KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Klaim dan Tindakan Tuhan Dalam Teologi Asy’ariyah

4 Mins read

Pada ngaji sebelumnya (episode 122/hal 316 edisi Darul Minhaj) dijelaskan bahwa salah satu klaim pandangan teologis keagamaan (akidah) Asy’ariyah mengenai tindakan-tindakan Tuhan adalah, bahwa Tuhan tidak wajib menciptakan makhluk.

Tuhan juga boleh dan tidak menggerakkan proses astronomis yang bernama Big Bang (yang menjelaskan bahwa alam semesta kita berasal dari suatu ledakan besar yang terjadi sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu). Dengan kata lain, semua proses astronomis yang dijelaskan oleh sains modern bergerak karena akibat dan sebab tindakan Tuhan. Sekali lagi ini menurut orang yang beriman.

Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan seorang sainstis yang ateistik. Menurutnya, proses-proses alam sifatnya mekanistik atau deterministik. Artinya, ia mengikuti hukum-hukum tertentu dan tidak bisa berjalan dijalan yang lain, serta tidak juga ada partisipasi atau karya Tuhan di dalamnya.

Kata Gus Ulil, ketika Tuhan memutuskan menciptakan makhluk, maka Tuhan boleh-boleh saja tidak memberikan beban moral atau kewajiban (taklif) kepada makhluknya. Semuanya tidak merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh Tuhan. Inilah posisi akidah Asy’ariyah sebagai pegangan umat Islam.

Sementara menurut Muktazilah Tuhan wajib berbuat sesuatu yang membawa kemaslahatan kepada makhluknya. Dengan kata lain, Tuhan tidak boleh melakukan kejahatan, kerugian, dan kemadharatan kepada makhluknya, melainkan Tuhan harus melakukan sesuatu al-ashlah. Inilah posisi dasar dari Muktazilah.

Karena Tuhan memberikan taklif (kewajiban) ajaran agama kepada makhluk-Nya setelah diciptakan, kata Muktazilah, maka Tuhan wajib menurunkan kitab suci melalui rasul-rasul-Nya yang berisi ajaran baik dan buruk untuk kebaikannya. Kenapa? Karena hal itulah sesuatu yang membawa mashlahat kepada makhluk-Nya.

Beberapa kalangan intelektual muslim yang memiliki pandangan rasionalis biasanya sering berpihak kepada Muktazilah. Menurutnya, pandangan Muktazilah lebih masuk akal dan cocok dengan nalar manusia ketimbang Asy’ariyah.

Baca...  Menyingkap Rahasia Shalat Tahajjud: Kedamaian Jiwa dan Kedekatan Ilahi

Seperti Mustafa Akyol, intelektual dari Turki yang menulis buku “Reopening Muslim Minds” yang berarti “Membuka Kembali Pikiran Umat Islam”. Adalah sebuah buku yang mengurai penyebab kejumudan pemikiran di kalangan umat Islam.

Mustafa mengatakan bahwa posisi Muktazilah lebih tepat daripada Asy’ariyah yang menyarankan bahwa seolah-olah Tuhan bertindak bukan atas dasar hukum moral yang pasti. Seperti, Tuhan boleh melakukan segalanya, dan hal ini menimbulkan ketidakpastian.

Namun demikian, menurut Gus Ulil, pandangan Asy’ariyah lebih tepat. Dalam hal ini, pandangan Asy’ariyah berada di tengah. Asy’ariyah tidak mengingkari bahwa Tuhan berbuat mashlahat kepada makhluk-Nya. Akan tetapi tindakan berbuat mashlahat tidak wajib bagi Tuhan.

Dikatakan tidak wajib, kata Gus Ulil, jika Tuhan diwajibkan untuk melakukan sesuatu, lalu siapa yang mewajibkan? Artinya, jika Tuhan diwajibkan melakukan sesuatu, maka berarti ada sesuatu di luar Tuhan yang mewajibkan Tuhan melakukan sesuatu.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Tuhan tidak independen total dan tunduk pada suatu hukum. Dan secara tidak langsung, Anda mengkategorikan Tuhan pada level makhluk. Pertanyaannya apakah Tuhan bisa tunduk kepada suatu hukum? Jawabannya tidak. Karena Tuhan yang sesungguhnya adalah Dzat yang bertindak secara otonom-total.

Klaim dan tindakan Tuhan dalam teologi Asy’ariyah

Syahdan. Lawan debat Al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhan wajib menciptakan mahluk bukan karena ada manfaat dari penciptaan mahluk-Nya terhadap Dzat Tuhan. Hanya saja, makhluk-Nya saja yang menerima manfaat dari penciptaan tersebut.

Namun, hal ini juga dibantah oleh Al-Ghazali dengan mengatakan bahwa, walaupun ada manfaat bagi si mahluk yang diciptakan, bukan berarti tindakan Tuhan menciptakan mahluk menjadi wajib bagi Dzat Tuhan itu sendiri.

Walaupun Anda berpendapat bahwa tindakan Tuhan menciptakan mahluk itu karena ada manfaat bagi mahkluk-Nya, hal itu tetap tidak masuk akal. Konteks seperti ini, kata lawan debat Al-Ghazali, baru masuk akal jika tindakan Tuhan menciptakan makhluk pada nantinya ditempatkan di surga dan diberikan nikmat tanpa kesedihan.

