Suatu waktu Imam Al-Hasan Al-Bashri salah satu tokoh sufi awal abad ke-2 Hijriyah berkomentar perihal kedermawanan, bahwa puncak dari sifat kedermawan adalah berusaha sekeras mungkin memberikan sesuatu yang ada di tangan kamu.
Artinya, kata Gus Ulil, bukan hanya sekadar memberi biasa-biasa saja, melainkan memberi dengan serius barang-barang yang berharga dan terbaik; memberinya disertai dengan usaha keras. Dengan kata lain, jika Anda memberikan sesuatu yang harganya remeh-temeh, maka itu bukan termasuk dalam kategori dermawan (al-sakha).
Ditanyakan kepada sebagian orang yang bijaksana, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Orang bijak menjawab, “Adalah orang yang banyak memberikan sesuatu kepadaku.” Ditanyakan lagi, “Lalu bagaimana jika tidak ada orang yang seperti itu?” Orang bijak menjawab, “Adalah orang yang paling banyak aku beri sesuatu.”
Abdul Azil bin Marwan salah seorang keluarga bangsawan kerajaan Abbasiyah berkata, “Ketika ada orang yang meminta kepadaku (menerima kebaikanku), membuka dirinya untuk menjadi tempat pemberianku, maka tangannya bagiku seperti tanganku baginya.”
Artinya, dia akan memberikan apapun yang ia minta kepadanya. Dengan kata lain, jika ada orang yang meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Tangannya menjolor kepadaku untuk meminta, dan tanganku menjolor kepadanya untuk memberi.
Al-Mahdi seorang khalifah di Daulah Abbasiyah berkata kepada Syabib bin Syabah, “Bagaimana engkau melihat orang-orang yang datang ke istanaku?” Syabib berkata, “Wahai Raja! Sesungguhnya mereka yang masuk/sowan ke dalam istana itu sangat bergembira karena mengharapkan pemberian-pemberianmu, dan ketika mereka pulang akan bertambah senang karena sudah mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.”
Tiba-tiba ada seseorang yang bersyair di depan Abdullah bin Ja’far Al-Mansur, salah satu keluarga dari Daulah Abbasiyah. Ia bersyair dengan tembang/bahar kamil, katanya:
وتمثل متمثل عند عبد الله بن جعفر فقال
إن الصنيعة لا تكون صنيعة # حتى يصاب بها طريق المصنع
فإذا اصطنعت صنيعة فاعمد بها # لله أو لذوي القرابة أو دع
Artinya: “Sesungguhnya pekerjaan (memberi) yang baik tidak akan pernah disebut pekerjaan baik jika tidak ada jalan menuju kepada pekerjaan baik itu (tidak tepat sasaran).” “Karena itu, jika kamu berbuat atau melakukan suatu pekerjaan (memberi), maka niatkanlah pekerjaan itu karena Allah Swt. dan karena kerabatnya, atau kamu meninggalkan pekerjaan itu.”
Namun demikian, Abdullah bin Ja’far memberikan komentar kepada syair di atas, “Sesungguhnya dua bait ini sangat pelit kepada orang-orang.” Artinya, kata Abdullah bin Ja’far, jika memberi hanya dibatasi kepada kerabatnya sendiri, maka itu tidak termasuk kategori memberi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bukan kerabatnya? Karena itu, bait ini sebenarnya adalah bait kepelitan (kikir) bukan kedermawanan.
Dengan demikian, lanjut Abdullah bin Ja’far, jika kamu ingin memberi, maka kucurkanlah kebaikan-kebaikan (pemberian) sederas hujan. Berilah sebanyak-banyaknya, jangan pilih kasih. Sebab, jika kebaikan pemberianmu mengenai dan tepat kepada orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka bersyukurlah kamu.
Namun sebaliknya, jika kebaikanmu mengenai kepada orang-orang jahat atau yang tidak berhak menerimanya, maka setidaknya kamu sudah berbuat kebaikan. Inilah dermawan yang sesungguhnya; tidak pilih kasih.
Kisah-kisah orang dermawan
Dikisahkan dari Muhammad bin Al-Munkadr (seorang tabiin), dari Ummi Durrah (khadim Siti Aisyah) berkata, suatu waktu Ibnu Zubair pernah mengirim uang sebanyak dua karung yaitu 180.000 dirham kepada Siti Aisyah sebagai penghormatannya kepada istrinya Nabi. Namun, begitu uangnya diterima, Siti Aisyah langsung membagi-bagikannya.
Menjelang sore hari, tiba-tiba Siti Aisyah merasa lapar dan memanggil khadimnya, “Aku mau makan malam.” Alih-alih memberikan suguhan seperti biasanya, kali ini sang pelayan, Ummi Durrah, hanya membawa roti semata.
Ummu Durrah dengan sedikit cemas bertanya kepada Siti Aisyah, “Kenapa tidak menyisakan satu dirham saja untuk membeli daging buat malam?” Kata Siti Aisyah, “Salah kamu tidak mengingatkanku kalau didapur sudah tidak ada makanan. Seandainya kamu mengingatkan, ya pasti aku sisakan satu dirham untuk kebutuhan.” Ini membuktikan bahwa betapa Siti Aisyah tidak pedulinya kepada harta.
Dikisahkan dari Aban bin Utsman, ia berkata, waktu itu ada orang yang hendak menyakiti Abdullah bin Abbas. Tiba-tiba orang itu datang menuju tokoh-tokoh qabilah Quraisy dan berkata, “Hai semuanya! Abdullah bin Abbas malam ingin pesta-pora. Kalian diundang dan datanglah kerumahnya.”
Tanpa pikir panjang, mereka semuanya mendatangi rumah Abdullah bin Abbas. Kata Abdullah, “Ada apa ini?” Rombongan qabilah Quraisy itu menjawab, “Katanya sampean mengundang kami untuk makan malam.”
Sebenarnya, waktu itu Abdullah sudah tahu kalau ada orang yang sedang usil (ngerjain). Tak berkecil hati, spontan Abdullah langsung memerintahkan pelayannya membeli buah-buahan sebanyak-banyaknya untuk dimasak sebagai suguhan kepada mereka.
Sebelum mereka pulang, Abdullah bertanya, “Diantara kalian, apakah ada yang bersedia membantu saya ketika pergi ke pasar untuk membeli?” Mereka menjawab, “Ya pasti ada yang datang.” Kata Abdullah, “Kalau begitu undang aja mereka untuk makan setiap hari berpesta-pesta di sini.”
Ini dermawan yang sesungguhnya, kata Gus Ulil. Artinya, memberinya Abdullah tidak tanggung dan sedikit, justru memuaskan. Ia juga tidak pilih kasih untuk memberi kepada siapapun.
Dikisahkan dari Mus’ab bin Zubair. Ia berkata, setelah Muawiyah selesai ibadah haji, ia pulang kerumahnya dengan melewati kota Madinah. Namun, tiba-tiba Husain bin Ali melihat dan berniat untuk menghampirinya, akan tetapi saudaranya Hasan bin Ali melarangnya, “Jangan sampai engkau menemui Muawiyah, apalagi salaman kepadanya.”
Ketika Muawiyah keluar dari kota Madinah, Hasan kemudian berkata kepada Husain, “Sesungguhnya aku punya hutang yang banyak, karena itu aku harus datang kepada Muawiyah untuk meminta bantuan.”
Akhirnya, Hasan kemudian mengejar Muawiyah dan berhasil menyusulnya. Setelah bertemu, Hasan memberi salam kepada Muawiyah serta memberi kabar akan hutang-hutangnya yang banyak.
Sontak rombongan Muawiyah melewatinya dengan unta-unta yang membawa emas 80.000 dinar. Kata Muawiyah, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini harta jenengan untuk bekal perjalanan.” Muawiyah berkata lagi, “Berikan semuanya 80.000 dinar itu kepada Hasan.”
Muawiyah memang satu sisi termasuk tokoh kontroversial dalam sejarah politik Islam. Akan tetapi, ia juga dikenal dengan raja yang dermawan, termasuk dermawan kepada lawan-lawan politiknya. Wallahu a’lam bisshawab.