Sumber gambar : Republika |
Para Estate Manager diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan kinerja kebunnya selama 3 bulan. Momen review ini sering kali jadi ajang “pembantaian” bos (direksi) kalau kinerja kebunnya tidak bagus, produksi tidak mencapai target, kebun tidak teratur, banyak fraud dan cost tinggi. Biasanya, jika presenter pertama kinerjanya jelek, ditambah sang manajer tidak pandai menjelaskan alasannya, habislah sudah dimarah-marahi bos. Dan setelah itu, presenter kedua dan seterusnya, mau bagus mau tidak, hawa bos marah masih tetap terus terasa sampai review berakhir.
Tapi kalau presenter pertama kinerja kebunnya bagus, slide presentasinya oke, juga dia mampu menjelaskan kondisi kebunnya secara detil, bos senang. Presenter-presenter dari kebun berikutnya lewat saja meskipun ada kurang di sana sini. Maka, biasanya kami mengatur siapa Estate Manager yang maju duluan. Kebun yang kinerjanya jelek kala itu diminta untuk terakhir saja presentasinya. Kalau perlu diatur dia datangnya terlambat dan sebagainya. Itu dulu, entah pengganti saya masih melakukan hal yang sama atau tidak.
Ilustrasi di atas dapat dijadikan pelajaran ketika nanti kita menghadapi yaumul hisab (hari perhitungan amal) di akhirat kelak. Mirip-mirip seperti review di atas. Amal perbuatan kita ibarat kinerja (performance) kebun-kebun itu. Ada amal tertentu yang jika itu baik, maka amal lain akan dianggap baik. Jika amal yang satu itu jelek, maka amal lain akan dianggap jelek. Apakah itu? Ialah shalat. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Amal seseorang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Bila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya. Sebaliknya, jika jelek maka jelek pulalah seluruh amalnya.” (HR Thabrani)
Dalam Islam, shalat adalah tiang agama. Shalat adalah hal yang sangat penting dalam kemusliman seseorang. Seorang muslim yang tidak shalat diragukan kemusliminannya, meskipun ia rajin puasa Senin-Kamis, rajin sedekah dan berperilaku baik. Bahkan, Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda bahwa beda muslim dan non-muslim adalah shalat. Jadi kalau muslim tapi tidak shalat, apalagi menentang hukum shalat (katanya cukup eling dan berperilaku baik saja, tidak perlu shalat), maka ia telah kafir meskipun KTP-nya Islam.
Shalat adalah perintah Allah yang diberikan kepada seluruh nabi termasuk Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Kita termasuk umatnya juga harus melaksanakan, tanpa terkecuali. Hanya ibadah shalatlah yang tidak bisa ditinggalkan dengan kondisi apapun. Jika tidak kuat berdiri karena sakit maka boleh duduk. Jika tidak kuat duduk maka boleh berbaring. Jika tidak bisa berbaring, maka cukup dengan gerakan mata atau anggota tubuh. Kalau semua sudah tidak sanggup, ya—kata Pak Haji, dishalatkan saja, alias sudah mati. Artinya, apapun keadaannya shalat tidak boleh ditinggalkan.
Untuk itu, Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam pun memberikan keringanan. Misalkan jika sedang perjalanan atau hujan deras, bisa digabung shalatnya. Jika sedang dalam peperangan maka shalat jamaahnya diatur dengan shalat yang disebut dengan shalat khauf. Jika lupa atau tertidur maka boleh shalat diqadha’. Termasuk dalam kondisi pandemi, di mana masjid-masjid ditutup sementara agar tidak menjadi tempat penularan COVID-19 kita diperbolehkan tidak shalat jamaah di masjid dan tinggal di rumah.
Tapi tidak kemudian libur shalatnya. Yang libur itu tidak shalat di masjid, tapi shalat di rumah tepat waktu bersama anggota keluarga tetap dilaksanakan. Justru shalat di rumah dalam kondisi saat pandemi ini banyak manfaatnya karena sebagai kepala keluarga kita terbukti mampu memimpin shalat, menjadi imam bagi keluarga, baik di dalam maupun di luar shalat. Bagus lagi setelah selesai shalat jamaah kita kasih taushiyah ke istri dan anak-anak yang menjadi jamaah kita.
Semua keringanan tersebut diberikan agar umat Islam tidak sedikitpun meninggalkan shalat. Jika sudah banyak keringanan masih meninggalkan, apalagi hanya karena alasan malas, sungguh keterlaluan. Oleh karena itu, wajar jika Allah menjadikan ibadah shalat sebagai ibadah paling awal yang dilihat kualitas dan kuantitasnya.
Mengapa ibadah shalat yang dipilih sebagai ibadah awal untuk “diperiksa” di hari akhir kelak? Sebab, shalat adalah ibadah ritual yang menghubungkan dan mengkomunikasikan manusia dengan Tuhan. Dengan shalat, maka konektivitas antara seorang hamba dengan Tuhannya terus terjadi. Orang yang shalat tidak akan lupa akan Allah, karena ia terus berkomunikasi. Apalagi jika ditambah dengan shalat-shalat sunnah, dalam 24 jam ia “bertemu” puluhan kali dengan Allah. Bukankah ini sesuatu hal yang luar biasa?
Maka, baguskanlah ibadah shalat kita. Pelajari hukum-hukumnya sesuai dengan mazhab yang kita anut dan kerjakan dengan penuh kekhusyukan. Jadikan shalat kita ini sebagai amalan terbaik kita yang dapat menyelamatkan kita dunia dan di akhirat. Allah berfirman, “Minta tolonglah kalian dengan kesabaran dan shalat.” Dengan shalat, Allah akan menolong dan melindungi kita di masa pandemi COVID-19 ini.
Dengan shalat yang baik maka ia akan menjadi “panglima” bagi amal-amal kita yang lain, yang mungkin kurang sempurna. Dengan “panglima amal yang baik ini” Allah sempurnakannya. Amiin.
Oleh: Dr. Budi Handrianto, M.Pd.I (Ketua Bidang Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)