Kuliahalislam. Takwil berarti menerangkan, menafsirkan secara alegoris (kiasan), simbolik, maupun rasional. Secera terminologis, kata takwil diambil dari kata Awwala yang bisa berarti “ar-ruju” yaitu mengembalikan makna yang sebenarnya atau menerangkan hakikat dari apa yang dimaksud.
Dikatakan pula, kata takwil diambil dari akar kata “al-‘iliyah” yang bisa berarti as-syiasah yaitu mengatur atau menimbang satu kalimat untuk memperoleh arti dan maksud sebenarnya yang terkandung di dalamnya.
Menurut terminologi, takwil adalah esensi atau hakikat yang terkandung dalam suatu ungkapan atau kalimat dengan menafsirkan batin lafal, atau mengungkapkan tentang hakikat maksud yang terkandung di dalamnya atau mendatangkan yang tersirat dalam makna. Pengertian lain adalah menafsirkan perkataan yang mengandung makna berbeda, dan tidak akan memperoleh suatu pemahaman yang benar kecuali dengan menjelaskannya.
Takwil juga bisa berarti menjelaskan makna-makna lafal yang samar dengan ungkapan yang jelas sehingga tidak ada kesamaran padanya. Kata takwil di dalam Al-qur’an disebut sebagai 17 kali yang berarti menerangkan, mengibaratkan (Q.S 12:6,21,36,37,44,45,100,101), tujuan, makna perbuatan (Q.S 18:78,82), penjelasan, akibat (Q.S 4:59), Q.S 17:35), penjelasan (Q.S 3:7) dan kebenaran (Q.S 7:53).
Takwil, di samping tafsir merupakan cara untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an yakni menafsirkan makna-makna ayat yang mengandung pengertian tersembunyi. Di antara ayat-ayat Al-qur’an ada yang mengandung makna lahir (tampak) dan ada pula yang mengandung makna batin (tersembunyi) atau Mutasyabihat (samar-samar) di samping Muhkamat (jelas).
Makna lahir adalah sesuai pemahaman yang sesuai dengan lisan orang Arab. Adapun makna batin adalah apa yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya. Karena itu ada ayat-ayat tertentu yang memerlukan penafsiran alegoris (bersifat kiasan), simbolik dan rasional, sehingga yang tidak jelas serta samar menjadi jelas dan bisa dipahami.
Definisi takwil sangat beragam di kalangan ulama. Jalaluddin As Suyuthi berpendapat bahwa takwil adalah menentukan sebuah makna dari beberapa makna yang berbeda yang dikandung oleh lafal yang harus dilandasi oleh dalil-dalil. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa takwil adalah menerangkan makna suatu lafal majazi (lafal yang dipakai adalah kiasan) dari makna yang hakiki atau sebenarnya.
Kaum teolog dan filsuf menggunakan takwil bentuk ini yaitu mengalihkan nas-nas (teks) ayat mutasyabihat dalam Al-qur’an dan hadis dari makna lahirnya kepada makna yang sesuai untuk mentransedenkan Allah dari keserupaan-Nya dengan makhluk, seperti ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah.
Mereka memahaminya bukan makna lahirnya, tetapi menguak makna lain yang dapat mereka terima. Rumusan lain dikemukakan oleh Mahmud Basuni Faudah ( ahli tafsir), menurutnya takwil adalah memilih yang lebih kuat diantara beberapa kemungkinan dari segi lafal dengan berlandaskan alasan, argumentasi, pertimbangan yang menonjolkan peranan akal dan pemikiran, dan pengetahuan yang dapat menerangkan perbendaraan kata serta arti-arti leksikalnya dalam bahasa Arab. Karena ada suatu lafal mengandung beberapa makna yang semuanya tidak bersifat pasti, maka yang dipilih yang kuat.
Abu Qosim bin Habib an-Naisaburi dan beberapa orang lainnya menyatakan bahwa takwil adalah mengeluarkan makna ayat kepada makna yang sesuai dengan sebelum dan sesudah yang tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
Dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa takwil adalah memilih satu makna dari sekian banyak makna suatu kata dan kalimat. Pengertian takwil lainnya adalah menetapkan makna dari lafal yang ditetapkan oleh Allah. Mengalihkan makna suatu lafal kepada makna yang lain atau mengalihkan makna yang rajih (kuat) kepada marjuh ( yang dikuatkan) juga termasuk ke dalam pengertian takwil.
Jika istilah tafsir berarti menerangkan maksud lafal ayat yang muskil (samar-samar), atau memahami makna lafal, maka takwil adalah istilah yang digunakan untuk memahami yang terkandung di dalam makna ayat.
Menurut Ibnu Naqib, pengetahuan dalam Al-qur’an mengandung tiga bentuk. Pertama,pengetahuan yang tidak disampaikan oleh Allah kepada siapapun yang berkaitan dengan rahasia-rahasia kitab-Nya, untuk mengenal wujud-Nya dan rahasia gaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Dia.
Kedua, pengetahuan yang disampaikan oleh Allah hanya kepada nabi-Nya tentang rahasia Alquran. Ketiga, pengetahuan yang diajarkan oleh Allah kepada nabi-Nya tentang makna-makna yang terdapat di dalam Al-qur’an. Hal ini dapat diperoleh melalui dua cara.
Pertama, melalui pendengaran seperti Asbabun Nuzul atau sebab turunnya ayat, qiraat, dan bahasa. Kedua, melalui penalaran, pembuktian dan pengambilan kesimpulan. Untuk yang terakhir ini, para ulama berselisih pendapat tentang keharusan menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.
Masalah ini menjadi lebih rumit karena para ahli tafsir tidak sepakat tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat dan apa saja ayat-ayatnya. Seorang ahli tafsir bisa memandang suatu ayat sebagai ayat mutasyabihat tetapi ahli tafsir lain tidak memandang ayat itu sebagai mutasyabihat.
Jika ayat-ayat mutasyabihat itu ada, timbullah perdebatan apakah boleh menakwilkan ayat-ayat itu. Ada yang berpendapat boleh dan ada yang tidak membolehkannya tetapi cukup dipahami makna lahirnya apa adanya. Kelompok yang membolehkan takwil mengatakan, takwil dibolehkan bila makna lahir pada lafal satu ayat tidak tepat untuk dipahami dan pemunculan takwil ini berkaitan dengan apakah ayat itu mutasyabihat atau tidak.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, penafsiran ayat-ayat Al-qur’an dapat ditempuh dengan dua cara yaitu penafsiran dengan Nas dan penafsiran dengan akal. Dia lebih cenderung kepada penafsiran dengan Nas. Adapun penafsiran dengan akal dinilainya tidak benar.
Berarti, secara tidak langsung, ya tidak membenarkan takwil terhadap ayat-ayat bagi yang mutasyabihat maupun yang muhkamat karena penggunaan takwil sangat membutuhkan peranan akal dan penalaran. Penafsiran dengan Nas adalah suatu proses penafsiran dengan melihat kepada penafsiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, para sahabat dan penafsiran tabiin.
Karena menurutnya, Allah telah mengajarkan seluruh makna Al-qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam selalu beliau telah menyampaikannya pula kepada para sahabatnya dan para sahabat mengajarkannya kepada generasi tabiin dan tabiin telah mewariskannya kepada generasi tabi’ at-tabiin.
Golongan yang membolehkan takwil mengajukan syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, dalam menaklukkan tidak boleh mengalihkan suatu makna majazi ke makna hakiki, jika tidak dapat dipahami oleh akal. Kedua, takwil dibolehkan jika makna lahir suatu ayat bertentangan dengan akal. Ketiga, taqwil dibolehkan jika makna ayat tidak dapat dipahami dan dicerna oleh akal pikiran. Keempat, takwil dibolehkan jika makna ayat itu populer dan dikenal di dalam lisan Arab. Kelima, takwil yang dilakukan tidak bertentangan dengan hakikat agama dan hakikat kebebasan. Keenam, tidak boleh menampilkan jika makna hakiki sudah dapat dipahami.
Manfaat takwil diantaranya sebagai berikut. Pertama, takwil dapat memberi kepuasan bagi orang yang tidak mengetahui makna ayat. Kedua, takwil diperlukan jika hasil pemikiran sejalan dengan lahirnya air ayat. Ketiga, dengan takwil, Al-qur’an terasa lebih fungsional dan bermakna dalam menjawab berbagai masalah kehidupan yang dihadapi oleh manusia.