Baca...  Muhammad Abduh dan Konflik Antar Pemeluk Agama

Adapun makhluk manusia yang diciptakan ini telah berharap-harap pada ketiadaan (hidup di dunia) seperti seseorang yang berkata, “Seandainya aku tidak diciptakan tentu lebih enak karena gak disuruh ibadah dan diancam masuk neraka jika tidak melakukan, atau andai aku tidak diciptakan tentu aku tidak perlu merasakan hidup miskin dan susah.”

Tak hanya itu, kata Gus Ulil, bahkan para anbiya atau orang-orang pintar pun mengeluh karena adanya kewajiban-kewajiban hidup sebagai makhluk. Sebagian para nabi berharap tidak pernah lahir ke dunia. Sebagian lagi berharap tidak ada kewajiban moral, dan juga sebagian berharap dirinya adalah benda mati saja.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab pernah mengangkat tumpukan jerami. Saat mengangkat dirinya berkata, “Seandainya aku seperti jerami ini tentu lebih enak.” Artinya, Umar ingin jadi benda mati saja, karena dengan menjadi benda mati ia tidak memiliki kewajiban.

Dan jika dikembalikan kepada Tuhan tentang adanya pahala, maka taklif ini ada faedah kelak di akhirat, tetapi Tuhan juga bisa memberikan ganjaran tanpa perlu ada beban taklif ini. Lawan Al-Ghazali kembali berargumentasi bahwa, “Ya benar bahwa Tuhan bisa memberikan ganjaran tanpa perlu taklif.”

Namun, “Benar bahwa seseorang berhak mendapat ganjaran karena usahanya seseorang tersebut dan bukankah lebih mulia lebih nikmat bagi seseorang itu mendapatkannya karena usaha bukan hanya karena tanpa usaha apa-apa?”

Al-Ghazali menjawab dengan sederhana, “Sesungguhnya seseorang meminta perlindungan kepada Tuhan dari akal yang berujung kepada kesombongan terhadap Tuhan itu sendiri, dan merasa diri telah menyabar-nyabarkan terhadap nikmatnya Tuhan agar bisa menghadapi godaan syaitan yang terkutuk.”

Kata Gus Ulil, argumentasi atas hak pahala itu disentil oleh Al-Ghazali bahwa itu bentuk kesombongan. Kenapa? Karena seseorang sudah melakukan kewajiban sehingga Tuhan wajib memberikan ganjaran yang setimpal. Seakan-akan ada utang-piutang antara si mahkluk dan Tuhan.

Baca...  Gus Ulil: Agama dan Sains dalam Pandangan Al-Ghazali

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan mereka yang tergolong orang berpandangan seperti itu dalam hal ini berhak atas ganjaran pahala dan Tuhan wajib mengabulkannya? Maka barangsiapa merasa berhak abadi selamanya di surga tanpa perlu bersusah payah, maka dirinya adalah orang yang takabbur (sombong).

Ia dianggap takabbur karena dalam pandangan Asy’ariyah, orang yang melakukan kewajiban Tuhan di dunia juga kelak di akhirat tidak serta-merta langsung dimasukkan ke dalam surga. Tidak.

Demikian juga, seseorang yang telah menunaikan kewajiban bukan berarti bisa berhak meminta ganjaran begitu saja kepada Tuhan. Sekali lagi, tidak ada yang bisa mewajibkan Tuhan untuk melakukan ini dan itu.

Kata Gus Ulil, seseorang yang taat melakukan kewajiban terhadap Tuhan, lalu dari mana asal ketaatan tersebut? Tentu bukan dari manusia. Sebab, semuanya bersumber dari Tuhan. Karena semua bersumber dari Tuhan, bukankah meminta ganjaran karena merasa berhak itu adalah sifat takabbur? Jawabannya ya takabbur.

Bukankah segala kemampuan yang kita miliki sebagai makhluk adalah anugerah Tuhan? Bukankah kita bisa lahir karena diizinkan oleh Tuhan? Karena itu, semua omongan-omongan ini adalah sama sekali tidak berguna. sederhananya, kata Al-Ghazali, berdebat dengan mereka tidak ada manfaatnya dan lebih baik berikan do’a baik saja untuk mereka-mereka itu. Wallahu a’lam bisshawab.

90 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Isra dan Mikraj Nabi Muhammad

5 Mins read
  سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ…
KeislamanKhutbah Jumat

Khutbah Jumat ; Rasulullah Rahmat Bagi Alam Semesta

7 Mins read
A. Khutbah Jumat Pertama; السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 1. Hamdallah; 2. Syahadatain; 3. Salawat Allahumma shalli ala’ Muhammad. Wa’ala alihi wa…
KeislamanTafsir

Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Surat Al-Mujadalah Ayat 11 dan Luqman Ayat 13 Menurut Tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar

5 Mins read
Nilai-nilai pendidikan karakter adalah suatu kebutuhan yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran individu, pembentukan karakter berkontribusi pada masa depan yang lebih baik….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights