Pendidikan

Dromologi Saintifik di Mulai Dari Kampus (Membangun Generasi Muda Moderat Anti Hoax)

4 Mins read
Mengkhawatirkan! Di era internet
ini, gaya hidup kita secara tidak sadar digerakkan oleh obsesi kecepatan,
bahkan realitas dunia industri bahkan kebudayaan semua diputuskan atas dasar
logika kecepatan. 
Kita telah meninggalkan gaya hidup yang berprinsip pada
produksi dan konsumsi. Begitulah paling tidak kalimat sederhana dari
penjelasannya Paul Virilio dalam bukunya
Speed and Politics: an essay on dromology.  

Sementara kakek nenek kita masih meyakini
bahwa Knowledge is power seperti yang pernah diungkap oleh Francis
Bacon, dimana pengetahuan adalah segalanya, maka menurut Virilio bahwa sebagai
kendaraan terakhir, Internet menjadikan persaingan di atas dunia ini tidak
hanya didasarkan pada pengetahuan saja, tetapi juga siapa yang paling cepat
mengetahui dan siapa yang paling cepat memanfaatkan pengetahuan itu. 

Inilah era
postmodernitas yang ditegakkan oleh prinsip dromologi. Bukankah telah terjadi
perlombaan adu kecepatan dalam industri media informasi; siapa cepat dialah
yang terdepan, siapa cepat dialah yang menang, sementara diam berarti
mati. 

Dalam interaksi sosial pun terjadi
perlombaan dalam pemerolehan informasi. Didukung oleh percepatan teknologi
pertukaran data di dunia maya, semua orang menjadi berhasrat untuk selalu mengikuti
kabar terbaru di media sosial serta ada rasa takut ketinggalan informasi,
fear
of missing out

Namun sayangnya, adu kecepatan itu bukan dikarenakan rasa
keingintahuan akan informasi itu sendiri, melainkan sekekadar agar kita bisa
terus terlibat dalam diskursus dengan teman kita. 

Dengan dorongan emosi, para
pengguna media sosial kini dengan mudah melupakan prinsip verifikasi, cenderung
terburu-buru sampai hilang nalarnya karena sekedar ingin menjadi yang pertama
mengabarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Inilah fenomena dromologi
kebohongan.

Menurut penelitian
yang dilakukan oleh tiga ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology
(MIT), AS, Sinan Aral, Soroush Vosoughi, dan Deb Roy menyimpulkan bahwa hoaks
menyebar 6 kali lebih cepat ketimbang berita fakta. 

Selain lebih cepat, artikel
mereka juga menyatakan bahwa berita 
hoaks juga 70% berdampak lebih luas dibanding berita fakta. Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena
dromologi kebohongan di masyarakat akan mengakibatkan terbitnya era post-truth,
yakni emosi dan perasaan lebih penting ketimbang fakta dan data. 

Berita bohong
kini dengan mudah dapat disebarluaskan dengan kecepatan dan daya jangkau yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. 

Belum lagi adanya kejadian trial by the
press
yang dilakukan oleh media massa dalam banyak kasus, sering sekali
terjadi peradilan sepihak yang dilakukan oleh netizen dengan memberikan berita
terus menerus sehingga menarik opini publik untuk menghakimi tersangka atau
terdakwa yang dianggap bersalah padahal proses perkara belumlah selesai atau
berkekuatan hukum tetap.  

Inilah mungkin
yang dimaksud oleh Virilio bahwa kecelakaan integral dari ditemukannnya
internet adalah ketika realitas virtual lebih kuasa dibandingkan realitas
aktual.  Lalu, selain upaya literasi
digital yang digalakkan pemerintah dan penguatan norma hukum, Bagaimana dengan respon
civitas kampus menjawab tantangan ini?

Agar virus
dromologi kebohongan bisa dicegah, cara paling mungkin adalah dengan menerapkan
strategi dromologi saintifik. Karena nilai kebenaran dari sebuah informasi
tentu tidak bisa hanya didasarkan pada banyaknya penyebar berita, atau ramainya
diskursus yang memviralkannya. 

Karena sebuah informasi bisa dinyatakan benar
bila telah melalui serangkaian proses yang kecurigaan skeptis dan prinsip
kehati-hatian, maka berita yang datang perlu mendapat respon ‘jaga jarak’
terlebih dahulu sebelum ditemukan vaksinnya. 

Proses cuci otak dengan metode Blow
up
informasi yang disengaja itu harus dianggap seperti virus yang siap
menyerang pikiran siapa saja. Penyebaran informasi yang dianggap berkualitas
sangat ditentukan oleh kemampuan  kita
dalam memverifikasi. 

Dan memang nalar yang paling tepat untuk mendukung
tersebut adalah nalar akademis. Sehingga tradisi ilmiah lah yang menjadi garda
terdepan dalam melayani vaksinasi ini kepada masyarakat disekitarnya di era
industri 4.0 ini.

Mari kita ambil
saja contoh kasus dalam konteks budaya. Misalnya keyakinan masyarakat terhadap
nilai kesakralan keris harus didasarkan pada asas saintifik. Sebagai warisan
budaya telah diakui dunia, perlu ada pemahaman yang konfrehensif dalam upaya
konservasi keris dalam akal budi masyarakat kita. 

