Suatu waktu Sayyidina Muawiyah (pendiri dinasti Umayyah) bertanya kepada Imam Al-Hasan bin Ali RA mengenai sifat muru’ah (harga diri), al-nadjah (menolong) dan al-karam (kedermawanan), berkata Hasan bin Ali, “Muru’ah itu adalah menjaganya seorang laki-laki dan perempuan terhadap agamanya, waspada kepada dirinya, menghormati tamu, bersaing (mendesak) dalam kebaikan, maju untuk melakukan kebaikan yang kamu sendiri tidak menyukainya (memaksakan diri untuk melakukan kebaikan).”
Anda tahu, al-nadjah (menolong) adalah membela tetangga sendiri yang diganggu. Sementara al-karam atau sifat kedermawanan adalah memberi sebelum diminta. Artinya, kata Gus Ulil, jika Anda memberi setelah diminta, maka itu bukan dermawan. Dengan kata lain, dermawan adalah memberi walaupun tidak diminta (membantu orang lain).
Tak hanya itu, kata Gus Ulil, dermawan, selain berarti memberi, juga menyayangi terhadap orang dikasihi. Lebih dari itu, dermawan juga tidak pilah-pilih untuk mengasihi atau memberikan sesuatu; baik mereka yang membutuhkan atau yang sudah kaya raya. Itu sifat dermawan yang sesungguhnya.
Seorang lelaki datang kepada Hasan bin Ali memberikan surat kertas yang berisikan permintaan. Sebelum membaca surat kertas, Hasan bin Ali langsung berkata, “Keperluanmu sudah dipenuhi.”
Dikatakan kepada Hasan bin Ali, “Wahai cucunya Rasulullah SAW, andaikan engkau melihat (membaca) catatan kertas seorang lelaki itu, kemudian baru engkau memberikan jawaban sesuai isinya.” Hasan menjawab, “Aku tidak butuh membaca suratnya. Kenapa? Kalau saya membaca suratnya lalu memberikan sesuai dengan permintaannya, maka itu bukan sifat dermawan yang sesungguhnya. Sebab, dengan memberi tanpa membaca isi suratnya, kita tidak merendahkan seorang lelaki yang meminta itu.”
Imam Ibnu Sammaki (perawi hadis) berkata, “Aku heran kepada orang yang mau membeli budak-budak dengan uangnya. Lalu kenapa dia tidak tertarik untuk membeli orang-orang yang merdeka dengan kebaikannya?.”
Sebagian orang-orang Badui ditanya, “Siapa majikan kalian yang sebenarnya?” Orang Badui menjawab, “Majikan kami adalah orang yang sabar terhadap cacian kami, suka memberi kepada golongan kami, serta tidak meremehkan orang-orang bodoh dari golongan kami. Itulah majikan kami.”
Orang Badui memang orang yang “mungkin” tidak mengenal peradaban tinggi seperti orang-orang Romawi. Akan tetapi, mereka kaya akan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan petuah hidup. Pendek kata, nurani orang Badui masih bersih karena tidak terkotori oleh kotoran peradaban.
Imam Ali bin Husain atau yang dikenal dengan Imam Zainal Abidin berkata, “Barang siapa yang memberi orang lain karena diminta, maka itu sebenarnya tidak masuk dalam kategori orang dermawan. Kenapa? Karena orang yang dermawan adalah orang yang memulai memberi orang lain tanpa diminta. Ia selalu memberikan hak-haknya Allah SWT untuk dipenuhi. Pun, memberinya kepada orang lain tidak karena embel-embel “Aku mau bersyukur kepada Allah karena sudah diberikan rezeki”. Itulah dermawan.”
Kata Gus Ulil, jika motifnya “Aku mau memberi karena Allah sudah memberi rezeki”, berarti Anda memberi karena ada pamrih yaitu, Anda mau bersyukur kepada Allah dengan cara memberi kepada seseorang karena Allah sudah memberi rezeki lebih. Tentu saja, ini bukan pemberian kedermawanan. Kenapa? Karena dermawan adalah memberi tanpa dorongan apapun dan pamrih.
Dikatakan kepada Imam Hasan Al-Bashri (tokoh besar dalam sejarah sufi), “Apa yang disebut sifat dermawan?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Engkau bermurah hati atau bersikap dermawan dengan hartamu karena Allah Swt. bukan karena ingin dipuji-puji.” Ditanyakan lagi kepada Hasan Al-Bashri, “Lalu apa yang disebut dengan sifat al-hazmu (mampu menahan diri)?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Engkau mencegah atau menahan hartanya karena Allah Swt.”
Kata Gus Ulil, Anda memberi dan tidak mengeluarkan harta karena Allah Swt. Seperti Anda tidak mengeluarkan harta di tempat maksiat. Memberi dalam konteks sekarang tidak selamanya baik. Sebab, zaman sekarang, ada banyak orang yang mengeluarkan harta untuk mensukseskan kemaksiatan seperti halnya membantu investasi judi online dan lainnya.
