Opini

Manajemen Masjid dalam Kritik Refleksi Isra’ Mikraj

6 Mins read

Peringatan peristiwa Isra’ Mikraj sering kali hanya dikemas sebagai ritual seremonial, padahal esensinya adalah transformasi spiritual melalui perintah salat yang seharusnya berdampak pada perubahan sosial. Ironisnya, masjid sebagai institusi penerus nilai-nilai Isra’ Mi’raj justru terjebak dalam manajemen yang tidak profesional, Perspektif yang sempit, dan program-program yang tidak menyentuh realitas kekinian.

Realita di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar masjid di Indonesia masih berkutat pada aktivitas ritual tanpa inovasi program yang signifikan. Tulisan ini merefleksikan manajemen masjid dalam bingkai Isra’ Mi’raj dan menawarkan agenda rekonstruksi agar masjid kembali menjadi epicentrum peradaban Islam.

Disfungsi Manajemen Masjid Kontemporer

Mayoritas masjid saat ini masih berfungsi secara terbatas sebagai tempat ibadah ritual dan pengajian konvensional. Temuan penelitian di Banjarmasin mengonfirmasi bahwa manajemen masjid yang ada belum secara signifikan berdampak langsung pada peningkatan kualitas layanan, yang mengindikasikan fokus kegiatan yang masih bersifat rutin dan non empowering (Jaya, 2023).

Fenomena ini tidak hanya terjadi di masjid-masjid kecil di pedesaan, tetapi juga di kota-kota besar dimana seharusnya modernisasi management sudah dapat diimplementasikan. Generasi Z dan milenial yang seharusnya menjadi penerus estafet, justru menjauhi masjid karena dianggap tidak relevan dengan kehidupan mereka. Riset sintesis terhadap masjid kampus menunjukkan bahwa minimnya program yang sistematis dan menarik bagi kaum muda menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi mereka (Hadi et al., 2025).

Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa banyak masjid kampus, yang seharusnya menjadi contoh inovasi dan pusat pengembangan keagamaan, masih terjebak pada pola pembinaan yang tidak terstruktur dengan baik dan tidak terintegrasi dalam sistem pengembangan karakter perguruan tinggi.

Masalah mendasar lainnya adalah kesenjangan antara idealitas dan realitas fungsi masjid. Secara konseptual, masjid seharusnya menjadi pusat peradaban yang membumi, menjawab tantangan sosial, dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak masjid justru berubah menjadi “menara gading” yang terisolasi dari komunitas sekitar, dengan fokus kegiatan yang masih terbatas pada ritual dan pengajian konvensional.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di masjid-masjid kecil di pedesaan, tetapi juga di kota-kota besar, bahkan di masjid kampus yang seharusnya lebih progresif. Banyak masjid dengan bangunan yang megah, namun miskin akan kegiatan pemberdayaan yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Padahal, sejarah mencatat bahwa masjid pada zaman Rasulullah SAW adalah pusat aktivitas umat yang sangat dinamis dan progresif, yang menggerakkan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga ekonomi.

Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan zaman, masjid perlu bertransformasi menjadi lebih dari sekadar tempat ibadah ritual, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan sosial yang relevan dengan kebutuhan generasi masa kini.

Tradisionalisme dan Resistensi Terhadap Perubahan

Berdasarkan kajian literatur, problem utama pengelolaan masjid seringkali terletak pada manajemen yang masih tradisional dan elitis, dengan pengurus (takmir) yang didominasi kalangan berusia lanjut sehingga sulit menerima inovasi. Sistem regenerasi yang tidak jelas dan pola rekrutmen tertutup berdasarkan hubungan personal, yang kerap menjadikan masjid seperti hak waris keluarga, memperparah kondisi ini, menghambat terobosan program, dan menyebabkan masjid kehilangan energi segar dari kaum muda (Najmudin & Bayinah, 2022).

