Pada perayaan ulang tahun Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto menyentil kelemahan pelaksanaan pilkada langsung selama ini. Orang nomor satu di Indonesia itu mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Presiden Prabowo menyatakan bahwa pelaksanaan pilkada saat ini sangat menguras anggaran negara.
Itu sebabnya, di penghujung tahun, tampaknya para pemimpin partai politik sangat memperhatikan wacana perubahan sistem pilkada ini. Melansir dari laman Detiknews, PAN setuju untuk mengembalikan pilkada ke sistem awal.
Dengan kata lain, kepala daerah cukup dipilih oleh anggota DPRD. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kesepakatan antarpartai politik. Selain itu, jangan biarkan masyarakat terbelah oleh pro dan kontra saat wacana ini digulirkan. Pasalnya, setiap diskusi tentang UU Pilkada kerap memicu kegaduhan nasional yang besar.
Presiden Prabowo dan pimpinan partai telah memaparkan sejumlah alasan terkait kelemahan pelaksanaan pilkada selama ini. Pengeluaran politik yang mahal bukan satu-satunya masalah; ada masalah mendasar yang terus-menerus menyebabkan tingginya biaya pilkada.
Jika ditelisik lebih jauh, masalah pilkada sebenarnya terletak pada kualitas partai politik yang semakin memburuk. Besarnya jumlah calon yang diusulkan partai politik dalam perhelatan pilkada menunjukkan hal ini. Pada akhirnya, pilkada yang seharusnya menjadi pesta rakyat, berubah menjadi pesta kaum elite yang berusaha mengeruk keuntungan darinya.
Kegagalan Politik Partai
Peran partai politik sangat penting bagi sistem demokrasi, dari tingkat pusat hingga lokal. Secara strategis, partai politik bertanggung jawab untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik di Indonesia mengatur kedudukan partai politik dan memberikan amanat terkait keberlangsungan demokrasi serta stabilitas negara.
Namun, kenyataannya, partai politik belum berhasil menjalankan demokrasi di daerah dengan baik. Para pemimpin partai sering kali hanya sibuk dengan hal-hal yang tidak memengaruhi negara secara substansial. Hal ini diperkuat ketika kondisi partai politik tidak memungkinkan terjadinya proses kaderisasi yang efektif.
Setiap partai semestinya memiliki jadwal untuk kaderisasi; ini bukan tugas kecil yang bisa diselesaikan dalam semalam. Idealnya, partai politik mempersiapkan kadernya sejak lama untuk memastikan kualitas dan kapasitas mereka benar-benar matang saat maju dalam pesta demokrasi lokal.
Mengandalkan metode seremonial tahunan tidak akan cukup untuk menghasilkan kader partai yang berkualitas. Semua anggota partai harus menginvestasikan waktu dan tenaga dalam program ini. Salah satunya adalah kesetiaan terhadap visi-misi dan ideologi partai. Dengan demikian, ketika ditugaskan untuk berkhidmat di pemerintahan daerah, kader tersebut memiliki keyakinan teguh yang tidak mudah dirusak oleh kepentingan yang merugikan rakyat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan partai saat ini kerap hanya menjadi alat administratif. Banyak kader yang maju dalam perhelatan pilkada hanya bergantung pada kedekatan mereka dengan kekuasaan dan pemimpin partai.
Situasi ini berdampak negatif pada pesta demokrasi lokal, salah satunya adalah tingginya biaya politik selama pilkada. Jika kondisi ini terus dipertahankan, masalah yang ada tidak akan terurai, tidak peduli sistem pilkada apa pun yang digunakan.
Selain itu, ketidakjelasan sistem kaderisasi di tubuh partai politik saat ini meningkatkan potensi oligarki dalam rekrutmen politik. Kemudian, muncullah politik kekerabatan. Ini adalah masalah utama yang harus diselesaikan jika ingin pilkada berjalan dengan baik. Dalam keadaan seperti ini, pemimpin yang berkualitas dan memiliki kredibilitas tinggi akan segera tersingkir oleh calon karbitan yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Contoh nyata terjadi di Banten, di mana hampir seluruh posisi kepemimpinan strategis dikuasai oleh politik dinasti (kekerabatan). Pada akhirnya, setelah Ratu Atut Chosiyah—Gubernur Banten saat itu—ditangkap, terungkap bahwa beberapa program dan proyek daerah dilakukan dengan tujuan memperkaya diri dan keluarganya.
