Tafsir Alquran merupakan sebuah hasil interpretasi manusia terhadap teks suci Alquran. Berbeda dengan Alquran yang diyakini sebagai kalam Tuhan yang bersifat mutlak dan suci, tafsir adalah produk pemahaman yang bersifat nisbi dan profan. Kesadaran akan perbedaan mendasar ini sangat penting agar umat Islam tidak terjebak dalam pemutlakan hasil penafsiran tertentu, apalagi menjadikannya sebagai satu-satunya kebenaran yang absolut.
Dalam konteks ini, kajian mengenai relasi antara Islam dan kebudayaan menjadi sangat penting. Pengamalan ajaran Islam yang beragam di berbagai belahan dunia mencerminkan perbedaan cara memahami Alquran yang dipengaruhi oleh latar budaya, sejarah, dan konteks sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting untuk melihat Islam bukan hanya dari sisi normatif-tekstual, tetapi juga dari realitas historis bagaimana ajaran tersebut diwujudkan dalam praktik kehidupan umat Islam.
Setiap kali Islam hadir di suatu tempat, ia akan selalu mengalami kontak dengan nilai-nilai budaya setempat. Dalam proses tersebut, terjadi dialog antara ajaran Islam yang bersifat universal dengan nilai-nilai lokal yang historis. Jika nilai-nilai lokal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, maka mereka seringkali diserap dan menjadi bagian dari ekspresi keislaman di tempat itu. Dalam setiap kebudayaan, terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang sejatinya sejalan dengan nilai-nilai universal Islam.
Salah satu wujud nyata dari kontak tersebut dapat dilihat dalam karya tafsir Al-Huda, sebuah tafsir Alquran dalam bahasa Jawa yang disusun oleh Kolonel Drs. Bakri Syahid, seorang cendekiawan muslim asal Yogyakarta. Tafsir ini menjadi contoh bagaimana nilai-nilai universal Alquran dipertemukan dengan nilai-nilai luhur budaya Jawa yang lokal dan historis. Bakri Syahid tidak hanya menerjemahkan ayat-ayat Alquran ke dalam bahasa Jawa, tetapi juga menafsirkannya dengan pendekatan budaya lokal melalui penggunaan berbagai tingkatan bahasa Jawa, yaitu ngoko, madya, dan krama—yang masing-masing mencerminkan sistem nilai dalam masyarakat Jawa seperti unggah-ungguh, tata krama, dan budi pekerti.
Dengan pendekatan tersebut, tafsir ini diharapkan mampu menjembatani pemahaman masyarakat Jawa terhadap Alquran dengan cara yang akrab secara bahasa maupun budaya. Hal ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran akan lebih mudah dicerna ketika disampaikan dalam bahasa dan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Penafsiran Bakri Syahid pun menjadi relevan karena ia berhasil menerjemahkan nilai-nilai Qurani ke dalam bentuk ekspresi budaya lokal, tanpa menghilangkan esensi pesan ilahiah yang dikandung Alquran.
Tafsir Al-Huda menyimpan banyak potensi kajian lanjutan, baik dari aspek kebahasaan, semantik budaya, maupun konstruksi religiositas masyarakat lokal. Kajian seperti ini tidak hanya memperkaya khazanah tafsir lokal di Indonesia, tetapi juga menunjukkan bahwa Islam dan budaya lokal tidak harus saling menegasikan, melainkan bisa saling memperkuat dalam ranah praksis kehidupan keagamaan