Baca...  Komunikasi Nonverbal, Budaya Pop, dan Kritik Sosial

Di sisi lain, akuntabilitas keuangan juga menjadi persoalan kronis, di mana laporan keuangan masih sangat sederhana, tidak memenuhi standar akuntansi nirlaba seperti ISAK 35, dan berpotensi mengikis kepercayaan publik (Fauziyyah & Afifah, 2024).

Digitalisasi manajemen masjid hadir sebagai solusi strategis untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Menurut Saefudin et al. (2022) bahwa pemanfaatan teknologi, seperti media sosial, aplikasi keuangan digital, dan QRIS, telah mentransformasi komunikasi menjadi lebih dinamis serta meningkatkan akuntabilitas melalui pelaporan keuangan digital yang terbuka.

Namun, implementasi digitalisasi tidak lepas dari tantangan, terutama rendahnya literasi digital di kalangan pengurus yang menyebabkan beban kerja teknologi hanya ditanggung segelintir orang, serta partisipasi generasi muda yang masih perlu ditingkatkan meski upaya melalui konten kreatif di platform digital mulai menunjukkan hasil positif.

Dengan demikian, penguatan kapasitas pengurus dan integrasi teknologi yang inklusif menjadi kunci transformasi menuju tata kelola masjid yang akuntabel, partisipatif, dan berkelanjutan.

Dampak: Keterputusan Generasi dan Hilangnya Relevansi Sosial

Generasi Z sebagai generasi digital native memiliki karakteristik unik yang berpikir kritis, menyukai ruang partisipatif, serta cenderung skeptis terhadap otoritas yang tidak relevan. Mereka merespons dakwah secara dinamis dan terbuka terhadap perbedaan, namun membutuhkan pendekatan yang kontekstual, komunikatif, dan kolaboratif (Iman & Muhid, 2025).

Studi pada berbagai masjid seperti Masjid Pemuda Hijrah Bandung, Masjid Salman ITB, dan Masjid Pemuda Konsulat Surabaya menunjukkan bahwa strategi efektif untuk menjangkau Gen-Z meliputi pelibatan aktif pemuda sebagai subjek dakwah, produksi konten kreatif seperti podcast dakwah dan video pendek, serta penyelenggaraan program yang relevan dengan isu-isu aktual seperti kesehatan mental, keadilan sosial, dan krisis ekologi.

Pendekatan partisipatif ini tidak hanya meningkatkan keterlibatan Gen-Z, tetapi juga mentransformasi masjid menjadi ruang sosial yang inklusif dan relevan dengan realitas kehidupan generasi muda, sekaligus mengatasi kecenderungan materi kajian yang selama ini bersifat normatif-tekstual dan kurang menyentuh persoalan hidup mereka sehari-hari. Akibatnya, terjadi keterputusan estafet yang mengancam masa depan masjid sebagai institusi peradaban.

Banyak pemuda yang merasa tidak nyaman dengan atmosfer masjid yang dianggap terlalu formal dan kaku. Mereka lebih memilih forum-forum diskusi informal di kafe atau platform digital untuk mendiskusikan persoalan keagamaan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin dalam satu atau dua dekade ke depan masjid akan kehilangan peran signifikannya dalam masyarakat.

Dampak lebih luas adalah memudarnya peran masjid sebagai agent of social change. Masjid yang seharusnya menjadi motor penggerak perubahan sosial justru terpinggirkan dalam percaturan masyarakat modern. Program-program masjid tidak lagi menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan masyarakat kontemporer. Padahal, dalam sejarah Islam, masjid selalu menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan zaman.

Baca...  Tafsir Hijrah Sebagai Refleksi Akhir Tahun Agar Lebih Baik

Transformasi Menuju Masjid Profesional dan Berkelanjutan

Pertama, professionalisasi manajemen dengan merekrut pengurus yang kompeten dari berbagai latar belakang, termasuk kaum muda, dengan sistem yang transparan dan akuntabel (Listiani et al., 2024). Pengurus masjid perlu dibentuk melalui mekanisme rekrutmen yang terbuka dan kompetitif, dengan mempertimbangkan kompetensi dan kapabilitas. Struktur organisasi yang jelas dengan job description yang terukur akan memudahkan evaluasi kinerja.

Kedua, diversifikasi program yang meliputi layanan konseling keluarga, kursus keterampilan, bantuan hukum, dan pemberdayaan ekonomi umat (Iman & Muhid, 2025). Program-program masjid harus dirancang untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat sekitar. Misalnya, dengan membuka klinik kesehatan gratis, layanan bantuan hukum, atau program pelatihan kewirausahaan bagi pemuda. Hal ini akan mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat peradaban sebagaimana pada masa Rasulullah SAW.

Ketiga, optimasi teknologi dengan digitalisasi pembayaran infak-zakat dan platform diskusi online (Ridwan et al., 2025). Masjid harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan efisiensi pelayanan. Pengembangan aplikasi masjid yang terintegrasi dapat memudahkan jamaah untuk mengakses informasi, berpartisipasi dalam kegiatan, dan berkontribusi secara finansial.

Keempat, pendekatan kultural yang memadukan nilai-nilai Islam dengan seni dan budaya lokal (Rafiq, 2024). Masjid perlu membuka diri terhadap ekspresi kesenian yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pendekatan ini akan membuat masjid lebih ramah terhadap kelompok seni dan budaya, sekaligus menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.

Revitalisasi Fungsi Sejarah: Belajar dari Masa Lalu untuk Membangun Masa Depan

Sejarah Islam mencatat masjid pada era Nabi Muhammad SAW berfungsi secara multifaset sebagai pusat pendidikan, pengadilan, kesehatan, dan penyelesaian sengketa masyarakat (Effendi & Saifudin, 2022; Ramadhan et al., 2019) Masjid Nabawi tidak hanya digunakan untuk shalat, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah SAW menerima duta dari berbagai negara, mengadili perkara, hingga merawat korban perang. Model inilah yang harus dihidupkan kembali dengan men-transformasi masjid menjadi community center yang melayani berbagai kebutuhan umat.

Masjid, dalam konteks kekinian, perlu menjadi ruang intelektual tempat generasi muda berdiskusi tentang isu-isu aktual dari perspektif Islam yang kontekstual (Iman & Muhid, 2025). Diskusi-diskusi kontemporer tentang artificial intelligence, sustainable development, digital ethics, dan isu-isu global lainnya perlu diwadahi dalam forum-forum kajian di masjid. Dengan demikian, masjid tidak akan kehilangan relevansinya di tengah derasnya arus perubahan zaman.

Menuju Rekonstruksi Peradaban

Refleksi Isra’ Mi’raj mengajak kita untuk membumikan nilai shalat melalui revitalisasi fungsi masjid. Saatnya melakukan koreksi total terhadap manajemen masjid, merubahnya dari sekadar tempat sujud menjadi pusat gerakan sosial, intelektual, dan kultural. Transformasi ini bukanlah pilihan, melainkan keharusan jika kita ingin mempertahankan relevansi masjid di era disruptif seperti sekarang.

Baca...  Relasi Antara Ajaran-ajaran Dasar Kristen dan Islam

Hanya dengan manajemen yang profesional, inklusif, dan visioner, masjid akan kembali bersinar sebagai pembangun peradaban Islam yang relevan sepanjang zaman. Mari wujudkan masjid sebagai rumah peradaban yang memeluk semua generasi, menjawab segala tantangan, dan menjadi mercusuar kemajuan umat. Sebagaimana pesan Isra’ Mi’raj, mari kita tinggikan spiritualitas dan perluas kontribusi sosial melalui masjid yang transformatif dan berdaya guna bagi semesta.

Daftar Pustaka

Effendi, B., & Saifudin, A. G. (2022). Optimalisasi Fungsi Masjid Sebagai Sarana Dakwah dan. Journal of Islamic Economics and Finance, 2(2), 12–23.

