Ilustrasi. foto/istockphoto
Kuliahalislam.com Asy’ariyah merupakan salah satu
aliran terpenting dalam teologi Islam, disebut juga aliran Ahlu sunnah waljamaah yang berarti golongan
mayoritas yang sangat teguh berpegang pada Sunnah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam. Nama aliran ini dinisbatkan pada pendirinya Imam Abu Hasan
al-Asy’ari (260 H/873 M-324 H/935 M). Aliran ini muncul pada awal abad ke-9
ketika aliran Muktazilah berada dalam tahap kemunduran.
Aliran ini muncul sebagai reaksi
terhadap paham Muktazilah yang dianggap menyelewengkan umat Islam. Kaum
Muktazilah pada masa Khalifah al-Ma’mun melakukan Mijnah yang mendapat
tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pengaruh aliran Muktazilah mulai
memudar dalam masyarakat.Di dalam situasi seperti muncullah Asy’ari, seorang yang
terdidik dan dibesarkan dalam lingkungan Muktazilah.
Al-Asy’ari menyelami ajaran-ajaran
Muktazilah melalui gurunya Al-Jubba’i, seorang tokoh Muktazilah yang terkenal.
Karena kemampuan intelektualnya yang begitu tinggi, ia menjadi murid kesayangan
al-Jubba’i. Al-Jubba’i sering
mengutusnya ke berbagai forum diskusi dan perdebatan. Dengan begitu Al-Asy’ari
menjadi terlatih dan terampil dalam berdebat dan beradu argumentasi. Kemudian,
ia banyak melakukan diskusi dengan al-Jubba’i tentang berbagai masalah keagamaan.
Namun ia tidak puas dengan jawaban dari gurunya.
Ketika usia empat puluh tahun, ia
keluar dari kelompok Muktazilah. Beberapa pendapat yang menyebutkan penyebab
Al-Asy’ari mundur dari paham Muktazlilah : Pertama, Al-Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam untuk menyuruhnya meninggalkan Muktazilah dan berpegang teguh pada
sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Kedua, Al-Asy’ari tidak puas dengan
jawaban gurunya Al-Jubba’i tentang berbagai masalah keagamaan. Ketiga, Al-Asy’ari
melihat bahwa aliran Muktazilah tidak dapat diterima oleh umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran, sementara itu belum ada aliran teologi lain
yang dapat diandalkan serta Keempat, Al-Asy’ari kalah bersaing dengan Abu Hasyim (anak
al-Jubba’i) dalam menggantikan posisi Al-Juba’I sebagai tokoh Muktazilah.
Setelah keluar dari keluar dari
Muktazilah, Al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam ‘Al-Luma’ Fi
ar-Radd ‘ala ahl az-Ziyag wa al-Bida’ (Bekal dalam Menjawab Orang-Orang
yang menyimpang dan Melakukan Bidah) dan Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah
(Uraian Tentang Dasar-Dasar Agama).
Ajaran Pokok Asy’ari
Ada tujuh pokok aliran Asy’ariyah ;
Pertama, tentang sifat Allah. Tentang hal ini Al-Asy’ariy berbeda pendapat dengan
Muktazilah. Baginya Allah mempunyai sifat (sifat dua puluh ) seperti sifat al-ilm
(mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-hayah (hidup), as-sama’
(mendengar) dan al-basar (melihat). Sifat-sifat tersebut berada di luar
Zat Tuhan dan bukan Zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui
bukan dengan Zat-Nya seperti pendapat Muktazilah, melainkan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat-Nya.
Kedua, tentang kedudukan Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kallam Allah (Firman Allah) dan bukan mahluk-mahluk dalam arti
ciptaan. Karena Al-Qur;an adalah firman Allah maka pastilah Al-Qur’an bersifat Qadim.
Ketiga, tentang melihat Allah di akhirat. Ia berpendapat bahwa Allah akan dapat
dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud. Keempat, tentang perbuatan manusia.
Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Walaupun Al-Asy’ari mengakui
adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif, paham ini disebut Al-Kasab.
Kelima, tentang antropomorfisme. Ia
berpendapat bahwa Allah mempunyai mata, muka, tangan dan sebagainya sebagaimana
yang disebutkan di dalam Al-Qur’an (Q.S 55;27) dan (Q.S 54;14). Akan tetapi
tidak diketahui bagaimana bentuk-Nya. Keenam, tentang dosa besar. Orang Mukmin
yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia beriman pada Allah dan
Rasul-Nya. Ia digolongan sebagai orang ‘Asi (durhaka). Tentang dosa besar
diserahkan pada Allah, apakah diampuni atau tidak.Ketujuh, tentang keadilan
Allah. Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak
terhadap ciptaan-Nya. Karena itu ia dapat berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat memasukan
manusia ke dalam surga dan juga memasukan mansuia ke dalam neraka.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari dapat
diterima kebanyakan umat Islam karena sederhana dan filosofis. Akibatnya dalam
waktu singkat ia mendapat banyak dukungan umat Islam saat itu. Faktor lain
penyebab banyaknya pengikut Muktazilah adalah Khalifah Bani Abasiyyah yaitu
Al-Mutawakkil membatalkan pemakaian Muktazilah dan menggantinya dengan
Asy’ari sebagai mazhab resmi negara. Aliran Asy’airah mendapat tantangan
keras saat itu dari Bani Buwaihi saingan Bani Abbasiyah sampai pada masa Dinasti Bani Buwaihi
ditahlukan oleh Daulah Bani Seljuk.
