Keislaman

Metode Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman

7 Mins read

Menurut Rahman, metode tafsir yang paling bisa diterima dan relevan dengan tuntutan intelektual dan moral adalah pendekatan yang didasarkan pada kritik sejarah dalam arti yang luas. Hanya dengan pendekatan inilah pemahaman yang benar terhadap tujuan Al-Qur’an dan hadis dapat dicapai. Karena itu, ia memperkenalkan metode yang disebut double movement atau gerakan ganda.

Latar belakang dari lahirnya metode ini berakar pada kekecewaan Rahman terhadap para ulama modernis klasik, yang lebih sering menggunakan warisan sejarah Islam tanpa memperbaruinya sesuai tantangan zaman. Para mufasir klasik biasanya menafsirkan Al-Qur’an secara ayat per ayat berdasarkan urutan mushaf, meski kadang menggunakan rujukan silang antara ayat, namun hal itu tidak dilakukan secara sistematis. Akibatnya, karya mereka tidak mampu membentuk suatu pandangan dunia yang utuh dan terkoordinasi secara menyeluruh bagi kehidupan umat. Usaha untuk menafsirkan ayat dengan ayat lain memang ada, tetapi upaya integrasi makna yang sistematis belum tampak. Inilah yang memotivasi Rahman untuk merumuskan metode tafsir double movement.

Metode double movement ini terdiri dari dua gerakan. Gerakan pertama adalah mengkaji konteks sosial dan moral umat Islam di masa Nabi, guna memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai situasi saat wahyu diturunkan. Gerakan kedua adalah memanfaatkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditemukan pada tahap pertama, kemudian menerapkannya dalam konteks pembaca Al-Qur’an di era modern.

Dalam penerapannya, metode ini melalui tiga tahapan utama. Pertama, merumuskan pandangan dunia Al-Qur’an secara menyeluruh. Kedua, melakukan sistematisasi terhadap etika yang terkandung di dalamnya. Dan ketiga, menghubungkan etika tersebut dengan konteks modern. Ketiga tahapan ini saling berkaitan erat antara teologi, etika, dan hukum. Rahman berpendapat bahwa sistematisasi etika penting agar hukum Islam tetap adil dan relevan dengan tantangan zaman, di mana ayat-ayat yang tidak berkaitan dengan hukum tidak bisa digunakan untuk melegitimasi persoalan tertentu. Setelah etika disistematisasi, prinsip-prinsip umum Al-Qur’an bisa diterapkan untuk menjawab masalah-masalah kontemporer yang meliputi berbagai dimensi, seperti sosial, ekonomi, politik, dan hukum.

Namun, metode ini tidak luput dari kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa metode ini mungkin tidak efektif di semua wilayah geografis yang berbeda, mengingat adanya perbedaan budaya dan kondisi sosial. Sejarah juga sering kali subjektif, yang menambah tantangan dalam memahami konteks wahyu. Meski begitu, sebagai upaya intelektual, metode Rahman memberikan kontribusi yang penting dalam menawarkan tafsir yang relevan bagi kehidupan modern.

Pada intinya, metode double movement ini memulai proses dengan memahami persoalan kontemporer, kemudian bergerak mundur ke masa ketika Al-Qur’an diwahyukan untuk memahami bagaimana Al-Qur’an menjawab persoalan pada masanya. Setelah itu, prinsip-prinsip umum dari Al-Qur’an dibawa kembali ke konteks masa kini. Pendekatan ini menekankan pentingnya analisis sosiologis dan antropologis dalam memahami situasi modern, sehingga penerapan nilai-nilai Al-Qur’an bisa lebih tepat sasaran.

