Dosen
muda yang memiliki kemampuan serta pengalaman akademis yang mumpuni tentu
memiliki nilai rasa berbeda dibanding dosen lama yang lebih senior. Dosen muda
yang lebih memahami cara berpikir mahasiswanya tentulah memiliki kemampuan
menyesuaikan teknik dan strategi mengajar dan penyusunan silabus yang tepat untuk generasai millenial.
Menjadi
dosen favorit mereka di lingkungan
kampus tentu terasa kurang jika tidak tampil berbeda di dunia mereka juga; media
sosial. Ternyata kita tidak hanya berusaha mewarnai dunia awam somed menjadi
lebih akademis. Ada misi yang lebih tinggi dari sekadar memulai popularitas
akademis dari media sosial. Yaitu membawa idealisme akademis untuk mewujudkan
keadilan di sosial media.
Ketika
kita merasa bahwa berkiprah di dunia akademis kampus saja tidak cukup, sebagai
dosen muda yang terbiasa terlibat dalam sosial media, tentu kita telah
menyadari bahwa selain media massa, media sosial kini merupakan salah satu media
komunikasi yang cukup efektif untuk membentuk opini publik.
Bahkan ditangan
orang yang tepat, media sosial memiliki efisiensi serta tranparasi yang lebih
baik. Melalui sosial media, tentu para dosen-dosen muda ini akan menyalurkan
keilmuan idealisme yang telah diperolehnya.
Selain membentuk mindset
mahasiswa yang nantinya juga akan berkiprah di masyarakat sebagai wujud tri
dharma pendidikan di kampus. Kita juga perlu menjadikan media sosial sebagai jembatan untuk mendukung
program merdeka belajar. Juga
membantu proses peralihan
masyarakat yang tradisional ke masyarakat yang modern.
Ikut turut serta
berperan tinggi mentransfer informasi
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah kepada masyarakatnya. Dimana sebagai
civitas akademika, dosen dan mahasiswanya memainkan peranan penting sebagai
agen perubahan dan pembaharuan, kontrol sosial dan bahkan analisator kebijakan
pemerintah. Sosial media adalah Jalur informasi yang kini lebih banyak diakses
oleh masyarakat selain dari pada media massa. Inilah sederet yang menjadikan
peluang besar seorang dosen perlu berkiprah di sosial media.
Sebagai
jalur komunikasi, alur interaksi media sosial berbeda dengan media massa. Media
sosial memiliki alur interaksi dua arah, antar pembicara dan pendengarnya bisa
saling memberikan feedback.
Sedangkan media massa menggunakan alur interaksi satu arah saja.
Ini adalah
salah satu keuntungan yang memungkinkan kita lebih dekat dengan masyarakat. Membawa
kepakaran keilmuan dan dengan kemampuan manajemen algoritma media sosial, ratusan
generasi mahasiswanya dan dari beberapa kampus bisa saja mendukung seorang dosen
menjadi influencer di berbagai platform media sosial.
Itulah
mengapa sosial media di genggaman kita kini bisa memberi tekanan kepada media
massa. Segala Percakapan di media sosial
saat ini mampu mempengaruhi konten opini yang diberitakan media massa; bahkan
mungkin menjadi pertimbangan cara kerja produksi dan rapat di meja redaksi.
Karena dari segi pemutakhiran algoritma, Interaksi media sosial sekarang lebih
alami. Dibanding awal-awal kemunculan sosial media dahulu yang opininya diolah
oleh buzzer yang dibayar oleh pemangku kepentingan oligarki dan politisi yang
memiliki pondasi pembiayaan yang besar. Dengan
Sistem bubble algoritmik dalam
mesin media sosial, kini bisa dengan mudah mendeteksi spamming dalam berbagai wacana.
Dengan
sistem algoritma seperti ini, tanpa perlu khawatir lagi dengan manipulasi media
sosial, seorang dosen dengan mudah lebih leluasa memanfaatkan sosial media untuk mendukung
kepakarannya, melakukan peneltian dan membawa isu terpenting yang terjadi di
kelas sosial masyarakat terbawah untuk dimunculkan dan dibicarakan, lalu
dicarikan solusinya ke atas di ranah daerah, nasional, maupun bahkan
internasional.
Berbagai
Karya ilmiah sejenis Jurnal yang telah kita terbitkan dan terindeks di platform
terakreditasi nasional maupun internasional itu tentu jangan hanya menjadi bentuk beban kerja
kepentingan kepangkatan dan sertifikasi dan akreditasi kampus atau beserta hiasan kepakaran saja.
Kemampuan parafrase
yang kita miliki juga sebaiknya kita gunakan untuk mengubah bahasa analitis akademis ke bahasa yang lebih
sederhana sehingga mudah dipahami masyarakat ke dalam bentuk konten di media
sosial.
Kekayaan intelektual dari Karya
ilmiah yang telah kita baca itu bisa kita manfaatkan untuk merespon isu-isu
sosial; dimana para akademisi juga perlu bersuara dan menjawab keegelisahan
masyarakat. Berusaha meluruskan rakyat tentu saja tidak mudah. Kita perlu
membentuk bekerja sama dengan mahasiswa atau dosen lain dan membentuk kerja
komunitas dalam satu lingkaran opini di sosial media.
Kemampuan
menaikkan isu paling krusial lewat media sosial tentu menjadi ajang kontribusi
penegakan keadilan. Seorang dosen dengan
keahlian akademisnya mampu mencegah terjadinya ketidakadilan hukum yang disebut
sebagai Trial By The Press di media sosial.
Dimana dalam berbagai
kasus sering sekali terjadi peradilan sepihak yang dilakukan oleh Media massa
dengan memberikan berita terus menerus sehingga menarik opini publik untuk
menghakimi tersangka atau terdakwa yang dianggap bersalah padahal proses
perkara belumlah selesai atau berkekuatan hukum tetap.
Inilah salah satu bahaya
dari media sosial yang harus bersama kita luruskan, Jangan sampai model pers/
pemberitaan yang ada di medsos menjadi
hukum. Apalagi ketika dalam media sosial tidak ada etika jurnalistik, maka
sebagai civitas akademis harus menjadi penyeimbang di antara opini minoritas
dan mayoritas.
Apalagi
para dosen yang bergerak dibidang programming, tentu bisa memberikan sejumlah
pendapat, masukan ideal dalam pembentukan payung hukum perundang-undangan.
Menawarkan proposal atau bahkan mengajukan judicial review tentang
algoritma sistemik yang diatur kebijakan.
Tentunya sebagai influencer yang sukses di dunia kampus menuju
dunia maya, para dosen muda sangat besar berpeluang membantu pemerintah
mendesain algoritma yang dimanfaatkan
kebijakan; dengan alasan untuk mencegah perpecahan, disintegrasi sosial.
Bukankah Kita bersama sudah seharusnya
sepakat bahwa dalam rangka memenuhi hajatan inilah program merdeka belajar ini diluncurkan,
yaitu memajukan akademika demi menjaga keutuhan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Terwujudnya keadilan ini tentu akan menjadi sorotan dunia.
Amin.
Oleh: Julhelmi Erlanda
Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal &
Universitas PTIQ Jakarta