Penguasa Daulah Bani Seljuk yaitu
Tugril Beq dan Perdana Menterinya yaitu Abu Nasr Muhammad bin Mansur al Khudari
melakukan tekanan-tekanan terhadap golongan Asy’ariyah berupa kutukan dan
hinaan pada Asy’ari setiap khutbah jumat dan
ceramah-ceramah di Masjid bahkan golongan Asy’ariyah dilarang berceramah dan
mengajar. Bahkan Ulama berpaham Asy’ariyah seperti Abu Qasim Abdul Karim
al-Qusyairi ditangkap.Dengan demikian, aliran ini menjadi terhambat penyebarannya.
Penyebaran Asy’ariyah di Dunia Islam
Intimidasi terhadap golongan
Asy’ariyah berakhir setelah terjadinya pergantian kekuasaan dari tangan Tugril
Beq kepada Alp Arselan yang juga memiliki Perdana Menteri bernama Nizam
al-Muluk (1063-1092) yang mendukung Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah menyebar
pesat ke seluruh Dunia Islam. Madrasah Nizamiyah bahkan menerapkan kurikulum
bercorak Asy’ariyah. Di Mesir, aliran Asy-ariyah berkembang pesat karena
mendapat dukungan dari Sultan Salahuddin al-Ayubi pendiri Daulah Ayubiyah. Salahuddin
al-Ayubi mengganti peninggalan Daulah Fatimiyah yang bercorak Syiah di Mesir
menjadi Asy’ariyah.
Di Andalusia dan Afrika Utara aliran
Asy’ariyah mendapat dukungan dari Ibnu Tumart pendiri Daulah Muwahiddun. Aliran
Asy’ariyah menyebar pesat ke India, Afghanistan, Pakistan dan Indonesia berkat
jasa dukungan Mahmud Gaznawi (971-1030) pendiri Dinasti Gaznawi yang berpusat
di India. Aliran Asy’ariyah masuk ke Indonesia melalui karya-karya Imam
Al-Ghazali dan As-Sanusi (wafat 1490 M), ar-Razi dan Abdul Ma’ali al-Juwaini.
Paham Al-Asy’ari Menurut Al-Baqilani
Al-Baqillani mendalami ajaran
Asy’ariyah namun ia berbeda pendapat dengan Asy’ariyah dalam hal sifat Tuhan
dan perbuatan manusia. Bagi al-Baqillani, apa yang disebut oleh Al-Asy’ariy
bukanlah sifat melainkan hal. Pendapatnya ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim
dari Muktazilah. Sifat memberi suatu
pengertian yang menetap sedangkan hal sesuatu yang tidak menetap. Adapun
tentang perbuatan manusia, menurut Al-Asy’ariy diciptakan oleh Tuhan.
Manusia diberi daya untuk mewujudkan
kehendaknya, namun daya itu juga diciptakan oleh Tuhan. Dengan kata lain, daya
yang ada pada diri manusia itu tidaklah efektif.Adapun menurut Al-Baiqilani,
manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang
diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia. Adapun bentuk
dan sifat dari gerak itu ditentukan oleh manusia sendiri. Oleh karena itu
manusia dapat mengubah gerak yang terdapat dalam dirinya ke dalam bentuk
perbuatan seperti berbaring, duduk dan berlari.
Paham Al-Asy’ari Menurut Al-Juwaini
Imam Al-Juwaini tidak sependapat
dengan Asy’ariyah dalam hal antropomorfisme. Ia berpendapat bahwa semua
gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmani seperti muka, tangan, mata, dan
wajah harus ditakwilkan. Tangan Allah ditakwilkan dengan kekusaan Allah, wajah
Allah ditakwilkan sebagai wujud Tuhan. Mengenai perbuatan manusia, ia
berpendapat bahwa manusia diberi daya oleh Allah untuk mewujudkan perbuatannya
dan dayanya itu mempunyai efek serupa dengan efek yang terdapat dalam peroses
kausalitas (sebeb-akibat). Dengan kata lain, manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya. Berbeda dengan Imam Abu Hamid Al-Ghazali
yang menerima sepenuhnya paham Asy’ariyah.
Dari berbagai sumber