Rahman percaya bahwa metode ini, jika diterapkan dengan benar, akan menghidupkan kembali relevansi Al-Qur’an di era modern. Namun, keberhasilannya membutuhkan kolaborasi antara sejarawan, sosiolog, dan ulama. Metode ini juga menuntut adanya ijtihad, yakni upaya intelektual dan moral untuk memahami dan memodifikasi aturan-aturan lama agar sesuai dengan kondisi zaman sekarang, tanpa kehilangan esensi dari prinsip-prinsip Al-Qur’an itu sendiri.Menurut Rahman, metode tafsir yang paling bisa diterima dan relevan dengan tuntutan intelektual dan moral adalah pendekatan yang didasarkan pada kritik sejarah dalam arti yang luas. Hanya dengan pendekatan inilah pemahaman yang benar terhadap tujuan Al-Qur’an dan hadis dapat dicapai. Karena itu, ia memperkenalkan metode yang disebut double movement atau gerakan ganda.
Latar belakang dari lahirnya metode ini berakar pada kekecewaan Rahman terhadap para ulama modernis klasik, yang lebih sering menggunakan warisan sejarah Islam tanpa memperbaruinya sesuai tantangan zaman. Para mufasir klasik biasanya menafsirkan Al-Qur’an secara ayat per ayat berdasarkan urutan mushaf, meski kadang menggunakan rujukan silang antara ayat, namun hal itu tidak dilakukan secara sistematis. Akibatnya, karya mereka tidak mampu membentuk suatu pandangan dunia yang utuh dan terkoordinasi secara menyeluruh bagi kehidupan umat. Usaha untuk menafsirkan ayat dengan ayat lain memang ada, tetapi upaya integrasi makna yang sistematis belum tampak. Inilah yang memotivasi Rahman untuk merumuskan metode tafsir double movement.

Baca...  Dinamika Tafsir al-Qur'an: Studi Historis dan Regional tentang Metode Tafsir di Dunia Islam

Metode double movement ini terdiri dari dua gerakan. Gerakan pertama adalah mengkaji konteks sosial dan moral umat Islam di masa Nabi, guna memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai situasi saat wahyu diturunkan. Gerakan kedua adalah memanfaatkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditemukan pada tahap pertama, kemudian menerapkannya dalam konteks pembaca Al-Qur’an di era modern.
Dalam penerapannya, metode ini melalui tiga tahapan utama. Pertama, merumuskan pandangan dunia Al-Qur’an secara menyeluruh. Kedua, melakukan sistematisasi terhadap etika yang terkandung di dalamnya. Dan ketiga, menghubungkan etika tersebut dengan konteks modern. Ketiga tahapan ini saling berkaitan erat antara teologi, etika, dan hukum. Rahman berpendapat bahwa sistematisasi etika penting agar hukum Islam tetap adil dan relevan dengan tantangan zaman, di mana ayat-ayat yang tidak berkaitan dengan hukum tidak bisa digunakan untuk melegitimasi persoalan tertentu. Setelah etika disistematisasi, prinsip-prinsip umum Al-Qur’an bisa diterapkan untuk menjawab masalah-masalah kontemporer yang meliputi berbagai dimensi, seperti sosial, ekonomi, politik, dan hukum.

Namun, metode ini tidak luput dari kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa metode ini mungkin tidak efektif di semua wilayah geografis yang berbeda, mengingat adanya perbedaan budaya dan kondisi sosial. Sejarah juga sering kali subjektif, yang menambah tantangan dalam memahami konteks wahyu. Meski begitu, sebagai upaya intelektual, metode Rahman memberikan kontribusi yang penting dalam menawarkan tafsir yang relevan bagi kehidupan modern.

Pada intinya, metode double movement ini memulai proses dengan memahami persoalan kontemporer, kemudian bergerak mundur ke masa ketika Al-Qur’an diwahyukan untuk memahami bagaimana Al-Qur’an menjawab persoalan pada masanya. Setelah itu, prinsip-prinsip umum dari Al-Qur’an dibawa kembali ke konteks masa kini. Pendekatan ini menekankan pentingnya analisis sosiologis dan antropologis dalam memahami situasi modern, sehingga penerapan nilai-nilai Al-Qur’an bisa lebih tepat sasaran.
Rahman percaya bahwa metode ini, jika diterapkan dengan benar, akan menghidupkan kembali relevansi Al-Qur’an di era modern. Namun, keberhasilannya membutuhkan kolaborasi antara sejarawan, sosiolog, dan ulama. Metode ini juga menuntut adanya ijtihad, yakni upaya intelektual dan moral untuk memahami dan memodifikasi aturan-aturan lama agar sesuai dengan kondisi zaman sekarang, tanpa kehilangan esensi dari prinsip-prinsip Al-Qur’an itu sendiri.