Masyarakat awam perlu
diangkat dan diajak ke dalam dunia ilmiah. Bukankah telah banyak bukti sakral
ilmiah yang telah dibuktikan kebenarannya dari pada sekedar prosesi ritual
dengan aura magisnya?

Kemampuan keris awet
dan bertahan selama ratusan tahun adalah bukti kecanggihan keterampilan
pengrajin besi di masa silam. Terbukti secara ilmiah bahwa lapisan-lapisan
logam penyusun struktur pada keris lebih stabil dari pengaruh cahaya dan
radiasi UV sehingga mampu bertahan dari pengkaratan. 

Bahkan bila dibandingkan
dengan senjata tradisional di budaya lain; misal samurai dari Jepang, keris
memiliki daya tahan dan kelenturan paling tinggi. Bahkan seni racikan logam
tingkat tinggi pandai besi nenek moyang kita telah dimanfaatkan oleh pihak
militer Rusia. 

Campuran besi pada keris yang anti radiasi dimanfaatkan untuk
menyembunyikan senjata nuklir dari deteksi satelit musuh. Dengan penemuan dan
penjelasan secara ilmiah tersebut, diharapkan motif pensakralan warisan luhur
ini tidak hanya didasarkan pada mitos-mitos yang sulit ditemukan kebenarannya. 

Karena cara gaya non ilmiah inilah yang akan menyebarkan  virus dromologi kebohongan. Seperti yang
telah disebutkan diatas, hoax yang tak terkendali mengendalikan belief system
masyarakat. 

Apalagi sampai dimanfaatkan
oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi. Mereka menyebarkan dromologi
kebohongan demi popularitas, uang dan jabatan. 

Bukankah nilai luhur kesakralan
dari warisan budaya itu tidak seharusnya menyebabkan berbagai kasus penipuan
dan asusila di masyarakat? Akibat dari dromologi inilah yang justru dikhawatirkan menyebabkan
hilangnya kesakralan dari keris itu sendiri di tengah kemajuan teknologi ini.

Demikianlah ada adu kecepatan antara
dromologi saintifik melawan fenomena dromologi kebohongan. Pengenalan fakta ilmiah
seperti ini perlu dilakukan secara masif; digalakkan dalam oleh civitas
akademik; untuk contoh kasus keris di atas bisa dimulai oleh akademisi Islam
ataupun Budayawan. 

Ketika proposal penelitian ilmiah telah mendapat dukungan
moril dan materiil dari berbagai pihak, maka berbagai Karya ilmiah sejenis
Jurnal yang telah kita
  terbitkan dan
terindeks di platform terakreditasi nasional maupun internasional itu
  tentu jangan hanya menjadi bentuk beban kerja
kepentingan kepangkatan dan sertifikasi dan akreditasi kampus atau beserta
  hiasan kepakaran saja. 

Hasil kesimpulannya juga
jangan hanya tersebar di seminarkan dan webinar semacam dalam ruang formil saja,
namun juga perlu dibawa ke ranah awam
 dalam bentuk konten yang menarik di medsos.
Tentu kerja ilmiah ini adalah kerja komunitas, segala upaya gotong royong
antara peneliti, dosen dan mahasiswa dalam sebuah program kampus.

Tentu strategi dromologi saintifik
ini ujungnya adalah hadirnya
influencer ilmiah yang sukses tidak hanya di
dunia kampus namun mampu berkiprah di dunia maya. Para dosen muda sangat besar
berpeluang membantu pemerintah mendesain algoritma di internet yang bisa
dijadikan proposal pembentukan kebijakan; dengan alasan untuk mencegah
pembodohan, perpecahan, dan disintegrasi sosial. 

Untuk menunjang Tri Dharma
pendidikan ini, tentu perlu sistem yang apik dari hulu ke hilir, langkah
vaksinasi dengan dromologi saintifik ini bisa dimulai dari kampus. Lalu siapa
pun bisa membangun generasi muda yang moderat anti hoax. Bukankah
 
Kita bersama sudah seharusnya sepakat bahwa
dalam rangka memenuhi hajatan inilah program merdeka belajar ini diluncurkan?
Yaitu memerdekakan masyarakat dari dromologi kebohongan
.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal &
Universitas PTIQ Jakarta)


Baca...  Universitas Muhammadiyah Jakarta: Info Pendaftaran, Biaya dan Beasiswa Tahun 2022
2367 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Pendidikan

Dasar-dasar Teologi Islam dalam Pendidikan : Perspektif NU dan Muhammadiyah

2 Mins read
Pendidikan merupakan salah satu bidang penting yang menjadi fokus utama dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan…
Pendidikan

Rendahnya Minat Baca Generasi Milenial

2 Mins read
Tak bisa dipungkiri bahwa generasi milenial memiliki minat baca yang sangat rendah; namun, mereka memiliki minat yang sangat besar dalam membaca media…
Pendidikan

Membongkar Mitos: Apakah Gelar Sarjana Masih Relevan di Era Digital ?

3 Mins read
Di tengah arus perubahan yang dipicu oleh revolusi digital, pandangan masyarakat terhadap pendidikan formal mulai bergeser. Gelar sarjana yang dulu dianggap sebagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights