Krisis tiga planet atau triple planetary crisis adalah istilah yang merujuk pada tiga tantangan utama yang dihadapi oleh Bumi saat ini, yaitu perubahan iklim, pencemaran, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Ketiga isu ini tidak terpisah, tetapi saling berhubungan dan memperburuk kondisi satu sama lain, menghasilkan ancaman serius bagi kehidupan manusia serta kelangsungan ekosistem di seluruh dunia.
Perubahan iklim, contohnya, terjadi karena peningkatan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penebangan hutan, yang menyebabkan pemanasan global. Sebagai hasilnya, suhu rata-rata planet meningkat, yang menyebabkan fenomena seperti kenaikan permukaan laut, perubahan pola cuaca yang ekstrem, serta pencairan es di daerah kutub. Kondisi ini tidak hanya membahayakan habitat alami berbagai spesies, tetapi juga berdampak pada ketahanan pangan, kesehatan, dan infrastruktur masyarakat.
Polusi, sebagai faktor kedua dari krisis ini, meliputi pencemaran udara, air, dan tanah yang diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti industri, sampah rumah tangga, dan pemakaian bahan kimia berbahaya. Polusi udara, contohnya, tidak hanya memiliki efek negatif pada kesehatan manusia dengan meningkatkan kemungkinan penyakit pernapasan dan jantung, tetapi juga memperparah perubahan iklim lewat emisi karbon dioksida dan metana.
Pencemaran air membahayakan ketersediaan air bersih, merusak ekosistem perairan, dan mengurangi jumlah spesies yang bergantung pada air untuk kelangsungan hidup. Sementara itu, pencemaran tanah yang disebabkan oleh pemakaian pestisida dan limbah berbahaya mengurangi kesuburan tanah, menghalangi pertumbuhan tanaman, dan memperburuk krisis pangan di seluruh dunia. Polusi juga berkontribusi dalam mempercepat berkurangnya keanekaragaman hayati, faktor ketiga dari krisis tiga planet ini.
Kehilangan keanekaragaman hayati adalah akibat langsung dari berbagai aktivitas manusia yang merusak lingkungan alami, seperti penebangan hutan, pembangunan kota, dan pemanfaatan berlebihan sumber daya alam. Saat beberapa spesies mengalami kepunahan atau penurunan populasi yang signifikan, ekosistem menjadi terganggu, yang kemudian berdampak pada stabilitas lingkungan secara keseluruhan.
Keanekaragaman hayati berperan krusial dalam memberikan layanan ekosistem, seperti penyerbukan flora, pembersihan air, dan pengendalian hama. Kehilangannya tidak hanya menunjukkan bahwa kita kehilangan warisan alam yang sangat berharga, tetapi juga menghadapi risiko terhadap ketahanan pangan, kesehatan, dan ekonomi dunia.
Yang membuat krisis tiga planet ini menjadi lebih kompleks adalah cara ketiga planet itu saling memperkuat satu sama lain. Kontaminasi, misalnya, dapat memicu perubahan iklim melalui peningkatan emisi gas rumah kaca, sementara perubahan iklim juga dapat memperparah pencemaran, seperti dengan bertambahnya frekuensi kebakaran hutan yang melepaskan partikel berbahaya ke udara.
Kehilangan keanekaragaman hayati juga berperan dalam pemanasan global, karena hutan yang ditebang (salah satu penyerap karbon utama di bumi) tidak dapat lagi menetralkan emisi karbon. Di sisi lain, perubahan iklim bisa mempercepat hilangnya spesies akibat peningkatan suhu yang tak dapat diterima oleh banyak makhluk hidup. Pada siklus ini, efek buruk dari satu aspek krisis sering kali memperburuk aspek lainnya, menghasilkan tantangan yang sangat rumit dan sukar untuk diatasi.
Dalam menghadapi krisis tiga planet ini, pemahaman tentang pentingnya tindakan bersama menjadi semakin mendesak. Tidak cukup jika hanya pemerintah atau organisasi internasional yang bertindak, namun setiap orang juga harus berpartisipasi melalui cara-cara sederhana seperti mengurangi penggunaan energi, mendaur ulang sampah, atau mendukung produk-produk yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, tindakan besar, seperti peralihan ke energi terbarukan, penguatan kebijakan perlindungan lingkungan, dan pemulihan ekosistem, memerlukan kerjasama internasional yang solid. Dalam konteks ini, generasi muda memainkan peran krusial sebagai motor perubahan, dengan memfasilitasi inovasi teknologi ramah lingkungan, mengungkapkan perhatian terhadap alam, serta mendorong kebijakan yang lebih berkelanjutan.
Dengan demikian, krisis tiga planet mengingatkan kita bahwa kita tinggal di planet yang saling berhubungan. Kerusakan pada satu elemen lingkungan akan berdampak pada keseluruhan sistem, termasuk kehidupan manusia yang ada di dalamnya.