Dari situ kita dapat memahami bahwa masalah sebenarnya tidak terletak pada pemilihan langsung, politik uang (money politic), atau jumlah anggaran yang dialokasikan; yang paling krusial adalah ketidakmampuan partai politik untuk melaksanakan proses kaderisasi dan rekrutmen yang matang.
Pragmatisme Partai Politik
Sifat pragmatis adalah masalah lain bagi partai politik saat ini. Pragmatisme adalah keadaan di mana pemilih dan aktor politik memprioritaskan strategi jangka pendek, transaksional, dan sering kali oportunistik daripada komitmen kelembagaan jangka panjang. Sebagai contoh, banyak partai politik mengusung calon legislatif atau kepala daerah yang bukan berasal dari kader internal mereka. Mereka lebih suka mengusung tokoh populer, tokoh lokal, atau bahkan selebritas.
Praktik ini adalah contoh nyata pragmatisme. Karena partai lebih mengutamakan elektabilitas dan peluang kemenangan daripada proses kaderisasi yang matang dan berideologi, aktor politik pragmatis cenderung mengejar kemenangan dan kompromi melalui jalan non-ideologis.
Kemunculan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah adalah contoh lain dari efek negatif sikap pragmatis partai. Ketika koalisi menjadi terlalu gemuk, logika partai politik bergeser dari ideologi dan visi-misi menjadi sekadar transaksi antarpartai. Hal inilah yang menyebabkan fenomena calon tunggal.
Data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan peningkatan jumlah kandidat calon tunggal dari tahun 2015 hingga 2020. Pada Pilkada 2017 ada tiga calon tunggal, sedangkan pada Pilkada 2020 angka ini melonjak menjadi 25 daerah. Dengan kata lain, kemunculan calon tunggal di Pilkada disebabkan oleh ketidakmampuan partai politik untuk menjalankan fungsi demokrasi lokal.
Selama ini, sistem pemilihan diubah sekalipun, mustahil demokrasi lokal berjalan sesuai keinginan rakyat jika akar masalahnya tidak dibenahi. Dalam konteks ini, pemilihan hanya akan menjadi agenda lima tahunan bagi kalangan elite, sementara rakyat hanya dijadikan objek legitimasi dari tindakan mereka.
Sering kali, gagasan tentang pemilihan tidak langsung dianggap sebagai solusi atas berbagai masalah pilkada langsung. Namun, jika dipelajari lebih lanjut, gagasan tersebut mungkin hanyalah solusi semu. Menurut Cecep Hidayat, pengamat politik dari Universitas Indonesia, pilkada tidak langsung tidak akan menghilangkan politik uang, melainkan hanya mengubah bentuknya menjadi politik transaksional di level elit. Jika sebelumnya calon kepala daerah berbicara langsung dengan warga, kini mereka melobi anggota dewan.
Permasalahan utama dalam Pilkada langsung bukanlah pada proses pemilihannya, melainkan kegagalan partai politik dalam menghidupkan kembali fungsi partai sesuai ideologi dan visi-misi mereka.
Jika kualitas dan efisiensi kepemimpinan adalah tujuan utama reformasi Pilkada, perhatian seharusnya diarahkan pada pembenahan partai politik untuk menyiapkan kader berkualitas sebelum berlaga. Dengan demikian, demokrasi lokal tidak akan dikorbankan demi pragmatisme jangka pendek.
Tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki masalah demokrasi lokal Indonesia hanya dengan mengubah mekanisme pilkada. Mekanisme baru belum tentu menjawab masalah, malah bisa menimbulkan masalah baru. Sudah waktunya partai politik berbenah diri.
Meskipun demokrasi selalu memiliki celah, memperbaikinya dengan cara yang keliru adalah pilihan yang salah. Jalan pintas bukanlah solusi jika ingin demokrasi lokal tetap tegak. Sebaliknya, yang diperlukan adalah komitmen bersama untuk memperkuat ideologi partai dan memperbaiki prosedur rekrutmen bagi calon kandidat yang akan maju dalam Pilkada.