Contoh Produk Penafsiran Fazlur Rahman 

Untuk memahami secara lebih komprehensif pemikiran tafsir kontekstual yang diajukan oleh Fazlur Rahman, perlu disajikan contoh-contoh penafsirannya dari beberapa karya pentingnya. Meskipun tidak semua produk penafsiran Rahman akan dibahas, salah satu contohnya adalah tentang pengharaman alkohol (khamr).

Baca...  Menggali Hikmah Ilahi: Pentingnya Mempelajari Metodologi Tafsir di Era Modern

1. Tentang Pengharaman Alkohol (Khamr)

Rahman menjelaskan bahwa pada periode awal Makkah, Al-Qur’an dalam surat an-Nahl menyebutkan khamr sebagai salah satu bentuk rahmat Tuhan, bersama dengan susu dan madu (QS. An-Nahl: 66-69). Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, mulai muncul desakan dari beberapa sahabat, termasuk Umar bin Khattab, agar Al-Qur’an melarang khamr. Dalam surat Al-Baqarah ayat 219, Al-Qur’an memberikan respons dengan menyatakan: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.'”

Beberapa waktu kemudian, terjadi insiden di mana beberapa muslim mabuk setelah minum khamr di rumah seorang sahabat Anshar. Ketika salah satu dari mereka memimpin shalat malam, ia melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Setelah insiden ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad, turunlah QS. An-Nisa: 43, yang berbunyi: “Janganlah kamu mendekati shalat dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan.”

Kemudian, peristiwa lain terjadi di Madinah ketika beberapa orang muslim mabuk dan berkelahi setelah berpesta. Akibatnya, turunlah QS. Al-Maidah: 90-91, yang secara tegas menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, serta menghalangimu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari perbuatan itu).”

Dari rangkaian peristiwa tersebut, para ulama berpendapat bahwa ayat terakhir tentang khamr (QS. Al-Maidah: 90-91) menghapus ayat-ayat sebelumnya yang lebih permisif. Mereka menggunakan doktrin naskh, yaitu penghapusan hukum tertentu oleh hukum yang lebih baru. Namun, Rahman berargumen bahwa penerapan prinsip naskh saja tidak cukup untuk memahami kasus ini. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak langsung melarang khamr, melainkan menerapkan hukum graduasi, yaitu pelarangan bertahap, guna menyesuaikan dengan kebiasaan sosial masyarakat saat itu.

Jika pelarangan khamr hanya dipahami melalui prinsip naskh, mengapa Al-Qur’an awalnya menyebut khamr sebagai rahmat, lalu kemudian menyebutnya sebagai perbuatan setan? Menurut Rahman, ini adalah bagian dari pendekatan bertahap Al-Qur’an dalam mengubah kebiasaan umat Islam. Hukum graduasi memungkinkan kontradiksi semacam ini untuk dipahami dalam konteks sosial dan budaya masyarakat yang menerima wahyu.

Pada masa Nabi di Makkah, umat Islam hanyalah komunitas kecil dan belum membentuk masyarakat yang terorganisir. Minum khamr pada saat itu tidak menimbulkan masalah serius karena komunitas muslim masih bersifat informal. Namun, ketika umat Islam hijrah ke Madinah dan mulai membentuk masyarakat serta negara informal, minum khamr menjadi isu sosial yang membutuhkan perhatian lebih besar.

Rahman menekankan bahwa Al-Qur’an tidak langsung melarang khamr secara total. Dalam QS. Al-Baqarah: 219 dan QS. An-Nisa: 43, Al-Qur’an hanya memperingatkan umat untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi khamr, tanpa melarangnya sepenuhnya. Larangan total baru terjadi pada ayat terakhir di Madinah (QS. Al-Maidah: 90-91), yang menunjukkan penerapan hukum graduasi daripada pelarangan langsung.

Dengan demikian, Fazlur Rahman menunjukkan bahwa pengharaman khamr bukanlah aturan yang diberlakukan secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses bertahap yang memperhitungkan kondisi sosial dan budaya umat Islam pada masa itu. Interpretasi ini mencerminkan pandangan Rahman tentang pentingnya memahami wahyu Al-Qur’an dalam konteks sejarah dan sosial masyarakat.

