar dapat menjawab segalah persoalan yang dihadapi sebagai wujud eksistensi ikatan. Rekonstruksi paradigma ikatan ini merupakan refleksi yang panjang agar arus gerakan kembali ke khittah dasarnya.