Keislaman

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Menjauhi Dunia dan Memperoleh Qana’ah

4 Mins read

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: menjauhi dunia dan memperoleh qana’ah. Tak bisa dipungkiri bahwa pada kehidupan modern saat ini manusia sangat sarat dengan gaya hidup mewah, sehingga tidak sedikit seseorang yang bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan jasmani dan hasrat kekayaan duniawi saja, hingga mengabaikan akan kebutuhan batinnya.

Keadaan inilah, kata Gus Ulil, yang menimbulkan berbagai masalah, mulai dari krisis sosial, krisis struktural, hingga krisis spiritual, yang mana semua hal tersebut berujung pada persoalan makna hidup.

Manusia pun makin terbawa oleh arus deras desakralisasi dan dehumanisasi, sehingga semuanya diukur atas dasar materi. Hal ini membuat seseorang tidak pernah cukup dengan harta yang didapat dan sangat sulit bersyukur atas rezeki yang telah diperoleh.

Dengan demikian, lanjut Gus Ulil, salah satu solusi akan kebutuhan harta yang manusia tidak pernah merasa cukup akan hal ini bisa diatasi dengan qana’ah. Ini merupakan salah satu sifat mulia yang terdapat pada ajaran Islam, yakni khususnya pada bidang tasawuf.

Syahdan. Qana’ah adalah sikap menerima atas pemberian Allah SWT kepada hambanya. Seseorang yang memiliki sifat dalam dirinya berupa qana’ah bukan berarti tidak mau berusaha dan hanya berpangku tangan, tetapi tetap melakukan usaha yang maksimal dalam mendapatkan rezeki kemudian menerima cukup dari hasil yang telah diperoleh.

Itu sebabnya, seseorang yang memiliki sifat qana’ah akan membatasi angannya dari hal yang belum dimiliki dan bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya. Lebih dari itu, qana’ah mengajarkan kesederhanaan serta merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki seseorang.

Menurut Al-Ghazali seseorang yang qani’ atau orang yang mencukupkan apa adanya adalah orang yang sedikit keinginannya serta meninggalkan keinginan mencari lebih. Artinya orang yang puas dengan apa yang ada.
Ini sebagaimana yang dikatakan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yaitu:

Baca...  Makna Takziyah Dalam Perspektif Islam

“Ketahuilah, bahwa kemiskinan itu terpuji, sebagaimana telah kami kemukakan pada Kitab Kemiskinan. Akan tetapi, seyogyanya bahwa orang miskin itu bersifat qana’ah, terputus sifat serakah dari harta orang lain. Tidak berkeinginan kepada apa yang ditangan mereka dan tidak bersifat rakus mengusahakan harta bagaimanapun adanya.”

“Tiada mungkin yang demikian itu, selain dengan bersikap qana’ah sekedar perlu (darurat) dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Menyingkatkan kepada kadar yang paling sedikit dan macam yang paling buruk. Angan-angannya dikembalikan kepada seharinya atau sebulannya dan ia tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang sesudah sebulan itu.”

Kemudian Al-Ghazali melanjutkan dengan sebuah hadis:

طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ لِلإِسْلامِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنِعَ بِهِ

Artinya: “Amat baik bagi siapa yang memperoleh petunjuk kepada agama Islam. Hidupnya adalah sekedar perlu dan merasa cukup (qana’ah) dengan yang demikian.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Fadlalah bin Ubaid).

Gus Ulil mengatakan, bahwa seorang yang qana’ah tidak akan menggantungkan hidupnya kepada orang lain dan merasa cukup dengan pemberian Allah. Orang fakir yang menerima apa adanya akan mendapat pahala, sedangkan orang fakir yang rakus akan keadaannya tidak akan mendapat pahala atas kefakirannya.

Makna tidak mendapat pahala atas kefakirannya adalah orang fakir yang tidak rida dengan keadaan fakir yang diberikan oleh Allah, serta enggan menahan diri dari hal duniawi.

Tidak sedikit orang yang berusaha menguasai harta dunia dengan hal tersebut. Mereka menentang apa yang diperintahkan Allah SWT sehingga menggugurkan pahala atas kefakirannya.

Tak hanya itu, Al-Ghazali juga berharap dengan adanya sikap qana’ah, manusia akan terhindar dari sifat tamak terhadap harta orang lain serta tidak bersifat rakus terhadap kekayaan, meskipun dengan beragam jalan yang mereka tempuh untuk mendapatkannya.

Atas dasar itu, kata Gus Ulil, sifat rakus dan tamak akan menjadikan kepada akhlak yang buruk, serta mendorong kepada perbuatan-perbuatan tercela yang merusak kehormatan seseorang.

Baca...  Gus Ulil: Andaikan Ulama Menanamkan Ilmu Hanya Karena Allah SWT

Maka, dengan sifat qana’ah tersebut akan menjadi pengingat untuk manusia terhadap angan atau keinginan yang berlebih, sehingga angan-angannya dikembalikan pada kebutuhan sehari atau sebulannya, dan hatinya tidak disibukkan dengan apa yang telah dilewatkan dalam sehari atau sebulannya.