Baca...  Sejarah Singkat Tafsir Al-Qur'an: Perkembangan dan Metodologinya

2. Tentang Poligami

Fazlur Rahman memberikan pandangan mengenai poligami yang oleh para ulama dianggap sebagai salah satu dasar perkawinan yang sah dalam Islam. Menurut Al-Qur’an dalam surat An-Nisa: 3, disebutkan:

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”

Dalam surat Ali Imran ayat 2, Al-Qur’an mengecam para wali yang mengambil hak anak-anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan. Meski ayat-ayat ini pertama kali diturunkan di Makkah (QS. Al-An’am: 152 dan Al-Isra’: 34), pesan ini ditegaskan kembali di Madinah (QS. Al-Baqarah: 220 dan An-Nisa: 2, 6, 10, dan 127). Untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan hak anak yatim, Al-Qur’an memperbolehkan wali mengawini hingga empat wanita, dengan syarat mereka mampu berlaku adil. Menurut Fazlur Rahman, penafsiran ini juga diperkuat oleh QS. An-Nisa: 127, yang mungkin diturunkan sebelum QS. An-Nisa: 3. Dalam QS. An-Nisa: 127, Allah berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): mengenai kaum perempuan. Katakanlah bahwa mengenai mereka itu Allah memberikan keputusan-Nya, yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini mengenai perempuan yatim yang tidak dapat kamu penuhi hak mereka, tetapi lebih suka kamu kawini, dan (juga mengenai) anak-anak yang (lebih muda dan lemah)‛”

Hal ini menunjukkan bahwa poligami, dalam konteks Al-Qur’an, muncul terkait dengan kasus perlindungan perempuan yatim. Al-Qur’an juga menekankan dalam QS. An-Nisa: 129:

“Betapapun kamu mengingikannya, namun kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan tersebut.”

Bagi Fazlur Rahman, syarat keadilan ini sangat penting dan harus menjadi perhatian utama daripada sekadar memperbolehkan poligami. Keadilan dan keseimbangan dalam hubungan suami-istri merupakan salah satu prinsip mendasar dari ajaran Al-Qur’an.

Rahman menegaskan bahwa pernikahan monogami adalah bentuk perkawinan yang ideal untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga sesuai dengan kehendak Allah. Namun, ia juga memahami bahwa pada abad ke-7, poligami sudah menjadi bagian kuat dari budaya Arab, dan menghapusnya secara langsung mungkin tidak sesuai dengan kondisi sosial saat itu. Sebab, hal tersebut justru akan menghambat tercapainya tujuan moral dari Al-Qur’an.

Rahman melihat adanya kontradiksi dalam hal ini, di mana laki-laki dituntut untuk berlaku adil kepada istri-istrinya, tetapi diizinkan untuk menikahi hingga empat wanita. Dalam pandangan penafsiran klasik, izin poligami dianggap sebagai hukum yang kuat, sedangkan keadilan terhadap istri lebih dianggap sebagai pilihan moral yang diserahkan pada kebaikan suami, meskipun sering kali dilanggar.

Sebaliknya, kaum modernis muslim lebih menekankan pada keharusan berlaku adil dan baik terhadap istri. Mereka juga melihat bahwa izin poligami dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara dan untuk tujuan tertentu.

Fazlur Rahman berusaha untuk menghubungkan ideal moral ayat-ayat Al-Qur’an dengan konteks zaman modern. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks sejarah yang melingkupi ayat-ayat tersebut untuk menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam masyarakat kontemporer.

Diana Nadzifah, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

2413 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Keislaman

Isra dan Mikraj Nabi Muhammad

5 Mins read
  سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ…
KeislamanKhutbah Jumat

Khutbah Jumat ; Rasulullah Rahmat Bagi Alam Semesta

7 Mins read
A. Khutbah Jumat Pertama; السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 1. Hamdallah; 2. Syahadatain; 3. Salawat Allahumma shalli ala’ Muhammad. Wa’ala alihi wa…
KeislamanTafsir

Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Surat Al-Mujadalah Ayat 11 dan Luqman Ayat 13 Menurut Tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar

5 Mins read
Nilai-nilai pendidikan karakter adalah suatu kebutuhan yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran individu, pembentukan karakter berkontribusi pada masa depan yang lebih baik….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights