Opini

Retorika yang Tumpul di Atas Penderitaan

4 Mins read

Tidak ada tragedi yang benar-benar sunyi. Bahkan ketika sirene berhenti dan banjir mulai surut, desis lumpur, derak kayu patah, atau sekadar desah orang-orang yang mencoba mencari nama-nama yang masih belum kembali. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, suara-suara itu masih memenuhi udara ketika seorang pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pernyataan yang terasa mengambang di atas segala kedukaan: bahwa bencana besar kali ini adalah “momen baik” untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan lingkungan.

Dalam siaran pers dan pernyataan publiknya pada 29 November 2025, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan: “Kami mendapatkan momentum yang baik – karena semua mata melihat, semua telinga mendengar, dan semua kita merasakan apa yang terjadi.” Ia juga menegaskan bahwa bencana ini harus dijadikan titik balik: “kami menyampaikan duka cita yang mendalam … tetapi ini juga momentum tepat untuk mengevaluasi kebijakan, introspeksi terhadap pengelolaan hutan dan lingkungan hidup.”

Kalimat itu, tentu saja, dapat dimaklumi dalam konteks politik kebijakan: setiap tragedi memang memberi ruang untuk introspeksi dan perbaikan. Tetapi kata-kata memiliki bobot moral tertentu. Di negeri yang hampir setiap tahun didera banjir, longsor, dan gelombang besar, menyebut sebuah bencana yang merenggut nyawa sebagai “momen baik” adalah seperti berdiri terlalu dekat dengan luka yang masih basah.

Data BNPB menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem yang melanda Sumatra kali ini bukan sekadar insiden meteorologis. Dalam rentang waktu 48 jam, intensitas hujan di sejumlah titik mencapai lebih dari 200 mm-kategori extreme precipitation event, jenis hujan yang kerap memicu banjir bandang. Namun data keterpaparan ekologis memperlihatkan bahwa lebih dari 35 persen wilayah DAS di kawasan yang terdampak telah mengalami degradasi tutupan hutan dalam 20 tahun terakhir.

Baca...  HSN 2025: Momentum Refleksi dan Aksi

Artinya, air bukan jatuh pada tanah kosong; ia jatuh pada tanah yang kehilangan kemampuan menyerapnya.

Angka-angka ini tentu penting, bahkan mendesak, untuk dibicarakan. Tapi angka tidak pernah berdiri sendiri. Di balik setiap persen lahan yang hilang, ada keluarga yang kehilangan rumah. Di balik setiap hektare hutan yang gundul, ada seorang ibu yang kini menunggu kabar anaknya yang terseret arus.

Ketika aparat setempat melaporkan puluhan meninggal, ratusan mengungsi, dan ribuan rumah rusak berat, publik tidak sedang mencari “momen baik”. Publik mencari empati, kejujuran, dan sikap kepemimpinan yang mampu merasakan kedukaan sebelum merancang koreksi kebijakan. Bencana bukanlah seminar. Ia adalah pertemuan paling telanjang antara manusia dan kerentanannya.

Para ahli kebijakan sering menyebut bahwa framing adalah segalanya. Cara kita menamai sesuatu dapat mengubah bagaimana publik memaknainya. Dalam jurnalisme modern, pergeseran makna akibat bahasa yang tidak selaras dengan konteks dianggap sebagai kegagalan etis. Pernyataan seorang pejabat negara bukan sekadar pernyataan; ia adalah lensa tempat publik memahami realitas.

Ketika tragedi diberi bingkai “momen baik”, ada dua bahaya yang mengintai. Pertama, normalisasi bencana sebagai titik evaluasi rutin-seolah kita membutuhkan korban jiwa agar kebijakan bergerak, seolah perbaikan hanya bisa berlangsung di atas puing. Kedua, penghilangan dimensi duka ketika bahasa terlalu cepat melompat ke agenda reformasi, penderitaan manusia di lapangan menjadi latar, bukan inti.

Kita tentu membutuhkan kritik konstruktif atas pengelolaan hutan. Kita membutuhkan kebijakan baru, audit izin, restorasi DAS, penguatan lembaga adat, dan mekanisme pengawasan independen. Itu tidak perlu dibantah. Tetapi menyebut bencana sebagai “momen baik” menyiratkan bahwa tragedi adalah syarat bagi perubahan. Ini cara berpikir yang harus dikoreksi.

Dalam etika publik, ada satu aturan sederhana: penderitaan harus disebut sebagai penderitaan terlebih dahulu, sebelum ia diproyeksikan menjadi fungsi dari analisis teknokratis.

Baca...  Menjawab Stigma Wanita Belum Siap Berjilbab

Ketika hutan yang hilang akhirnya ‘berbicara’

Selama puluhan tahun, Sumatra bukan hanya pulau; ia adalah laboratorium ekologi yang terus ditarik oleh dua kekuatan: ekonomi dan lingkungan. Dari tahun 2000 sampai 2020, Global Forest Watch mencatat hilangnya lebih dari 6,5 juta hektare hutan di Sumatra-sebuah angka yang cukup untuk mengubah hidrologi dan lanskap pulau secara permanen.

DAS yang dulunya stabil kini rapuh. Sungai-sungai yang dulu mengalir tenang kini mudah meluap. Dengan hilangnya tutupan vegetasi, air tidak lagi meresap, membawa kayu, lumpur, dan batu ke perkampungan di bawahnya.

Fenomena gelondongan kayu besar yang menghantam permukiman di sejumlah titik pascabencana bukanlah misteri ekologis; ia adalah pesan keras dari hulu yang rusak. Bahkan ketika pihak kementerian berusaha mengoreksi spekulasi publik perihal asal-usul kayu tersebut, sulit menepis kenyataan bahwa kerusakan lingkungan telah menjadi faktor penting dalam memperburuk skala tragedi.

Hal inilah yang membuat pernyataan “momen baik” terdengar janggal. Sebab bencana itu sendiri adalah hasil akumulasi kegagalan. Bagaimana mungkin kegagalan yang menelan korban kemudian dibingkai sebagai peluang?

Bencana tidak pernah netral; ia selalu politis

Ada kecenderungan baru dalam wacana publik kita: menganggap bencana sebagai akibat murni dari cuaca ekstrem. Padahal, hujan ekstrem hanyalah pemicu-sementara yang menentukan skala kerusakan adalah kondisi ekologis dan kebijakan tata ruang.

Dengan kata lain, bencana adalah hasil akhir dari keputusan manusia.

Ketika tutupan hutan di hulu digantikan kebun monokultur, kita menciptakan jalur air yang lebih cepat dan lebih liar. Ketika izin pembukaan lahan diberikan dengan prosedur longgar, kita menyiapkan tanah bagi longsor. Ketika pengawasan lemah, kita membiarkan sungai mengalami sedimentasi berlebihan.

Karena itu, menyebut bencana sebagai “momen baik” berarti mengabaikan bahwa momen tersebut adalah konsekuensi dari kelalaian. Bukan hadiah, bukan momentum, bukan jendela kesempatan. Ia adalah peringatan keras. Dan peringatan keras tidak perlu diberi nama manis.

Baca...  Manajemen Masjid dalam Kritik Refleksi Isra’ Mikraj

Di Aceh Barat Daya, seorang ayah masih mencari anak bungsunya yang hanyut dalam arus. Di Agam, seorang perempuan tua memegang foto anak dan menantunya. Di Deli Serdang, seorang laki-laki muda hanya duduk di dekat puing dan berkata pelan, “Saya tidak punya kata lagi.”

Apakah mereka melihat tragedi ini sebagai “momen baik”? Pertanyaan itu sendiri terasa tidak pantas.

Bahasa pejabat lahir dari ruang rapat yang steril. Tetapi bahasa korban lahir dari tanah yang bau lumpur. Dua bahasa ini jarang bertemu. Maka pejabat publik memiliki tanggung jawab moral untuk menjembatani jarak itu bukan memperlebar.

Ketika seorang pejabat membingkai tragedi sebagai “momen baik”, ia melewatkan tahapan penting: pengakuan atas duka masyarakat. Dalam konteks administrasi mungkin kecil, tapi dalam konteks kepercayaan publik, sangat besar.

Kritik terhadap pernyataan ini bukan upaya menjatuhkan lembaga, melainkan menjaga etika publik agar tetap pada koridor yang benar. Kita memerlukan kementerian yang kuat dan kebijakan pengelolaan hutan yang ambisius. Tetapi kita juga memerlukan sensitivitas sosial yang selaras dengan skala tragedi.

Bahasa yang buruk dapat mengikis kepercayaan publik lebih cepat daripada kesalahan teknis. Kita memerlukan cara baru berbicara tentang bencana: Letakkan manusia di pusat narasi. Jangan romantisasi tragedi.

Jika ada “momen baik”, carilah di hulu di meja kebijakan, di ruang audit, di sekolah perhutanan, di desa-desa penjaga hutan. Bukan pada hari ketika air membawa rumah dan nama-nama pergi. Di hadapan tragedi, yang paling baik yang dapat kita lakukan adalah menjadi manusia terlebih dahulu.

22 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Dari Papan Tulis ke Playlist: Lagu Viral, Senjata Rahasia Kuasai Bahasa Inggris!

3 Mins read
Mendengarkan lagu adalah suatu kegiatan yang biasa dilakukan banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. Jika sudah menyukai sebuah lagu, pasti kita akan sering…
OpiniPolitik

Ketidakpastian dalam Pilkada Tidak Langsung

4 Mins read
Pada perayaan ulang tahun Partai Golkar, Presiden Prabowo Subianto menyentil kelemahan pelaksanaan pilkada langsung selama ini. Orang nomor satu di Indonesia itu…
Opini

Apa Pendapat Kita Tentang PBNU?

2 Mins read
Peristiwa yang terjadi di PBNU hari ini sering dibahas bahkan digoreng di media-media sosial. Banyak komentar muncul, termasuk simpati, himbauan, saran, tak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanTafsir

Dekonstruksi Akidah dalam Tafsir Babiyah dan Bahaiyah

Verified by MonsterInsights