Tak bisa dipungkiri bahwa generasi milenial memiliki minat baca yang sangat rendah; namun, mereka memiliki minat yang sangat besar dalam membaca media sosial. Ini adalah tragedi penyakit yang dialami oleh generasi milenial. Saat ini, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan ponsel, tetapi hanya dalam sepuluh menit membaca buku dia sudah ngantuk “merem”.
Frekuensi membaca masyarakat Indonesia umumnya rendah. Dari negara-negara yang “melek” literasi di Asia, negara kita yang paling dicintai berada di nomor 65 setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Anda tahu bahwa siswa di Singapura dan Malaysia membaca setidaknya lima buku setiap tahun. Di Eropa minat membaca siswa sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan buku per siswa. Ini disebabkan oleh sistem pendidikan di Eropa yang mengharuskan siswa membaca.
Di Jepang, siswa diminta membaca di sebuah acara khusus yang dikenal sebagai acara nasional, dan tidak boleh ada suara. Mereka hanya perlu membaca dalam hati. Menariknya, mereka membaca sejarah nasional.
Pertanyaannya adalah, di mana literasi Indonesia berada? Tidak ada jawaban yang tersedia. Indonesia tuna baca dan pincang nulis. Artinya, mereka yang diminta untuk membaca tidak ingin membaca dan tidak memiliki kemampuan untuk menulis. Tentu saja, dengan tidak membaca seseorang tidak dapat menulis. Ia harus membaca terlebih dahulu sebelum dapat menulis. Ketika dia membaca, dia juga harus belajar tentang cara orang menulis.
Dari sini, tidak salah untuk mengatakan bahwa membaca, menulis, dan diskusi adalah kewajiban akademik yang tidak dapat ditawarkan. Jika Anda hanya membaca dan tidak mendengarkan diskusi, Anda mungkin mengalami stres karena ilmunya menjadi batin oleh sebab tidak diujikan. Ini mirip dengan orang yang makan banyak tetapi tidak berolahraga; mereka memiliki kolesterol tinggi.
Selain itu, tidak ada masalah keluarga yang mendorong anak-anaknya untuk membaca. Berapa jumlah uang yang diperlukan oleh satu keluarga untuk membeli buku setiap bulan? Orang mungkin merasa bahwa membeli buku seharga 100.000 ribu sangat mahal, tetapi nongkrong di kafe seharga 200.000 mungkin tampak murah. Karena itu fokusnya mereka pada kuliner daripada membaca buku.
Jika seseorang tidak membaca selama satu hari tanpa makan, dia pasti akan kelaparan. Namun, jika dia tidak membaca selama satu hari, dia tidak akan merasa kehilangan pengetahuan. Ini pasti sangat menyedihkan.
Bagaimana dengan para ulama di masa lalu?
Selama empat puluh tahun, At-Thabari menulis empat puluh halaman setiap hari selama lima puluh tahun. Ini berarti dia telah menulis sekitar 584 ribu halaman selama hidupnya, serta membaca 100 ribu hadis. Tafsirnya, yang ditulis pada usia 57 tahun, mencakup 38.000 hadis.
Karya Ibnu Sina rata-rata berjumlah empat buku setiap tahun. Kitab “Insaf” yang ditulisnya selama enam bulan, berisi 28.000 halaman, dengan 1000 halaman per jilid. Semuan karyanya mencapai total 160 buku.
Kitab “Al-Furuk” terdiri dari 800 jilid dan ditulis oleh Ibnu Aqil. Menurut ulama, tidak ada satu pun penulis yang menulis sebanyak ini sepanjang sejarah manusia. Hafidz Al-Baghdadi membaca 7000 hadis, dan Ibnu Al-Jauzi membaca 20.000 jilid kitab selama hidupnya.
Sangat penting untuk diingat bahwa ulama di zaman Abbasiyah jika harus pindah kota untuk bertugas, maka ia harus menyewa 100 unta untuk membawa bukunya. Dengan demikian, buku-buku ulama di zaman Abbasiyah dapat mencapai lebih dari 200.000 judul. Padahal, Raja Prancis hanya memiliki sekitar 2000 judul buku pada waktu yang sama. Sangat berbeda dengan kebiasaan Islam.
Ulama Indonesia, seperti ulama Banten Syekh Nawawi Al-Bantani, telah menulis 150 judul buku, beberapa di antaranya diterbitkan di Timur Tengah. Demikian juga setelah kembali dari Timur Tengah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membawa banyak bukunya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya membawa buku-buku melalui kapal pada zaman itu.
Lalu bagaimana nasib kita, Indonesia khususnya? Sangat jelas bahwa untuk mencapai budi tinggi dan pengetahuan luas, membaca adalah satu-satunya cara. Sekali lagi, untuk menjalankan syariah agar syariatnya sempurna, maka membaca adalah satu-satunya cara.
Anda harus membaca untuk mengetahui kondisi pendidikan, sosial, budaya, dan politik. Jika Anda tidak membaca, bagaimana Anda bisa tahu bahwa itu adalah wacana baru? Ini menunjukkan betapa pentingnya membaca. Dengan cara yang sama, orang yang terlibat dalam diskusi tidak akan dapat berbicara kecuali mereka telah membaca apa yang mereka baca. Wallahu a’lam bisshawab.