Kemudian Hasan Al-Bashri ditanya lagi, “Lalu apa yang disebut dengan israf (berlebih-lebihan)?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Berlebih-lebihan adalah memberikan atau membagi-bagikan hartanya karena cinta akan kekuasaan.” Misalnya, Anda mau mencalonkan Presiden, lalu membagi-bagikan uang (sogokan) agar supaya rakyat pada nantinya memilih.
Imam Ja’far As-Shadiq (salah satu imam dari kalangan Syiah yang dihormati dikalangan Sunni yang punya murid Imam Abu Hanifah) berkata, “Tidak ada harta yang membawa keuntungan melebihi akal, tidak ada musibah yang melebihi kebodohan, dan tidak musibah melebihi musyawarah (pendapat).”
Ingatlah! Allah SWT berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan yang Maha Dermawan. Orang-orang jahat (al-laim) tidak akan pernah mendekati-Ku, karena sifat al-laim termasuk bagian dari kekufuran. Orang-orang yang melakukan kekufuran tempatnya di dalam neraka. Sementara sifat kedermawanan bagian dari iman. Dan orang yang ahli iman tempatnya berada di dalam surga.”
Sahabat Hudaifah RA berkata, “Banyak orang yang jahat dan rusak dalam hal agamanya, akan tetapi mereka masuk surga karena sifat kedermawanan.” Jadi mereka masuk surga sebab dermawan. Suka memberi dan membantu tanpa pamrih.
Suatu waktu Imam Al-Ahnaf Ibnu Qais melihat seorang laki-laki yang memegang uang dirham. Lalu Imam Ahnaf bertanya, “Mau diberikan kepada siapa dirham itu?” Lelaki itu menjawab, “Ya bagi aku.” Imam Ahnaf berkata lagi, “Ingatlah! Dirham itu bukan hak kamu karena pada akhirnya ia akan pergi.”
Kata Gus Ulil, sesuatu itu bukan disebut sebagai hak kamu (milikimu) sampai kamu memanfaatkannya (memberikannya kepada orang lain). Artinya, harta disebut harta jika sudah lepas dari tangan kamu. Selama masih berada ditangan kamu, maka itu belum menjadi milik kamu.
Sebuah syair mengatakan:
أنت للمال إذا أمسكته # فإذا أنفقته فالمال لك
Artinya: “Ketika harta itu masih engkau tahan dan belum diberikan kepada orang lain, maka itu tidak disebut sebagai hartamu. Akan tetapi, apabila engkau sudah memberikannya kepada orang lain, maka itulah hartamu.”
Imam Washil bin Atha’, salah satu leluhur orang-orang Muktazilah, disebut sebagai al-ghazzal (orang yang jualan karpet atau penenun karpet). Kenapa? Karena Washil duduk bersama orang-orang penenun karpet. Jika ia melihat perempuan yang lemah lewat di depannya, tak sungkan-sungkan ia langsung memberikan sesuatu. Ia di warung bukan tujuannya nongkrong semata, melainkan untuk bersedekah kepada orang-orang yang lewat.
Imam Al-Asma, salah satu imam besar dalam sejarah sastra Arab, berkata, bahwa Imam Hasan bin Ali menulis surat kepada Imam Husain bin Ali. Ternyata Imam Hasan tidak suka kepada tindakan Imam Husain yang sering memberi honor kepada para penyair.
Katanya, “Kenapa kamu melakukan itu? Bukankah para penyair sukanya hanya untuk memperbagus syairnya demi tujuan untuk mendapatkan uang semata!” Lalu Imam Husain menjawab dengan mengirimkan surat, “Sebaik-baik harta adalah harta dibelanjakan untuk menjaga harga diri. Jiika para penyair itu tidak diberi uang, maka mereka akan menulis syair yang isinya selalu menjelek-jelekan kamu.”
Kita tahu, dalam masyarakat Arab klasik atau sebelum Islam, syair ibarat koran zaman sekarang. Selain syair mudah dihafal, jika sudah menyebar, maka akan menjadi viral. Itu sebabnya, jika para penyair sudah mensyairkan (menulis profil) seseorang dengan citra buruk, maka selamanya akan dikenal buruk.
Ditanyakan kepada Imam Sufyan bin Uyainah, “Apa yang disebut dengan sifat dermawan?” Imam Sufyan menjawab, “Dermawan adalah berbuat baik kepada teman-teman dengan cara memberikan harta.”
Imam Sufyan berkata, “Aku mewarisi dari ayah (Uyainah) 50.000 dirham.” Karena terinspirasi dari ayahnya, Imam Sufyan langsung mengantongi uang warisannya untuk dibagikan kepada temannya seraya berkata mengutip perkataan ayahnya, “Aku ketika berdoa selalu mendoakan teman-temanku supaya masuk surga. Surga saja aku doakan untuk teman-temanku, masa harta tidak mau diberikan kepada mereka. Emang lebih berharga mana antara surga dan harta? Apa iya harus bersikap kikir kepada teman-temanku?”
Tentu saja, kata Gus Ulil, bagi manusia normal, jika diukur antara harta dengan surga (akhirat), maka lebih harga harta. Buktinya, ia ringan menyumbang doa, akan tetapi berat hati jika menyumbang dengan harta. Secara tidak langsung, ia menganggap nilai akhirat lebih rendah dari dunia. Wallahu a’lam bisshawab.