Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah SWT menjadi salah satu diskursus paling menarik dan sensitif dalam khazanah teologi Islam. Setiap mazhab memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan bagaimana Allah “dikenal” melalui sifat-sifat-Nya. Dari sekian banyak ayat yang berbicara tentang sifat-sifat illahi, QS. Al-Hasyr 59 : 22 menjadi salah satu ayat yang paling sering dibahas, karena disana memuat deretan nama Allah yang agung.
Dari sinilah muncul perbedaan menarik antara dua mazhab besar yang saling berseberangan pemikiran, yakni Muktazilah yang identik dengan pendekatan rasional dan Asy‘ariyah yang mengambil dasar dari Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga menggunakan akal sebagai pendukung pemahaman, menjadikannya pandangan yang moderat. Dua tokoh penting yang akan dibandingkan dalam pembahasan ini adalah al-Zamakhsyarī melalui karya monumentalnya al-Kasysyāf dan al-Baghawi melalui karya monumentalnya juga ma’alim at-tanzil
Biografi al-Zamakhsyarī dan al-Baghawi
Sejak kecil, al-Zamakhsyarī menunjukkan bakat luar biasa dalam bahasa Arab. Beliau sangat tekun hingga rela meninggalkan kampung halamannya demi belajar ke berbagai kota, khususnya Bukhara dan Khwarizm yang pada masa itu dikenal sebagai pusat ilmu nahwu, sastra, dan kalam. Hingga akhirnya dikenal sebagai ahli bahasa Arab (linguistik), ahli tafsir (mufassir), ahli sastra dan pemikir rasionalis dalam teologi Mu‘tazilah.
Memiliki nama lengkap Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarī yang hidup sekitar masa 467-538 H / 1075-1144 M. Kota kelahirannya di daerah kecil bernama Zamakhsar di wilayah Khawarizm yang kini bagian dari Uzbekistan.
Salah satu fase terpenting dalam hidupnya adalah ketika beliau menetap cukup lama di Makkah. Sekitar masa menetapnya di Makkah, lahirlah Tafsīr al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq al-Tanzīl, yang menjadi salah satu tafsir berpengaruh dalam sejarah Islam.
Fokus utama dalam kitab ini adalah bahasa. Beliau memasukkan pandangan teologi Mu‘tazilah dalam pembahasan ayat sifat, keadilan Tuhan, dan kebebasan manusia. Kemudian inilah yang membuat al-Kasysyāf kaya akan bahasa dan kuat logika karena corak Teologis (I’tiqadi).
Sedangkan, al-Baghawi memiliki nama lengkap Abū Muḥammad al-Ḥusayn ibn Mas‘ūd ibn Muḥammad al-Farā’ al-Baghawī yang hidup sekitar masa 436-516 H / 1044 M-1122 M. Beliau lahir di kota Bugh, sebuah daerah di wilayah Khurasan, sekarang Iran. Dari sinilah mendapat sebutan al-Baghawī, yang artinya orang dari Bagh. Beliau dikenal luas sebagai ahli fikih mazhab Syafi‘i,ahli hadis, mufassir, dan ulama besar bermazhab teologi Asy‘ariyah.
Al-Baghawī memulai pendidikannya di Khurasan dan belajar kepada para ahli hadis dan fikih Syafi‘i. Salah satu gurunya yang paling berpengaruh adalah al-Qāḍī al-Ḥusayn, ulama besar mazhab Syafi‘i. Menjadi ulama hadis membuatnya sering berpindah kota untuk mengajar dan menulis. Reputasinya dapat dilihat dari banyaknya murid dan penyebaran kitab-kitabnya ke seluruh dunia Islam.
Faktor yang mendorong al-Baghawī menulis Ma‘ālim at-Tanzīl, diantaranya karena kebutuhan tafsir Sunni yang moderat, menyaring riwayat dan menyempurnakan karya gurunya yang dijadikan fondasi yakni kitab Tafsīr al-Tha‘labī dengan menyeleksi ulang riwayatnya, membuang yang lemah dan mempertahankan yang kuat. Tafsir ini berbasis riwayat (bil ma’tsūr), mengambil posisi teologi Asy’ariyah dan gaya penulisan ringkas-sistematis.
Letak Perbedaan dan Bagaimana Mereka Menafsirkan Sifat-Sifat Allah dalam QS. Al-Hasyr 59 : 22?
Pertama, Muktazilah berdiri diatas prinsip tanzih, yaitu penyucian Allah dari segala sifat yang menyerupai makhluk. Mereka menolak gagasan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang “berdiri” di luar dzat-Nya, karena bagi mereka hal itu akan membuka peluang terjadinya penggandaan keabadian (ta‘addud al-qudama’). Sifat Allah, menurut mereka, hanyalah penjelasan tentang dzat-Nya atau manifestasi dari kehendak dan perbuatan-Nya. Oleh sebab itu, pendekatan metaforis sangat penting dalam tafsir Mu‘tazilah. [Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 61–62.]
Di sisi lain, Asy‘ariyah muncul sebagai jalan tengah bagi umat Islam ketika perdebatan teologi memanas. Kelompok ini menerima bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis, namun sifat itu tidak serupa dengan sifat makhluk. Mereka juga menolak untuk menanyakan “bagaimana bentuknya” (bilā kayf), karena hal itu berada di luar kemampuan manusia. Artinya, mereka betul-betul menjaga batas dukungan pemikiran akal. Sikap mereka sangat menjaga kesucian Allah sekaligus menghormati wahyu. [Abu al-Hasan al-Asy‘ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1990), hlm. 215–216.]
al-Zamakhsyarī menjelaskan QS. al-Hasyr[59]:22 dalam kitabnya Tafsīr al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq al-Tanzīl, dengan kutipan asli:
هُوَ ٱللَّهُ الَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَٰلِمُ الغَيْبِ وَالشَّهٰدَةِ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ (٢٢)
(الغيب) المعدوم (والشهادة) الموجود المدرك كأنه يشاهده. وقيل: ما غاب عن العباد وما شاهدوه. وقيل: السر والعلانية، وقيل: الدنيا والآخرة.
“Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
(Yang gaib) merujuk pada yang tidak ada, dan (yang nyata) merujuk pada yang ada dan tampak seolah-olah disaksikan. Ada pula yang menyebutkan bahwa yang gaib merujuk pada yang tersembunyi bagi manusia dan yang telah mereka saksikan. Penafsiran lain menyebutkan bahwa yang gaib merujuk pada yang tersembunyi dan yang nyata, dan penafsiran lain lagi menyebutkan bahwa yang gaib merujuk pada dunia dan akhirat. [al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, jilid 4, 1096]
https://archive.org/details/galerikitabkuningmaktabanakasyyaf/page/n1096/mode/1up
Bagi Muktazilah, makna ini menegaskan keesaan Allah dalam sifat ilmu-Nya. Tidak ada satu pun yang mengetahui segala yang ghaib dan nyata kecuali Allah. Ini menunjukkan sifat tauḥīd, bahwa ilmu Allah adalah dzat-Nya sendiri, bukan sifat yang berdiri terpisah dari dzat-Nya. Allah mengetahui karena Dia adalah Maha Mengetahui, bukan karena ada sifat tambahan di luar Dzat-Nya.
هُوَ اللهُ الَّذِيْ لَٓا إِلٰهَ إِلَّا هُّو عٰاِلمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادّة)، «الغيب): ما غاب عن العباد مما)
لم يعاينوه ولم يعلموه، والشهادة ما شاهدوه وما علموه، وهو الرحمن الرحيم
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata.”
(Yang gaib) mengacu pada apa yang tersembunyi bagi manusia, yang belum mereka lihat atau ketahui. (Yang nyata) mengacu pada apa yang telah mereka lihat dan ketahui. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.[ al-Baghawī, Ma‘ālim at-Tanzīl, jilid 4, 2861]
https://archive.org/details/Wqf29MualimulTanzeelTafseerAlBaghwi/page/n2861/mode/2up
Dalam tafsir ini beliau terlihat bahwa kitabnya memahami “sifat ilmu” sebagai sifat hakiki Allah bukan majāz, bukan sekadar penjelasan sifat perbuatan. Ini sesuai pandangan Ahlus Sunnah (Asy‘ariyah–Maturidiyah) bahwa Allah benar-benar memiliki sifat ilmu, tanpa harus menyerupai makhluk, dan cara (kaifiah) ilmu itu tidak diketahui manusia.
Bagi Asy’ariyah, Sifat ‘Ilm (Mengetahui) adalah sifat hakiki yang qadīm (azali). Allah mengetahui segala sesuatu tanpa mengalami proses belajar. Sifat-Sifat ini bukan majaz atau sekadar perbuatan Allah, berbeda dari posisi Mu‘tazilah yang menolak sifat ‘ilm sebagai entitas Al-Baghawī menjelaskan pengetahuan Allah mencakup, semuanya baik sebelum sesuatu terjadi, saat terjadi dan sesudah terjadi. Beliau menolak pandangan bahwa Allah “mengetahui sesuatu ketika telah terwujud”, karena itu berarti adanya perubahan pengetahuan. Ini selaras dengan prinsip Asy‘ari yang menyatakan: “Ilmu Allah tidak berubah dan tidak bergantung pada waktu.”
Perbandingan antara penafsiran al-Zamakhsyarī dan al-Baghawī terhadap ayat sifat dalam QS al-Ḥasyr ayat 22 menunjukkan bahwa khazanah tafsir Islam tidak pernah berjalan dalam satu arah tunggal. Di satu sisi, Mu‘tazilah melalui al-Kasysyāf menekankan kedalaman makna dan penjernihan konsep ketuhanan dengan pendekatan bahasa dan rasionalitas. Di sisi lain, Asy‘ariyah lewat Ma‘ālim at-Tanzīl mengajarkan penerimaan atas sifat-sifat Allah sebagaimana disampaikan wahyu, tanpa membahas bentuknya dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk.
Melalui kajian atas dua tokoh besar ini, kita dapat melihat bagaimana setiap generasi ulama berusaha mendekatkan manusia kepada makna ilahi dengan cara yang sesuai dengan konteks zamannya. Pada akhirnya, perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dipahami sebagai kekayaan intelektual Islam yang membantu kita mengenal Tuhan dari berbagai sudut pandang.

