Berbagi hak kepemilikan seseorang dengan orang lain adalah salah satu contoh nyata kepedulian terhadap orang lain. Karena hanya Allah SWT yang memiliki kepemilikan mutlak, kepemilikan itu relatif.
Pada dasarnya, manusia diberi amanat untuk memanfaatkan apa yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dianjurkan untuk tidak lupa berderma. Orang-orang dengan keadaan jiwa yang suka berderma biasanya memiliki rasa empati yang tinggi dan mudah merasa iba terhadap orang lain.
Keyakinan (iman) yang matang tercermin dalam bagaimana seseorang memperhatikan orang lain. Namun, ketika berbicara tentang pemberian, itu tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materil; itu mencakup semua perbuatan yang bersifat fisik atau non-fisik. Karena itu, sangat penting untuk menjadi dermawan di dunia ini, karena orang yang suka berderma pada dasarnya menanamkan kebaikan untuk kehidupan yang akan datang.
Sekurang-kurangnya, dalam hubungan sosial, dengan adanya orang yang dermawan, hal ini diharapkan dapat menjadi suatu proses bagi terhapusnya kemiskinan, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Riwayat keutamaan sifat dermawan
Diriwayatkan oleh sahabat Al-Hilali, “Didatangkan kepada Nabi tawanan perang dari kabilah Bani Ambar, lalu Nabi memerintahkan untuk membunuh mereka, namun Nabi menyisakan seorang laki-laki dari mereka.” Kemudian sahabat Ali ra. berkata, “Wahai Rasulullah! Tuhan itu satu, agama satu, dosa satu, lalu apa keistimewaan orang ini sehingga engkau sisakan?”
Nabi menjawab, “Jibril turun kepadaku dan berkata, bunuhlah para tawanan itu dan tinggalkanlah satu orang, karena Allah SWT ingin berterimakasih kepadanya oleh karena memiliki sifat dermawan.” Nabi bersabda lagi, “Sesungguhnya bagi setiap sesuatu pasti ada buahnya, dan buahnya sesuatu yang baik adalah menyegerakan untuk melepas tawanan perang.”
Tentu saja, kata Gus Ulil, membunuh atau melepaskan tawanan pada saat itu sudah menjadi kebiasaan. Karena itu, jangan diukur dengan standar zaman sekarang. Misalnya, Anda mengatakan “Oh berarti Nabi itu sangat kejam.” Tentu tidak.
Anda tahu! Zaman dulu ada satu norma di mana ketika musuh dalam perang berhasil ditahan, maka pihak yang menahan mempunyai pilihan, apakah mereka dipertahankan, dibunuh, atau dilepas dengan syarat-syarat tertentu. Namun, saat itu Nabi memilih menyuruh membunuh karena mereka termasuk orang berbahaya dan menyisakan satu orang.
Dari sahabat Nafi’, dari sahabat Abdullah bin Umar ra., Rasulullah SAW bersabda, “Makanannya orang yang dermawan adalah obat. Sementara makanannya orang yang pelit adalah penyakit.”
Dikatakan menjadi obat, karena ketika Anda mempunyai makanan terus membagikan kepada tetangganya, maka tetangga akan mendoakannya sehingga makanan bisa menjadi obat bagi dirinya (si pemberi) dan orang lain. Pendek kata, sama-sama mendoakan. Sementara orang yang pelit dan kikir makanannya penuh dengan penyakit.
Nabi bersabda, “Barang siapa yang mendapatkan nikmat besar Tuhan, maka ongkosnya (beban) juga demikian besar dan banyak. Dan siapa yang tidak tahan akan ongkos itu, maka Tuhan akan menghilangkan nikmat itu.”
Artinya, kata Gus Ulil, ketika seseorang mempunyai harta lebih (kaya-raya), maka tanggungjawab sosialnya banyak (al-ma’unah al-nas), termasuk dalam hal ini zakatnya juga banyak. Karena berikanlah kepada yang membutuhkan, fakir miskin. Jika Anda tak memberikan, maka Tuhan akan mencabut rezekinya.
Berkata Nabi Isa AS, “Perbanyaklah kalian menumpuk sesuatu yang tidak akan dimakan oleh api neraka.” Ditanyakan kepada Nabi Isa AS, “Apakah itu yang tidak dimakan api neraka?” Nabi Isa AS menjawab, “Sesuatu itu adalah sesuatu yang baik.” Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesunggunya surga adalah rumahnya orang-orang yang demawan.”
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya orang yang dermawan dekat kepada Tuhan, manusia dan surga. Sebaliknya, orang yang pelit jauh dari Tuhan, manusia dan surga. Ia hanya dekat kepada api neraka.”
Bahwa orang bodoh yang dermawan itu lebih dicintai daripada orang ahli ibadah yang pelit dan kikir. Dan penyakit yang paling parah penyakitnya adalah sifat pelit dan kikir. Ini menunjukkan betapa mulianya sifat dermawan.
Nabi bersabda, “Berbuatlah kebaikan kepada orang yang berhak dibaiki (mendapatkan kebaikan), dan berbuat kebaikan juga kepada orang yang tidak berhak menerima kebaikan. Jika Anda berbuat baik kepada orang yang memang pantas mendapatkan diperlakukan baik, maka Anda sudah tepat sasaran. Namun, jika Anda salah sasaran, maka Anda termasuk orang yang baik.”
Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadi penggantiku diantara umatku, mereka tidak masuk ke dalam surga karena salat dan puasa (sunnah), melainkan mereka masuk ke surga karena kedermawanannya dan keselamatannya dari penyakit hati. Selain itu karena selalu memberi nasehat kebaikan kepada orang Islam.”
Dalam hal ini, kata Gus Ulil, betapa pentingnya keshalehan sosial. Memang keshalehan individual bagus, akan tetapi yang lebih besar manfaatnya adalah keshalehan sosial. Bahwa orang menjadi wali bukan karena banyaknya salat sunnah, melainkan karena faktor tindakan yang bermanfaat bagi orang lain.
Abu Said Al-Khudri berkata, Nabi bersabda, “Tuhan menjadikan kebaikan sebagai jalan dari para makhluknya yang melakukan kebaikan. Tuhan membuat senang makhluknya untuk melakukan kebaikan. Tuhan akan mengarahkan jalan kebaikan kepada makhluknya. Tuhan akan mempermudah makhluknya kepada jalan kebaikan seperti Tuhan mempermudah turunnya hujan pada saat musim kemarau di suatu negara, dan Tuhan akan menghidupkan penduduk negara itu.”
Kata Gus Ulil, jika Anda selalu menempuh jalan kebaikan, maka Anda akan menjadi magnet orang lain untuk melakukan kebaikan. Anda ibarat hujan yang dikirim Tuhan dari langit untuk menyirami bumi saat kemarau dan memakmurkan suatu negara. Anda bisa membanyangkan misalnya terjadi kemarau panjang, tiba-tiba hujan datang, maka semuanya akan menjadi hidup.
Nabi bersabda, “Setiap kebaikan adalah sedekah. Dan setiap sesuatu di mana seseorang selalu menafkahi dirinya dan keluarganya, maka sesuatu itu akan dicatat sebagai sedekah. Dan seseorang yang menjaga sesuatu itu dengan kehormatannya (mempunyai harta cukup dan hidup terhormat), maka itu adalah sedekah. Dan sesuatu (nafkah lebih) yang di infaqkan kepada seseorang, maka Tuhan menggantinya.”
Nabi bersabda, “Setiap kebaikan adalah sedekah. Dan orang yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia seperti orang yang melakukan kebaikan. Dan Tuhan mencintai dan akan menolong orang-orang dermawan yang hampir tenggelam.”
Nabi bersabda, “Setiap kebaikan yang engkau; baik itu kepada orang yang kaya-raya dan fakir miskin (butuh kebaikan), maka hal ini dihitung sedekah.” Jadi, baik kepada orang yang butuh dan tidak, maka itu termasuk sedekah.
Karena itu, kata Gus Ulil, jangan beranggapan “Ngapain saya membantu dan baik kepada orang kaya, wong itu sudah mampu.” Jangan. Karena Anda berbuat baik dengan cara membantu kepada orang kaya, maka itu dianggap sedekah.
Dikisahkan, bahwa Tuhan memberikan wahyu kepada Musa AS, “Jangan engkau membunuh kepada orang samiri (Musa samiri), karena sesungguhnya orang-orang samiri adalah orang yang dermawan.”
Berkata sahabat Jabir, Rasulullah SAW pernah mengutus satu utusan yang dikomando oleh Sa’ad ibn Ubadah. Mereka utusan akhirnya berjihad dan bekerja keras untuk memerangi musuh, dan Qais menyembelih sembilan unta untuk makan anak buahnya. Lalu mereka bercerita kepada Nabi perihal kejadian itu. Kemudian Nabi menjawab, “Sesungguhnya kedermawanan adalah termasuk sifat penduduk dari kabilah Qais ibn Sa’ad ibn Ubadah.”
Kata Al-Ghazali, ketika dunia datang kepadamu maka segerakanlah infaqkan, karena itu (harta yang engkau infaqkan) tidak akan rusak. Namun, ketika dunia pergi dari kamu, maka infaqkanlah, karena dunia itu tidak akan kekal.
Artinya, kata Gus Ulil, baik kamu dalam keadaan kaya atau miskin, tetaplah sedekahkan dunia. Karena pada hakikatnya dunia akan pergi dari kamu, maka berikanlah kepada mereka yang sedang membutuhkan. Sebuah syair berbahar basit menyatakan:
وأنشد
لا تبخلن بدنيا وهي مقبلة * فليس ينقصها التبذير والسرف
وإن تولت فأحرى أن تجود بها * فالحمد منها إذا ما أدبرت خلف
Artinya: “Jangan kikir dan pelit terhadap dunia yang engkau miliki, sementara dunia sedang datang kepadamu, karena dunia tidak akan menjadi kurang sebab kamu berfoya-foya memberi sedekah yang banyak.” “Jika dunia pergi, maka betapa layaknya untuk bersedekah (bermurah hati padanya), alhamdulillah jika dia berpaling dari penggantinya.” Wallahu a’lam bisshawab.