Apabila kita tidak cepat bertindak, akibatnya akan semakin besar dan berpotensi menjadi tidak terkontrol di masa yang akan datang. Dengan demikian, dengan menyadari hubungan antara perubahan iklim, pencemaran, dan penurunan keanekaragaman hayati, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang betapa pentingnya menjaga lingkungan. Hanya dengan bekerja sama, tanggung jawab bersama, dan langkah konkret, kita dapat menjamin masa depan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang dan keberlangsungan planet kita.
Perubahan iklim, pencemaran, dan kehilangan keanekaragaman hayati merupakan tiga tantangan utama dalam krisis planetari yang saling berhubungan dan mendesak untuk diselesaikan. Ketiga permasalahan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai alasan, konsekuensi, serta solusi yang dapat diterapkan baik secara global maupun lokal. Indonesia, sebagai negara archipelagic dengan biodiversity yang melimpah, memikul tanggung jawab besar dalam mengatasi krisis ini, khususnya melalui pelaksanaan kebijakan yang sesuai seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta komitmen terhadap perjanjian internasional seperti Paris Agreement.
Perubahan Iklim merupakan salah satu komponen utama dari krisis planetari tripel. Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang terus bertambah karena kegiatan manusia, termasuk industri, transportasi, dan penebangan hutan. Gas-gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) menghasilkan efek rumah kaca, menahan panas di atmosfer bumi dan menaikkan suhu global. Laporan IPCC menyatakan bahwa kegiatan manusia telah mengangkat konsentrasi GRK di atmosfer ke tingkat tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir.
Dampaknya sangat besar, mencakup pemanasan global, perubahan pola cuaca, cuaca ekstrem, peningkatan permukaan laut akibat pencairan es di kutub, serta gangguan pada ekosistem alami. Di Indonesia, perubahan iklim telah berdampak pada berbagai sektor, termasuk pertanian dan perikanan, dengan pola curah hujan yang tidak stabil yang memengaruhi produksi pangan.
Untuk menangani perubahan iklim, solusi yang bisa diterapkan termasuk perpindahan ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa; pengurangan emisi melalui peningkatan teknologi industri dan transportasi; serta penerapan program penanaman kembali hutan. Indonesia, dalam konteks Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC), berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Di samping itu, pemerintah juga meluncurkan program FOLU Net Sink 2030, yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dengan sasaran emisi -140 juta ton setara karbon dioksida. Regulasi yang relevan meliputi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Telah Ditetapkan Secara Nasional serta Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca.
Polusi adalah tantangan besar kedua dalam krisis planetari triple. Pencemaran mencakup berbagai jenis, termasuk pencemaran udara, air, dan tanah. Pencemaran udara biasanya disebabkan oleh emisi dari kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil, dan kegiatan industri. WHO melaporkan bahwa polusi udara mengakibatkan sekitar 7 juta kematian prematur setiap tahun.
Di Indonesia, kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta sering kali tercatat tidak sehat karena tingginya konsentrasi partikel PM2.5. Pencemaran air, di sisi lain, disebabkan oleh limbah rumah tangga dan industri yang tidak dikelola dengan baik, yang mengotori sungai dan lautan. Sementara itu, pencemaran tanah terjadi karena penggunaan pestisida dan bahan kimia berbahaya di bidang pertanian, yang dapat merusak kesuburan tanah dan mencemari sumber air tanah.
Alternatif untuk mengatasi pencemaran meliputi penerapan teknologi yang bersahabat dengan lingkungan, pengelolaan sampah yang efisien, serta pengurangan pemakaian plastik sekali pakai. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah kebijakan, seperti larangan pemakaian kantong plastik di beberapa wilayah dan penguatan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 mengenai Pengelolaan Sampah.
Di samping itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas industri agar limbah mereka tidak merusak lingkungan. Dalam konteks global, Konvensi Basel mengenai Pengendalian Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya juga penting untuk menghentikan masuknya limbah beracun ke negara-negara berkembang.
Kehilangan Keanekaragaman Hayati adalah salah satu aspek terakhir dari krisis planet yang tiga kali lipat dan sama pentingnya. Faktor utama yang menyebabkan masalah ini adalah aktivitas manusia, seperti deforestasi, perburuan tanpa izin, pergantian penggunaan lahan, serta perubahan iklim. Penggundulan hutan untuk memperbesar lahan perkebunan kelapa sawit dan proyek infrastruktur telah menyebabkan hilangnya habitat alami bagi banyak spesies di Indonesia. Menurut WWF, populasi satwa liar global telah menurun sekitar 69% sejak tahun 1970, menunjukkan adanya krisis yang serius dalam keanekaragaman hayati. Di Indonesia, spesies seperti orangutan Kalimantan dan harimau Sumatera terancam punah karena hilangnya habitat dan kegiatan berburu ilegal.