Jika seseorang lebih memilih kepada angan-angannya yang banyak dan panjang tersebut, niscaya hilanglah keagungan sifat qana’ah dalam diri. Al-Ghazali menerangkan bahwa qana’ah merupakan sifat cukup dengan apa yang telah dimiliki.

Ia tidak menoleh kepada apa yang ditangan orang lain, serta tidak bersifat rakus terhadap harta hingga harus mengusahakan segala cara untuk mendapatkannya. Sehingga hal ini mampu menjauhkan diri dari sikap tamak, serakah, tidak puas dan perasaan kurang.

Qana’ah juga bermakna syukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah dikasih-Nya, sebagaimana termaktub dalam penggalan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Hurairah, yakni: “Jadilah orang yang qana’ah niscaya kamu menjadi orang yang paling bersyukur”.

Cara untuk memperoleh sifat qana’ah

Pertama adalah amal. Harusnya seseorang itu tidak berlebihan dalam membelanjakan harta. Dalam arti lain hemat dan tidak boros, maka seseorang akan mendapat kemuliaan qana’ah. Sebagaimana Al-Ghazali mengatakan bahwa, obat daripada sifat rakus adalah dengan hidup sederhana:

“Sederhana (perbuatan ekonomis) pada penghidupan dan lemah lembut pada perbelanjaan. Siapa yang menghendaki kemegahan qana’ah, maka seyogyanya ia menutup dari dirinya segala pintu keluar sedapat mungkin, dan mengembalikan dirinya kepada sesuatu yang tidak boleh tidak baginya. Maka siapa yang banyak pengeluarannya dan luas perbelanjaannya, niscaya tidak memungkinkan ia berqana’ah.”

Kedua, pendek angan-angan. Ini sebagaimana Al-Ghazali mengatakan bahwa: “Dengan bersikap qana’ah sekedar perlu (darurat) dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dan menyingkatkan kepada kadar yang paling sedikit dan macam yang paling buruk. Angan-angannya dikembalikan kepada seharinya atau sebulannya dan ia tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang sesudah sebulan itu.”

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Asy’ariyah Dalam Memahami Sifat Kalam

Nabi SAW bersabda: “Perkara yang paling aku takutkan atas kalian semua ada dua yaitu panjangnya angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Karena sesungguhnya panjangnya angan- angan melalaikan akhirat dan mengikuti hawa nafsu itu menceraikan kebenaran.”

Dalam hadis tersebut menerangkan bahwa, untuk memperoleh sifat qana’ah diharuskan mengendalikan hawa nafsu dan pendek angan-angan agar tidak terperosok dalam hal-hal duniawi, serta tidak lupa kepada tujuan utama yaitu kehidupan akhirat.

Ketiga, menghindarkan segala keraguan dalam hidup. Seperti yang telah Al-Ghazali sampaikan, yakni:

“Sesungguhnya apabila mudah baginya pada masa sekarang apa yang mencukupinya, maka tiadalah seharusnya ia berada pada sangat keguncangan bagi masa depan. Untuk hal demikian, ia dapat ditolong oleh pendek angan-angan dan keyakinan bahwa rezeki yang ditakdirkan baginya pasti akan datang kepadanya walaupun bukan orang yang sangat rakus. Sesungguhnya orang yang sangat rakus itu, tidaklah menjadi sebab bagi sampainya rezeki, akan tetapi seyogyanya ia percaya dengan janji Allah SWT.”

Kata Gus Ulil, dalam qana’ah terdapat ketenangan serta keyakinan dalam hidup, yakni rezeki yang telah dijamin Allah SWT. Bahkan, rezekilah yang akan lebih dulu mencarinya sebelum orang tersebut mencari rezeki. Keyakinan seperti inilah yang mendatangkan ketentraman hati.

Keempat, menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban harta. Harta bisa menimbulkan dampak buruk serta bencana bagi pemiliknya jika tidak didapatkan dengan cara yang baik, serta tidak dibelanjakan dalam hal yang baik.

Yang terakhir, kelima, semestinya seseorang mengetahui apa yang terkandung dalam sifat qana’ah, yakni berupa kemuliaan dan terbebas dari meminta-minta, serta mengetahui kehinaan ketamakan, supaya terhindar dari sifat tamak. Wallahu a’lam bisshawaab.

35 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Ketika Quraish Shihab Memaknai “Hijab”

2 Mins read
Ketika Quraish Shihab memaknai hijab. Tulisan singkat kali ini mengulas sepenggal tentang pertautan antara tafsir syari’ah dan adat, yang memfokuskan titk berat…
Keislaman

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencela Sifat Kikir

3 Mins read
Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin, mencela sifat kikir. Sudah mafhum bahwa sifat kikir adalah sifat tercela yang mesti dihindari oleh setiap individu…
Keislaman

Kebijakan Nabi Muhammad Terhadap Yahudi Khaibar (2)

3 Mins read
Kebijakan Nabi Muhammad terhadap Yahudi Khaibar. Syahdan, sejak perasaan putus-asa mulai merayap ke dalam hati Yahudi Bani Khaibar. Kini mereka minta damai….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights