Fomo-flexing, ini kata Alqur’an. Hati-hati! Di era 5.0 saat ini teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga dapat mendominasi kehidupan manusia. Hampir 99% manusia menggunakan media sosial dalam berkomunikasi, mengisi waktu luang, bekerja, dan lain sebagainya.
Perkembangan teknologi memberi dampak positif jika manusia memanfaatkannya dengan baik, contohnya pada saat maraknya Covid 19 di Indonesia yang mengharuskan masyarakat untuk tetap berada dirumah, teknologi sangat membantu dan mempermudah; pelajar dapat belajar melalui daring (dalam jaringan) dan Work From Home/WFH (bekerja dari rumah) bagi pekerja.
Pengaruh positif dari perkembangan teknologi juga dapat dilihat dari berbagai peluang dalam berbisnis dan transaksi, jual beli dapat dilakukan secara online, bepergian menggunakan layanan driver online, transfer uang melalui mobile banking tanpa harus ke bank terlebih dahulu. Teknologi juga mempermudah kita dalam menuntut ilmu, berdakwah, dan masih banyak lagi.
Namun, apa jadinya jika tidak bijak dalam menggunakan teknologi atau media sosial? Dibalik tingginya angka generasi Z dan Alpha yang menggunakan media sosial, tak jarang menimbulkan berbagai masalah. Salah satu dampak negatifnya adalah kecanduan media sosial hingga lupa dengan kewajiban lainnya.
Seperti yang kita tahu, media sosial memunculkan berbagai macam tren atau gaya terkini, pengguna media sosial yang kurang bijak biasanya terserang kekhawatiran berlebih dan rasa tidak percaya diri ketika tak mampu mengikuti tren tersebut, gejala seperti itu diistilahkan dengan “Fear of Missing Out” (FoMO).
Tidak berhenti disitu, pengguna yang berhasil mengikuti tren tak sedikit yang flexing. So, let’s talk about FoMO – flexing and how the Al-Qur’an responds to it.
Pada dasarnya, gaya hidup menggambarkan hampir keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya, seorang yang berkiblat pada tren media sosial menginginkan gaya hidup yang sama dengan tren tersebut, berlebih-lebihan bahkan memaksa walau tidak sanggup mencapai titik itu.
Seperti contoh, tak sedikit orang flexing apa yang ia miliki dalam akun media sosialnya, viral (ditonton banyak orang) dan menjadi tren. Peristiwa semacam itu, seringkali memberi dampak negatif apalagi bagi seorang yang menderita gelaja FoMO, ketika seorang penderita FoMO dapat mengikutinya, kemungkinan akan flexing juga bahwa ia mampu berada di tren itu. Oleh sebab itu FoMO dan flexing berkaitan satu sama lain.
Sebagai umat Islam, tentu kita tahu bahwa Alqur’an merupakan pedoman hidup dan berlaku sepanjang masa. Jadi, ada lho ayat Alqur’an yang secara tidak langsung berkaitan dengan fenomena FoMO maupun flexing.
Pertama, FoMO atau kekhawatiran berlebih tidak bisa seperti orang lain sudah ditanggapi Alqur’an, salah satunya melalui surah an-Nisa’ ayat 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ… (٣٢)
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagianmu lebih banyak dari sebagian yang lain…” (QS. An-Nisa’ : 32)
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud ayat tersebut ialah tidak diperbolehkannya iri dalam perkara dunia. Ibnu Abi Rabah berkata:
“Ayat ini turun berkenaan dengan larangan iri hati terhadap apa yang dimiliki seseorang, dan juga iri hati wanita untuk menjadi laki-laki, lalu mereka akan berperang.” (HR. Ibnu Jarir)
Dalam suatu hadis dijelaskan, “tidak boleh iri hati, kecuali dalam dua hal; (diantaranya) terhadap seseorang yang diberikan harta oleh Allah, lalu dihabiskan penggunaannya dalam kebenaran, lalu seseorang berkata: Seandainya aku memiliki harta seperti si fulan, niscaya aku akan beramal sepertinya. Maka pahala keduanya adalah sama.”
Dijelaskan pula dalam surah al-Hijr ayat 88 :
(٨٨) لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al Hijr : 88)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud adalah cukuplah (puaslah) dengan Alqur’an yang agung yang diberikan Allah kepadamu itu, tanpa menoleh kepada kesenangan dan kenikmatan dunia yang fana yang ada pada mereka.
Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, “Allah melarang orang mengharapkan apa yang dimiliki oleh kawannya.”
Kedua, flexing atau perilaku pamer, makna paling dekat dari sudut pandang Islam adalah riya’ juga sudah diterangkan secara jelas di Alqur’an, salah satunya dalam surah Al-Ma’un ayat ayat 6 :
(٦)… ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ
Artinya: “Orang-orang yang berbuat riya’.” (QS. Al Ma’un : 6)
dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat satu lembah, di mana Jahannam itu selalu berlindung dari lembah tersebut setiap hari sampai empat ratus kali. Lembah tersebut disediakan untuk orang-orang yang riya’ dari ummat Muhammad…”
Dijelaskan pula dalam surah Luqman ayat 18 :
(١٨) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karna sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman : 18)
Ibnu Katsir menafsirkan, (وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا) yaitu sombong, takabbur, otoriter dan (menjadi) pembangkang. Jangan lakukan itu, jika melakukannya, Allah akan murka.
Ayat Alqur’an diatas memang tidak memakai diksi FoMO ataupun flexing, akan tetapi makna yang terkandung masih berkaitan. Adapun, penulis hanya memaparkan sebagian kecil dari berbagai respons Alqur’an terhadap FoMO-flexing, yang diharapkan bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara.
Tidak perlu berlebih dalam mengejar dunia, hingga memaksakan diri untuk menjadi seperti orang lain, pentingnya merasa cukup dan bersyukur atas apa yang sudah Allah SWT berikan.
Jika berlebih, kita perlu ingat bahwa semua hanya titipan dari Allah SWT dan kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Semoga kita selalu dalam Rahmat dan Perlindungan Allah Swt, Wallahu A’lam Bishawab.