Dampak dari berkurangnya keanekaragaman hayati sangat signifikan, termasuk ketidakseimbangan ekosistem, kehilangan sumber daya genetik yang krusial untuk makanan dan obat, serta meningkatnya risiko bencana alam seperti banjir dan longsor karena menghilangnya tutupan hutan. Alternatif untuk permasalahan ini meliputi perlindungan area konservasi, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta pemulihan ekosistem yang telah terdegradasi. Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menjadi landasan hukum dalam melindungi flora dan fauna yang terancam punah. Selain itu, kolaborasi internasional lewat Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) juga krusial untuk menjamin perlindungan global terhadap spesies yang terancam.
Krisis planetari triple merupakan tantangan besar yang memerlukan tindakan bersama dari berbagai pihak. Pendekatan menyeluruh, meliputi kebijakan yang tegas, peningkatan kesadaran publik, dan kolaborasi global, merupakan kunci untuk menghadapi tantangan ini. Tanpa langkah cepat, konsekuensinya akan menjadi lebih besar, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kehidupan manusia di masa mendatang. Dengan kebijakan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan kolaborasi internasional, kita masih memiliki kesempatan untuk menjaga bumi dari kerusakan.
Krisis planet berlapis tiga, yang meliputi perubahan iklim, pencemaran, dan penurunan keanekaragaman hayati, adalah tantangan global yang membutuhkan perhatian serta tindakan bersama dari semua pihak. Pemerintah, sektor swasta, dan komunitas internasional saling melengkapi dalam upaya menemukan solusi untuk krisis ini. Pemerintah perlu mengambil peran kunci dengan memperkuat kebijakan lingkungan hidup, menjamin penegakan hukum yang ketat, dan mendukung kolaborasi internasional. Contohnya, dengan berkomitmen pada kesepakatan seperti Paris Agreement, negara-negara bisa berkolaborasi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Sementara itu, sektor swasta diharapkan dapat berperan dengan menghadirkan inovasi teknologi yang bersahabat dengan lingkungan serta menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan.
Selain fungsi pemerintah dan sektor swasta, masyarakat internasional juga memiliki tanggung jawab signifikan dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan. Pola konsumsi yang tidak seimbang dan tidak ramah lingkungan perlu segera diperbaiki. Sebagai orang, kita bisa memberi sumbangan melalui tindakan kecil namun berarti, seperti mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, mendukung produk lokal yang berkelanjutan, memanfaatkan transportasi umum, dan menghemat energi. Perubahan perilaku ini tidak hanya menurunkan beban pada sumber daya alam tetapi juga mendorong pergeseran menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Inovasi teknologi memiliki peran krusial dalam mengembangkan solusi untuk masalah ini. Kemajuan teknologi energi terbarukan seperti solar dan angin, teknologi daur ulang limbah, serta sistem pertanian yang lebih efisien dapat menjadi faktor kunci untuk mengatasi isu-isu lingkungan. Di samping itu, peran kolaborasi internasional dalam penelitian dan pengembangan teknologi tidak boleh diabaikan, mengingat luasnya masalah yang berskala global.
Sustainabilitas lingkungan tidak dapat tercapai tanpa kesadaran bersama bahwa setiap orang merupakan bagian dari solusi. Tindakan sederhana yang dilakukan secara teratur oleh banyak individu dapat menghasilkan pengaruh yang signifikan. Dengan demikian, pendidikan lingkungan yang luas dan kampanye kesadaran harus terus ditingkatkan. Masa depan planet kita ada di tangan kita, dan tindakan yang diambil sekarang akan mempengaruhi kualitas hidup generasi yang akan datang. Dengan semangat kolaborasi dan komitmen global, krisis planetari tiga dapat diatasi, dan bumi kita dapat pulih menjadi lingkungan yang lebih baik bagi semua kehidupan.
Referensi
Wulla, D. R. N. D., & Sarjan, M. (2024). Penerapan Prinsip Deklarasi Rio: Strategi Mengatasi Perubahan Iklim. LAMBDA: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA dan Aplikasinya, 4(1), 9-15.
Hellweg, S., Benetto, E., Huijbregts, M. A., Verones, F., & Wood, R. (2023). Life-cycle assessment to guide solutions for the triple planetary crisis. Nature Reviews Earth & Environment, 4(7), 471-486.
Larsen, P. B., & Tararas, K. (2024). Enhancing the right to science: the triple planetary crisis and the need for comprehensive approaches. Frontiers in Sociology, 9, 1406640.
Sjöstedt, B., & Hulme, K. (2023). Re-evaluating international humanitarian law in a triple planetary crisis: New challenges, new tools. International Review of the Red Cross, 105(924), 1238-1266.