Diriwayatkan dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 193:
قال إبراهيم النخعي: كانوا يقولون: إذا قال الرجل للرجل
يا حمار، يا كلب، يا خنزير، قال الله له يوم القيامة: أتراني خلقتُه كلبًا، أو حمارًا، أو خنزيرًا؟
Artinya: “Imam Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dulu, para ulama mengatakan bahwa jika seseorang berkata kepada orang lain, “Wahai keledai”, Wahai anjing”, atau “Wahai babi!”, maka pada hari kiamat Allah akan berkata kepadanya. Apakah engkau melihat Aku menciptakannya sebagai seekor anjing, keledai, atau babi?”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang saling memanggil dengan sebutan kasar. Ada yang menganggapnya sebagai candaan, ada pula yang menggunakannya untuk merendahkan orang lain. Namun, tahukah kita bahwa dalam Islam, lisan yang tak terjaga bisa menjadi sebab kesulitan di akhirat?
Islam sangat menekankan adab dalam berbicara. Rasulullah Saw. pernah bersabda yang artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).
Lisan adalah pedang bermata dua: bisa menjadi sumber kebaikan, tetapi juga bisa menjadi penyebab penyesalan abadi. Ucapan buruk tidak hanya mencerminkan akhlak seseorang, tetapi juga dapat melukai hati orang lain, merusak hubungan, bahkan menjadi dosa yang berat di hadapan Allah Swt.
Lebih dari sekadar etika sosial, menjaga lisan adalah bagian dari iman. Dalam dunia yang semakin gaduh dengan hinaan dan caci maki, kita memiliki pilihan: apakah ingin menjadi bagian dari mereka yang menjaga kehormatan lisan, atau justru termasuk mereka yang kelak harus menjawab pertanyaan berat dari Allah?
Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan menyelamatkanku di akhirat? Jika tidak, maka diam adalah pilihan terbaik. Wallahu a’lam bisshawab.