Fauziyyah, N., & Afifah, Z. (2024). Transparansi, akuntabilitas, dan pelaporan keuangan masjid. Jurnal Manajemen Dan Pemberdayaan Umat, 10(1), 64–74.

Hadi, A., Nugraha, R., Bandung, P., Mosque, C., Development, R., & Education, N. (2025). Islamic Education in University Mosques : The Role of Campus Mosques in Shaping Students ’ Religious Development Introduction Campus mosques hold a strategic position in shaping students ’ Islamic character within public universities . A mosque is not mer. Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 28(1), 145–164.

Iman, A. K., & Muhid, A. (2025). Dakwah Berbasis Komunitas : Mengoptimalkan Fungsi Masjid Sebagai Pusat Pembinaan Gen-Z. Qulubuna: Jurnal Manajemen Dakwah, 6(1), 235–252. https://doi.org/10.54396/qlb.v6i1.1999

Jaya, F. P. (2023). REVIEW OF COMMUNITY EMPOWERMENT AND YOUTH INTEREST IN MOSQUES : FOCUS ON MANAGING AND IMPROVING SERVICE. International Journal of Economics, Business and Accounting Research (IJEBAR) Peer Reviewed, 2023(2), 1–17.

Listiani, A., Fitri, A. A., Sobirin, & Astuti4, E. Z. L. (2024). ADDRESSING INTERGENERATIONAL COLLABORATION CHALLENGES: CREATIVE SOLUTIONS IN COMMUNITY-BASED MOSQUE MANAGEMENT. 5(2), 63–74.

Najmudin, F., & Bayinah, N. (2022). KOMPETENSI TAKMIR DALAM MENJAGA KUALITAS LAPORAN KEUANGAN MASJID : TELAAH LITERATUR. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Islam, 10(2), 129–148.

Rafiq, M. (2024). Dalihan Na Tolu in Da ’ wah Communication : Strengthening Social Cohesion in Panyabungan , Indonesia. Muharrik: Jurnal Dakwah Dan Sosial, 7(2), 155–181. https://doi.org/10.37680/muharrik.v7i2.5809

Ramadhan, A., Hasanah, I., & Hakim, R. (2019). Potret Masjid Sebagai Basis Pemberdayaan Ekonomi Umat Pendahuluan. Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah, 4(1), 31–49.

Ridwan, M., Rewira, A. E., & Saefuddin, A. (2025). Digitalisasi Manajemen Masjid Dalam Membangun Efisiensi dan Transparansi Pengelolaan. Ad-Da’wah: Jurnal Dakwah; Komunikasi Dan Penyiaran, 23(2), 49–62.

Saefudin, N. A., Alfi, A. S., & Radiamoda, A. M. (2022). Nafkah Madyiyah for Children in Supreme Court Plenary Session 2019 as a Reform of Islamic Family Law in Indonesia. Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 20(1), 64–76. https://doi.org/10.32694/qst.v20i1.1623

1 posts

About author
Dosen dan Kertua Masjid Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Articles
Related posts
Opini

Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia

3 Mins read
Korupsi merupakan penyalahgunaan keuangan instansi dalam berbagai hal. Di Indonesia, korupsi sudah menjadi layaknya sebuah budaya yang mengakar dalam kehidupan para pejabat…
Opini

Komunikasi Nonverbal, Budaya Pop, dan Kritik Sosial

6 Mins read
Di Indonesia, protes tidak selalu turun dalam bentuk barisan massa, spanduk raksasa, atau pidato keras di depan gedung pemerintahan. Sering kali, kritik…
Opini

Menertawakan Kesombongan Intelektual

3 Mins read
Kadang saya merasa dunia ini terlalu sibuk berpikir. Semua orang ingin menjelaskan sesuatu, membenarkan sesuatu, bahkan menafsirkan sesuatu. Kita hidup di tengah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Makna Ahlul Bayt dalam Tafsir Syiah dan Sunni

Verified by MonsterInsights